keniyagi

Langit di atas gadis itu mulai menggelap ketika Karanina menginjakkan kakinya ke gedung Fakultas Teknik, dimana kekasihnya Rafli kuliah.

Ia sudah berkali-kali, mungkin ada ratusan kali menghubungi lelaki itu, namun Rafli terus saja mengabaikannya. Mau tak mau, Karanina harus mencarinya dan berbicara langsung padanya. Berdasarkan informasi dari sahabatnya, Ashila atau yang sering dipanggil Sisil, Rafli saat ini sedang ada perkuliahan di gedung fakultasnya.

Karanina sudah menunggu hampir satu jam, namun dia belum menemukan sosok Rafli keluar dari gedung tersebut. Ia duduk sendirian di bangku panjang hall gedung tersebut sembari melihat satu persatu orang yang berlalu lalang keluar masuk, mencari sosok Rafli diantara banyaknya orang disana.

Gadis itu tampak duduk tak tenang. Ujung sepatunya mengetuk-ketuk lantai berkali-kali, mengurangi rasa cemas. Sebenarnya, Karanina berpikir jika benar kekasihnya itu selingkuh, lalu bagaimana dengan perasaannya.

Hingga akhirnya, sosok Rafli yang berbadan tinggi tak jauh darinya itu menuruni tangga dari lantai dua bersama dengan teman-temannya.

“Pi!” teriak Karanina langsung menghadang jalan mereka.

Rafli tampak gelagapan begitu menemukan Karanina menghampirinya. Dia melirik teman-temannya dan mendekati gadis itu dengan tersenyum canggung. “Eh, sayang. Lo kok nyamperin gue ga bilang-bilang sih.”

“Gue udah - ”

Sayangnya, belum sempat Karanina menyelesaikan ucapannya, Rafli lebih dulu memotong ucapannya dan merangkul pundak gadis itu. “Gue balik duluan sama cewe gue, ya bro,” pamitnya pada teman-temannya.

Kini giliran Karanina yang kebingungan. Meskipun begitu, dia ikut saja kemana Rafli membawanya pergi. Rafli merangkulnya dan membawanya pergi menjauh dari teman-temannya itu, namun dia tidak membawa Karanina pulang. Melainkan pergi ke samping gedung fakultasnya yang tidak banyak orang berlalu lalang.

“Lo kenapa kesini?” tanya Rafli. Dari raut wajahnya sudah terlihat jelas bahwa ia tampak tidak suka dengan kedatangan kekasihnya itu.

Karanina menatap Rafli dengan jengkel. “Emang gue ga boleh nyamperin pacar gue sendiri?” Ia menghela napas pelan, sebelum kembali membuka suara. “Sekarang giliran gue yang tanya, lo kemana aja akhir-akhir ini. Lo ga pernah bales chat gue bahkan angkat telfon gue. Lo kenapa tiba-tiba hindarin gue gitu?”

“Gue ga ngehindarin lo, Ra.” Jelas-jelas Rafli membohonginya. Karanina dapat melihat dari raut wajahnya dengan jelas.

“Kenapa? Lo takut ketahuan selingkuh sama Jessica?”

Pertanyaan Karanina itu berhasil membuat Rafli terkejut. Dia segera menghindari tatapan kekasihnya itu dan semakin membuat Karanina memojokkannya. “Atau lo takut gue tahu lo sering keluar sama cewe lain yang bahkan ga cuma Jessica doang.”

Karanina menghela napas panjang. Dia sudah muak berpura-pura tak tahu apapun. Dia menatap Rafli dengan kecewa. “Gue tahu semuanya, Pi. Lo hindarin gue, terus jalan sama cewe lain yang beda-beda tiap harinya, kan?”

“Gue keluar sama cewe-cewe lain karena lo sebagai pacar gue ga pernah mau ngertiin gue,” jawab Rafli dengan suara yang reflek meningkat.

Jawaban Rafli tentu saja membuat Karanina tak habis pikir. Dia mendorong bahu Rafli pelan. “Anjir. Gue kurang ngertiin lo gimana sih?”

Rafli tak langsung menjawabnya. Dia menyisir rambutnya ke belakang sembari membasahi bibirnya yang kering. Suaranya kembali normal. “Lo terlalu tertutup sama gue, Ra. Lo ga pernah mau seneng-seneng sama gue kan? Lo tiap kali gue ajak ngewe ga pernah mau.”

Apa yang baru saja dikatakan oleh Rafli membuat Karanina semakin terkejut. “Hah? Lo gila?”

“Jessica selalu kasih semuanya ke gue. Dia selalu kasih apapun yang lo ga bisa kasih ke gue,” ujar Rafli dengan tenang tanpa merasa berdosa sama sekali dengan apa yang telah ia lakukan tersebut.

Karanina yang terlalu terkejut, sampai tak bisa berkata apapun itu hanya diam menatap Rafli tak habis pikir.

Rafli membuang napas pelan. Bukannya merasa berdosa, lelaki itu malah berlagak mengajarkan Karanina dengan sok bijak. “Gue kasih tau ya, Ra. Kalo lo masih aja sok suci kayak gin, cowo lo ga bakal betah sama lo - ”

Belum sempat mulut Rafli menutup, seseorang datang dan langsung menonjok wajah Rafli hingga tersungkur ke tanah.

Tentu saja hal itu membuat Karanina terkejut, namun ia lebih terkejut melihat siapa pelakunya. “Kak Aji!!”

Ghazi memutar-mutar sendi pergelangan tangan kanannya, siap menghajar Rafli habis-habisan. “Sialan,” umpatnya dengan menatap Rafli penuh benci.

Rafli berusaha bangkit dan mengusap sudut bibirnya yang berdarah. “Siapa lo? Apa-apaan tiba-tiba dateng mukul gue?!” Dia meninggikan suaranya dengan sok berani, padahal kenyataannya dia mundur tipis-tipis menjauh dari Ghazi.

Tatapan Ghazi terlihat tak jauh berbeda dari binatang buas yang siap menerkam kapanpun. Dia menatap tajam Rafli dan berhasil membuat lelaki itu ketakutan.

“Gue ga peduli sama cewe-cewe yang pernah ngewe sama lo. Tapi masalah Anin, lo harus tau kalo bokap dia udah mati-matian jagain dia dari kecil sampe sekarang. Dia mati-matian jagain Anin dari cowo-cowo bangsat kaya lo dan lo sebagai pacarnya dengan gampang berpikir mau ngerusak Anin yang udah dijaga baik-baik sama bokap dia?”

“Waras lo gue tanya, hah?” Ghazi mendekat nyaris menarik keras Rafli dan melayangkan pukulannya lagi.

Untungnya, Karanina lebih dulu menahan lengan Ghazi dan menghentikannya. “Kak, udah..”

Karena tatapan Ghazi berhasil membuat Rafli ketakutan, mau tak mau Rafli pun memutuskan untuk pergi. Namun sebelum itu, dia berpesan pada Karanina sembari berjalan was-was menghindari Ghazi. “Pikirin ucapan gue baik-baik, Ra,” pesannya.

Tentu saja pesan itu membuat Ghazi kembali meledak marah. “Apa yang harus dipikirin, bajingan?!”

“Kak..” Karanina kembali menahan Ghazi yang hendak mengejar Rafli yang langsung berlari terbirit ketika Ghazi berteriak marah.

Ghazi memutar tubuhnya, menatap Karanina yang menundukkan kepala di hadapannya. Ia mendengus pelan. “Ga usah dipikirin omong kosong dia. Dia orang gila, Nin.”

Sayangnya, perbuatan dan perkataan Rafli telah menyakiti perasaannya, hingga Karanina tak kuasa menahan air matanya. Di balik kepalanya yang menunduk, Karanina meneteskan air mata yang seketika membludak membanjiri pipi.

Ghazi membuang wajah sejenak. Melihat bagaimana Karanina menangis karena orang brengsek seperti Rafli membuat Ghazi semakin marah. Tiba-tiba, ia meraih tangan Karanina dengan lembut dan menggandengnya. “Ayo, kita cari tempat nangis yang lebih enak,” ajaknya yang diiyakan dengan mudah oleh Karanina.

Langit semakin gelap begitu keduanya sampai di sebuah taman tak terpakai yang letaknya tak jauh dari rumah keduanya. Karanina duduk bersama Ghazi di bangku panjang dan mengisi malam dengan menangisi semua yang terjadi padanya hari ini.

Sementara yang dilakukan Ghazi hanya terdiam duduk di samping gadis itu. Dia melepas jaketnya dan memakaikannya pada Karanina, mengingat udara malam hari semakin terasa dingin. Tangannya ikut terjulur dan menepuk pundak gadis itu dengan perlahan.

Karanina terlalu sibuk menangisi lelaki yang jelas-jelas tidak pantas untuknya, sehingga mengabaikan sosok lelaki yang jauh pantas dari Rafli untuknya.

Ghazi Argani, lelaki yang selalu ada untuknya dan selalu bersabar menunggu Karanina sadar bahwa dia dapat memperlakukan Karanina jauh lebih baik dibandingkan Rafli.

Ghazi selalu ada di sisi Karanina, tanpa gadis itu sadari. Dia lah lelaki yang lebih baik untuknya.

[]

Suara langkah kaki yang berlari dari ujung lorong gedung Fakultas Teknik terdengar jelas. Sosok Joel muncul dari sana dan terlihat berlari tergesa-gesa menuju ruang kesehatan dimana Sahara berada.

Pintu terbuka secara tak sabaran oleh Joel. Di dalam ruangan, ada Sahara yang berbaring di ranjang ruang kesehatan dan salah satu perawat yang memang ditugaskan untuk berjaga di ruang kesehatan. Joel terlihat panik bahkan sedari tadi.

“Sahara..” Joel langsung menghampiri perawat yang berdiri tak jauh darinya kemudian bertanya banyak pertanyaan dengan cepat bak rapper. “Bu, dia ga papa, kan bu? Sahara kenapa? Dia sakit parah, kah? Tolong sembuhin Sahara saya, bu.”

“Joel berisik, anjir.”

Suara Sahara membuat Joel langsung menoleh. Dia melihat Sahara menatapnya kesal dan menggelengkan kepalanya pelan sebelum memejamkan kedua matanya kembali. Joel pun menghampirinya detik itu juga. “Ra, lo udah bangun?”

“Lo kata gue mati? Gue ngantuk, lo berisik banget ganggu tidur gue,” omel Sahara memejamkan kedua matanya dan berusaha tidur.

Hal itu membuat Joel merasa bersalah. “Maaf.”

Perawat yang melihat tingkah pasangan itu menjadi terkekeh pelan. Dia mengemasi barang-barangnya sebelum meninggalkan keduanya. “Sahara kamu cuma kurang tidur aja kok. Tadi dia udah saya kasih obat pusing dan biarin aja dia istirahat dulu.”

Joel bangkit dari duduknya dan mengantarkan kepergian perawat itu. “Makasih, bu.”

Hanya tersisa keduanya di ruang kesehatan. Sahara yang hendak tidur kembali menoleh ke arah Joel yang masih saja berdiri di samping tempat tidur yang ditempatinya. “Lo ga ada kelas?”

Bukannya menjawab, Joel malah menarik selimut Sahara dan memastikan seluruh tubuh Sahara terselimuti dengan baik. “Udah, tidur aja tidur.”

Sahara menyingkirkan tangan Joel dengan kesal. “Ya lo ga disini juga!”

“Gapapa. Gue jagain. Takut lo kenapa-napa lagi,” jawab Joel tersenyum manis dan mengambil tempat duduk di sisi tempat tidur Sahara. Sayangnya, kehadiran Joel yang menunggunya malah membuat Sahara tidak bisa tidur dengan tenang.

Momen kebersamaan mereka terganggu dengan kedatangan seseorang yang mengejutkan baik untuk Sahara maupun untuk Joel. Bahkan Sahara sampai bangun terduduk begitu menemukan mantan kekasihnya, Nathan Andika, masuk ke ruang kesehatan dengan panik. Untuk beberapa saat, ketiganya sama-sama terkejut dan terdiam.

“Eh, Dik!” sapa Joel menyapa Nathan terlebih dahulu. Dia melirik Sahara sekilas sebelum kembali bertanya pada teman tongkrongannya itu. “Ngapain lo disini?”

“Gue denger Sahara pingsan, jadi gue langsung kesini,” jawab Nathan dengan pandangan yang tertuju pada Sahara, tidak pada lawan bicaranya, Joel. Sahara membuang wajahnya, malas bertemu dengan mantan kekasihnya itu.

Karena Sahara tidak kunjung bersuara, akhirnya Joel mau tak mau menjawabnya. “Dia gapapa kok. Cuma kurang tidur aja karena lembur ngerjain tugas. Maklum lah ya, tugasnya anak teknik kan ga ada yang manusiawi, ya gak Ra?” Joel menoleh ke arah Sahara.

Sahara tidak menjawabnya. Dia malah beranjak turun dari tempat tidur dan berbicara dengan Joel. “Gue mau tidur di rumah aja. Anterin pulang, buru.” Dia langsung bergegas pergi begitu saja, melewati Nathan seperti tidak ada orang disana.

Joel kebingungan di buatnya. “Loh? Ra? Sahara?” Terpaksa dia berpamitan pada Nathan sebelum menyusul Sahara yang sudah mendahuluinya. “Gue duluan ya, Dik.”

“Tungguin dong, Ra!” teriak Joel berlari mengejar Sahara yang sudah keluar dari ruang kesehatan.

Untungnya, jarak Sahara tidaklah jauh dan gadis itu tidak berjalan dengan cepat, sehingga Joel bisa menyusulnya dengan mudah. Setelah berhasil menyusul dan berjalan beriringan dengan Sahara, Joel menoleh ke arah gadis itu. “Lo kenal Dika?”

“Bukan siapa-siapa,” jawab Sahara tampak tak begitu memedulikannya.

Sayangnya Joel tidak kunjung berhenti menanyakan perihal Nathan. Dia kembali bertanya dengan kening yang berkerut. “Kalo bukan siapa-siapa, kok dia keliatan panik banget waktu lo pingsan?”

Tiba-tiba Sahara menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badannya supaya berhadapan dengan Joel dan melempar pertanyaan itu padanya. “Lo sendiri kenapa panik waktu tahu gue pingsan? Padahal lo juga bukan siapa-siapa gue kan?”

Mendengar ucapan tajam Sahara membuat Joel langsung memegang dadanya. Raut wajahnya terlihat kesakitan yang sengaja dibuat-buat dan berbicara penuh drama pada gadis itu. “Sakit hati gue, Ra. Lo tega banget.”

Sahara memutar kedua bola matanya malas meladeni Joel. “Terserah,” sahutnya yang kemudian jalan begitu saja meninggalkan Joel yang masih berakting dramatis.

Kepergian Sahara membuat Joel bergegas berlari dan menyusulnya. Sahara dikejutkan dengan Joel yang tiba-tiba memeluk lengannya. Dia berusaha melepaskan tangannya dengan kasar seraya mengomelinya. “Lo ngapain si, El?!”

“Takut lo pingsan lagi, jadi harus gue pegangin,” jawab Joel. Semakin Sahara berusaha melepaskan tangannya, Joel tak mau kalah dan semakin mengeratkan genggamannya pada tangan gadis itu.

Tentu saja hal itu membuat Sahara kesal dan menggeram marah. “Ih!”

Bahkan setelah berhasil membuat Sahara marah, Joel belum mau berhenti, yang ada dia malah semakin bertingkah. “Apa gue gendong aja?” tawar Joel dengan muka polosnya.

“Gue masih bisa jalan anjir!” teriak Sahara semakin kesal.

“Gapapa, gue gendong aja, Ra.” Joel berhenti di depan Sahara dan membungkukkan tubuhnya agar Sahara bisa naik ke punggungnya. Tak lupa, dia menarik tangan Sahara, mendesaknya untuk menaik ke punggung lebarnya itu.

“Ogah!!” Sahara yang sudah benar-benar kesal itu kembali bergegas meninggalkan Joel.

Joel harus kembali berlari untuk menyusul gadis itu. “Ra, tungguin gue! Sahara!”

Dari belakang terlihat Joel yang terus membujuk Sahara dan membuat gadis itu kesal. Sayangnya, meskipun Joel selalu membuatnya kesal, Sahara tak bisa menjauhinya. Mereka terus berjalan beriringan tanpa mengetahui bahwa Nathan memperhatikan keduanya dari depan pintu ruang kesehatan.

“Joel.. Jadi dia yang bikin lo berpaling dari gue, Ra?”

[]

Udara pagi yang masih segar menyapa Sahara begitu dia membuka pintu rumahnya. Ketenangan dalam hidupnya nyaris didapatkannya jika saja tidak ada sosok lelaki yang entah sejak kapan menunggunya di depan rumah.

Sahara sampai terkejut dibuatnya. “Anjir! Kaget gue!”

Betapa mengejutkannya, ketika dia menemukan sosok Joel yang entah sejak kapan menunggu di atas motornya yang terparkir di depan rumah Sahara. Hal itu tentu saja membuat si empunya rumah mengomel. “Lo ngapain pagi-pagi udah ke rumah gue?”

Bukannya menjawab pertanyaan Sahara, Joel malah menoleh ke arah Sahara dan balik bertanya dengan tatapan sedih. “Lo kenapa ga bales chat gue, Ra? Gue ada salah sama lo?”

Jawaban Joel bagi Sahara cukup diluar dugaan hingga membuat Sahara terkejut. “Seriusan lo kesini pagi-pagi begini cuma gara-gara gue ga bales chat lo?” tanyanya menatap Joel tak habis pikir. Joel malah mengiyakannya dengan mengangguk, masih dengan wajah sedihnya.

Sahara menghela napas kasar. “Gue sibuk nugas sampe ga tidur dua hari tau ga.”

“Kok ga minta jokiin gue aja?” tanya Joel mengerutkan keningnya. Kedua matanya masih memperhatikan pergerakan gadis yang ia suka itu.

“Kalo gue minta joki mulu kapan gue pinternya, El,” decak Sahara kemudian tidak mempedulikan Joel lagi dan pergi menghampiri motornya.

“Lo ada kelas pagi?” Sahara hanya mengangguk, menjawab pertanyaan Joel bahkan tanpa melihat ke arahnya. Tetapi, Joel yang sedari tadi memperhatikan Sahara menyadari sesuatu. “Tapi muka lo pucet anjir, Ra. Lo ga sakit, kan?”

“Kurang tidur paling,” jawab Sahara santai.

Sayangnya, hal itu tidak bisa dianggap sepele oleh Joel. Yang ada dia malah mengomel pada Sahara panjang lebar. “Tuh kan, kalo aja lo minta bantuan gue, lo ga bakal kurang tidur begini tau. Kalo lo tiba-tiba pingsan pas kelas gimana? Nanti yang repot banyak orang, Ra.”

Sahara berdecak kesal, menoleh ke arah Joel. “Bawel banget lo, El.”

Diomeli balik oleh Sahara berhasil membuat Joel bungkam. Dia masih memperhatikan Sahara yang pergi mengambil helmnya setelah menyalakan mesin motornya dan memanasi mesinnya sejenak. Joel kembali berusaha. “Berangkat sama gue aja, yuk.”

“Males!” jawab Sahara setengah berteriak.

Belum sempat Sahara menaiki motornya, dia tidak sengaja melihat ban motornya dan tiba-tiba berteriak pada Joel yang sedari duduk diam masih di atas motornya. “JOEL!! LO KEMPESIN BAN MOTOR GUE YA?!”

Joel ikut melihat ke arah ban motor depan Sahara yang kempes. Dia yang tidak tahu apapun itu tidak terima jika harus disalahkan. “Cantik cantik kok sukanya nuduh orang, buset. Gue kagak ngapa-ngapain padahal.”

“Terus kenapa ban motor gue kempes?!” tanya Sahara masih saja berteriak marah.

“Ya mana gue tau.” Berbeda dengan Joel yang masih dengan nada tenang, tidak terpancing emosi ataupun menaikkan suarannya seperti Sahara.

Suara teriakan Sahara itu berhasil mengundang Bi Uti, asisten rumah tangga yang bekerja untuk keluarga Sahara cukup lama. Dia langsung keluar dan menghampiri mereka. “Non! Non Hara!”

“Tadi Pak Udin pake motor non buat ke pasar, terus bannya kempes di jalan gara-gara kena paku. Pak Udin belum sempet bawa ke bengkel karena ga tahu Non Sahara berangkat pagi,” jawab Bi Uti menyudahi kesalahpahaman di antara Sahara dan Joel.

Sahara pun menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemarinya dengan frustasi. Dia menoleh ke arah Joel yang menjadi satu-satunya jalan keluar dari permasalahan ini, jika Sahara tidak ingin terlambat kelas pagi.

Sedangkan itu, Joel tahu bahwa kejadian ini menjadi peluang besar untuknya. Dia masih duduk di atas motornya, jemarinya mengetuk-ketuk helmnya, menantikan tindakan yang akan diambil Sahara dengan antusias. Pandangannya tidak melihat ke arah Sahara, namun terlihat jelas dia menyembunyikan senyum girangnya dan itu terlihat menjengkelkan untuk Sahara.

“IHHH!!” Sahara menggeram kesal dan memakai helmnya dengan kasar sebelum berjalan menghampiri Joel dan motornya.

Senyum Joel yang tertahan akhirnya ditampilkan dengan lebar. “Berangkat dulu ya, Bi,” pamitnya pada Bi Uti sembari memakai helmnya.

Barulah setelah Sahara naik ke belakang motornya, Joel menjalankan motor kesayangannya itu dan berangkat bersama dengan gadis yang disukainya itu dengan hati gembira.

[]

Kepadatan di Warung Mpok Iyah meningkat begitu mengingat sudah memasuki jam makan siang. Meja yang berada di pojok sudah ditempati pelanggan setia Mpok Iyah yang selalu datang setiap harinya. Siapa lagi jika bukan Jaziel dan kawan-kawan, bedanya hari ini mereka datang bertiga, tanpa Helena.

Mpok Iyah yang sudah hapal dengan mereka pun mempertanyakan kelengkapan formasi empat sahabat yang selalu pergi bersama itu. “Loh, Non Helena ga ikut ta?” tanya Mpok Iyah dengan akses Surabaya yang masih kental.

“Lagi pacaran, Mpok. Biasalah kalo udah punya pacar, sahabatnya dilupain,” jawab Jaziel berdiri dari duduknya, membantu Mpok Iyah menurunkan pesanannya dengan teman-temannya ke meja mereka.

“Walah-walah.” Mpok Iyah saja sampai menggeleng-geleng mendengernya. Setelah mengantarkan semua pesanan mereka, Mpok Iyah pun mempersilahkan mereka, sebelum kembali ke dapur. “Monggo dinikmati makan siangnya, Den, Non.”

“Makasih, Mpok,” ucap Megumi tersenyum manis pada Mpok Iyah.

Sebelum makan, dia melipat lengan seragamnya terlebih dahulu. Berbeda dengan Jaziel dan Harvis yang bahkan masih menggunakan seragam olahraga. Hari rabu adalah jadwal mata pelajaran olahraga, oleh karena itu, selesai jam mata pelajaran tersebut, mereka langsung pergi ke warung Mpok Iyah untuk mengisi energi kembali.

“Dia beneran pacaran sama Burhan?” Harvis membuka pembicaraan ketika dirinya dan teman-temannya mulai makan.

Baik Jaziel dan Harvis menoleh ke arah Megumi karena merasa Megumi lebih tahu perihal tersebut, tidak heran karena para perempuan lebih terbuka satu sama lain. Megumi mengangguk pelan dan menjawabnya setelah merasa dua temannya menatapnya penuh tanya. “Katanya sih Burhan udah bilang kalo suka Helen, cuma emang belum nembak aja.”

“Idih, cowo apaan begitu,” komentar Jaziel dengan julid. Dia berhenti makan sejenak dan berdecak pelan. “Tapi firasat gue bilang tuh manusia ga bener njir.”

“Ga bener gimana?” tanya Harvis yang duduk di hadapan sahabatnya itu sampai berhenti makan.

Jaziel mengangkat kedua bahunya dan menggeleng pelan. “Ya ga tahu. Entah dia udah punya pacar ato si Helen cuma buat mainan doang. Dari mukanya udah keliatan njir, mirip Vicky Prasetyo.” Hal itu mengundang gelak tawa kedua sahabatnya.

Tiba-tiba, Jaziel meletakkan sendoknya dan menegakkan punggungnya. “Lo inget ga sih kemarin, pas Helena ilang, kan Burhan kagak ngapa-ngapain njir. Kayak ga peduli banget sama Helena. Ya ga, Vis?” tanyanya pada Harvis.

Harvis mengangguk pelan, setuju dengannya. “Iya sih.”

Detik selanjutnya, Megumi berdecak pelan. Dia menoleh ke arah Harvis yang duduk di sebelahnya. “Anjir, Vis. Lo mau aja sih setuju sama idenya si Jiel. Otak dia kan rada-rada,” ejeknya menunjuk Jaziel dengan dagunya.

Jaziel berdecak kesal dan mengangkat sendoknya, berniat memukul kepala Megumi dengan sendoknya. Sayangnya, Megumi lebih dulu melotot padanya hingga membuat nyali Jaziel menciut. Mereka pun kembali terdiam, menikmati makan siang mereka.

Tak lama sejak ketenangan di meja mereka mulai mendominasi, Jaziel kembali membuka mulutnya dan membuka bahan pembicaraan baru. “Ntar malem nongkrong yok, Mi,” ajaknya pada Megumi yang masih memakan sotonya dengan tenang.

“Sama siapa aja emang?” tanya Megumi menoleh ke arah Jaziel dan Harvis bergantian.

“Temen-temen futsal gue sama Harvis,” jawabnya sembari mengeluarkan rokoknya. Karena dia sudah selesai makan dan memutuskan menunggu Megumi selesai makan sembari merokok.

Megumi menggeleng pelan. “Ga bisa coy. Gue ada les sampe malem.”

Jaziel yang hendak mendekatkan rokok ke mulutnya itu terhenti. Dia menatap Megumi dengan tatapan kecewa. “Ah, ga asik lo. Hidup lo belajar mulu, buset.” Dia mulai mengomel sembari merokok. “Kan rencananya gue mau ngenalin lo sama temen gue. Siapa itu namanya, Vis? Kiper kita?”

“Daffi,” sahut Harvis sembari mengambil satu batang rokok Jaziel dan ikut merokok.

Jaziel menjentikkan jemarinya membenarkan. “Nah itu, biar lo ga jomblo mulu, Mi,” ujarnya pada Megumi setengah mengomel seperti biasanya.

Hal itu berhasil memancing kemarahan Megumi dan langsung mengegas. “Ngaca dong anjing. Lo juga jomblo!!”

Bukannya berhenti, Jaziel malah mengajak Megumi yang belum selesai makan itu berdebat dengannya. “Gue sama Harvis tuh jomblo karena lo sama Helena jomblo mulu. Kita jadi susah deketin cewe kalo kalian jomblo,” ujarnya.

“Pret banget!” Megumi berdecak kesal dan membalasnya dengan julid. “Orang kemarin pas gue sama Helena udah punya cowo aja kalian masih jomblo. Emang lo pada aja yang ga laku!”

Harvis sampai ikut berdebat dengan mereka, namun berada di pihak Jaziel. “Itu karena cowo-cowo kalian red flag semua anjir. Gimana kita mau tenang liatnya?” tanyanya sampai memiringkan tubuhnya berhadapan dengan Megumi.

“Halah banyak alesan lo berdua.” Megumi tidak menghiraukannya lagi dan kembali menghabiskan makan siangnya yang bahkan belum habis setengahnya.

Megumi memang orang yang paling lambat dalam urusan makanan. Hal itu membuat Jaziel yang melihatnya menjadi gemas sendiri dan menjailinya. “Lo makan lama bener sih, Mi? Gue suapin aja sini.” Dia merebut sendok Megumi dan menyuapinya dengan paksa.

“JIEL!!!” teriak Megumi kesal. Dia sampai berdiri dari duduknya dan memukul lengan Jaziel berkali-kali.

“Aduh! Sakit, njir!” Jaziel berteriak kesakitan karena Megumi tidak berhenti. Harvis bukannya melerai mereka malah tertawa keras dan menjadikan pertengkaran dua sahabatnya itu sebagai tontonan yang menarik.

Fakta bahwa Jaziel dan Megumi sering bertengkar karena masalah sepele itu benar adanya. Mungkin jika mereka tidak bertengkar sehari saja akan terasa aneh. Karena begitulah tipe pertemanan mereka yang sudah berjalan lebih dari enam tahun itu.

[]

Jalanan di kompleks perumahan dimana indekos pak haji berada cukup sepi, mengingat hari ini merupakan hari kerja dan sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, dimana orang-orang sudah sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing.

Mobil yang dikendarai oleh Abian datang dari ujung jalan. Seperti yang ditentukan semalam, Abian dan dua temannya yang lain, Jarvis dan Januar pergi jalan-jalan. Mereka telah mengunjungi beberapa tempat yang mereka sering datangi saat dulu. Seperti kampus mereka, warung padang depan kampus dimana mereka sering makan siang bersama, taman kota yang menjadi tempat ketika mereka bersepeda bersama dan terakhir mereka akan mengunjungi indekos.

Abian menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang tempat tinggal mereka dulu, sebelum mengikuti Jarvis dan Januar yang sudah keluar dari mobil terlebih dulu. Mereka berdiam sejenak, menatap bangunan yang masih berdiri namun kehilangan para penghuninya.

“Jadi inget pertama kali ngekos disini,” ujar Abian menoleh ke arah Jarvis. Dia tersenyum sendu begitu mengingat masa lalu mereka. “Masih sepi ga ada penghuninya.”

Jarvis mengangguk, membenarkannya. “Kita beneran jadi penghuni pertama dan terakhir, ya Bi.”

Keduanya sama-sama teringat malam dimana secara kebetulan Abian dan Jarvis kehilangan rumah mereka, lalu seperti sebuah takdir yang datang, mereka bertemu dengan Pak Haji yang menawarkan indekos barunya dan dari situlah kehidupan baru mereka dimulai di indekos ini.

“Ngomong-ngomong gimana caranya kita masuk?” tanya Januar membuyarkan lamunan masa lalu Abian dan Jarvis. Abian ikut menoleh dan ikut kebingungan seperti Januar.

Tiba-tiba saja, Jarvis mengeluarkan sebuah kunci dari saku jaketnya. “Kok lo megang kuncinya?” tanya Abian terkejut.

“Kantor gue sama kantor Bang Gavin deketan jadi kemarin gue minta kunci kosan sama dia,” jawab Jarvis membuka gembok gerbang indekos dengan kunci yang dibawanya dan mengajak dua temannya masuk. “Ayo masuk!”

Mereka masuk ke dalam indekos yang sudah bertahun-tahun mereka tinggal. Banyak kenangan yang tercipta di tempat ini. Masa remaja mereka yang penuh masalah dalam mencari jati diri dan arti sebuah rumah dihabiskan bersama di tempat ini. Mungkin bagi orang, tempat ini hanyalah indekos biasa, namun bagi mereka tempat ini adalah tempat yang sangat berharga.

“Bener-bener sepi ya,” celetuk Januar menoleh kesana kemari dan menemukan kekosongan mendominasi tempat ini.

Tidak ada yang berubah, hanya saja beberapa furnitur di dalam indekos ditutupi oleh kain putih dan sudah cukup berdebu karena sudah tidak ditempati beberapa tahun lamanya. Meskipun begitu, kenangan-kenangan indah yang tercipta di tempat itu masih membekas.

Januar menoleh ke dua abangnya yang mulai berpencar, melihat-lihat seisi indekos. “Kangen banget ga sih, bang.” Dia tersenyum sedu, terkadang dia merindukan masa-masa dimana mereka masih tinggal bersama seperti dulu.

Kehangatan di dalam indekos ini sangat dirindukan oleh para penghuni lamanya. Gelak tawa dan keberisikan yang tidak pernah absen dari kelima penghuni di dalam indekos ini sudah lama tidak terdengar.

Ada dapur yang kehilangan juru masak dan ahli makannya, lalu ada pula balkon yang kehilangan penyanyi akustiknya, ada ruang tengah yang kehilangan kelima pengunjung setianya yang setiap sore berkumpul sembari merokok dan membicarakan pembicaraan A sampai Z tiada hentinya.

Dan ada pula rumah yang kehilangan penghuninya.

Januar terhenti di ruang tengah. Dia masih ingat gambaran mereka duduk di ruang tengah, berkumpul sembari merokok, meskipun Haidan akan mengomel karena dia paling tidak suka bau asap rokok, dan mereka bercerita banyak hal bersama disini. Sofa coklat ruang tengah mungkin dapat menjadi saksi bisu cerita mereka.

Langkahnya terhenti ketika menemukan sebuah foto yang terselipkan di bawah pot bunga di atas meja ruang tengah. Dia mengernyitkan keningnya ketika mengenali foto tersebut. “Lah, ini foto kok masih disini?”

“Foto apa?” tanya Jarvis yang mendekat pada Januar bersama dengan Abian.

Mereka melihat foto yang ditemukan Januar itu bersama-sama dan tersenyum. Jarvis menoleh ke arah Januar. “Pas ulang tahun lo ga sih, Nu?”

Januar mengangguk pelan. “Iya bang.”

Dalam foto itu, mereka berlima tersenyum bahagia dengan pakaian seadanya dan muka mengantuk karena foto itu diambil tengah malam di hari ulang tahun Januar. Senyum mereka membuat Januar bersedih. “Kangen kita berlima dulu,” celetuknya lirih.

Jarvis dan Abian menoleh, memandangi satu sama lain. Bukan hanya Januar yang merasa begitu, namun mereka juga merasakan hal yang sama. Jarvis merangkul Januar dan menepuk pundaknya pelan. “Pasti ada saatnya lagi kita kumpul berlima kayak dulu.”

Januar menoleh ke arah Jarvis dan mengangguk pelan. Dia mencoba mempercayai perkataan Jarvis tersebut. Meskipun dunia beranjak berubah dan mereka sudah menemukan kesibukan dan ‘rumah’ mereka masing-masing, namun Januar yakin, mereka pasti akan bersama kembali.

Suatu saat nanti.

Selang beberapa saat mereka berputar-putar mengelilingi tempat tinggal mereka guna melepas kerinduan serta mengingat kembali kenangan masa remaja mereka, ketiganya memutuskan untuk keluar.

Jarvis mengunci kembali pintu indekos, memastikan bahwa tidak ada yang masuk kembali ke tempat ini. Abian ikut membantu Jarvis, sedangkan Januar sudah berjalan menuju gerbang lebih dahulu.

Langkah Januar terhenti ketika menemukan seseorang yang dikenalinya. Kedua matanya terbelak cukup terkejut bertemu dengan orang itu. “Oh? Neng Gina?!”

Suara Januar yang menyebutkan nama gadis itu membuat Abian seketika menoleh. Bukan hanya Januar yang terkejut melihat sosok Gina disini, bahkan Abian lebih terkejut. Dia sampai membeku di tempatnya.

“Hai! Lama ga ketemu kalian!!” sapa Gina dengan senyum ramahnya, yang tak berubah bahkan sejak beberapa tahun terakhir mereka bertemu.

Gina menoleh ke arah Abian yang masih terdiam. Dia tersenyum lebih lebar pada seseorang yang dulu pernah singgah di hatinya dan memberikan kenangan indah. Baik Gina dan Abian sama-sama saling berpandangan dalam diam.

Jadi ini rasanya bertemu dengan seseorang di masa lalu yang pernah mengambil bagian spesial di hati?

[]

Penampilan Jaffan masih berantakan sejak dia kembali ke rumah sakit. Januar yang sedari tadi menemani Haidan di ruangan sampai tidak tahu apa yang terjadi, terkejut melihat sosok Jaffan yang berjalan dengan lunglai di lorong rumah sakit.

Dia langsung bangkit dari duduknya. “Bang, lo kenapa?” tanya Januar menghampiri Jaffan dengan khawatir. Terlebih ketika menemukan tangan kanan Jaffan yang terluka dan penuh darah itu.

Sayangnya, Jaffan tak kunjung membuka mulutnya. Hal itu membuat Januar menoleh ke arah Jarvis yang datang bersama Jaffan. Niat ingin mendapatkan jawaban, Jarvis hanya tersenyum dan tak memberikannya jawaban.

Hingga tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Abian yang sudah kembali dari kantor polisi keluar dari sana. Dia menoleh ke arah Jaffan yang baru saja datang itu. “Haidan udah bisa dipindahin ke ruang rawat biasa karena kondisinya mulai stabil. Tapi dia masih belum bangun.”

Abian menatap Jaffan dengan dingin, lebih tepatnya karena dia masih kesal dengan tindakan Jaffan di kantor polisi tadi. “Bersihin diri lo dulu sebelum masuk. Idan ogah liat lo begitu,” ujar Abian dingin. Bahkan setelah mengatakannya, Abian memalingkan wajahnya dari Jaffan begitu saja.

Jarvis menepuk pundak Jaffan dan tersenyum tipis pada sahabatnya itu. “Masuk gih. Bersihin diri lo di kamar mandi dalem.”

Jaffan mengangguk, mengikuti perintah Jarvis tanpa melawannya seperti biasanya. Sosok Jaffan yang dikenal humoris dan menjengkelkan itu seketika hilang. Mungkin, sosok Jaffan akan seratus persen berubah jika Haidan benar-benar pergi.

Sesuai ucapan Jarvis, Jaffan menggunakan kamar mandi yang ada di dalam ruang rawat Haidan. Dia membersihkan tangannya yang luka dan penuh darah itu. Selain itu, dia juga membasuh wajahnya supaya dia tetap waras meskipun pikirannya benar-benar kacau balau.

Setelah membersihkan dirinya, dia pun keluar dari kamar mandi. Dia terdiam sejenak begitu menemukan ruang rawat Haidan tidak ada orang, hanya Haidan yang berbaring di ranjang. Sedangkan teman-temannya malah duduk di luar. Meskipun begitu, Jaffan tidak terlalu memikirkannya.

Jaffan menghampiri Haidan yang masih belum bangun. Penampilan Haidan di ruang ICU dan ruang rawat tidak jauh berbeda. Tubuhnya masih dikelilingi alat-alat medis, seperti alat bantu pernapasan dan lainnya supaya kondisi Haidan tetap stabil dan terjaga.

Dia menarik kursi dan duduk di samping ranjang dimana Haidan berbaring. Keheningan di ruangan tersebut mulai menyelimuti ketika Jaffan mulai memandangi wajah pucat Haidan dalam diam yang panjang. Hingga suara dari alat elektrokardiograf sampai terdengar mendominasi, memperdengarkan irama detak jantung Haidan yang stabil.

“Idan..” Jaffan berusaha tersenyum, meskipun perlahan air matanya mulai mengepul di pelupuk matanya lagi. “Gue udah disini lagi. Lo masih ga mau bangun?”

Jaffan menarik napas sejenak. Dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja, berharap dengan begitu dia dapat melihat sahabatnya membuka matanya kembali. Bahkan Jaffan mencoba mengubah tragedi menjadi komedi dengan berkata pada Haidan. “Gue abis ngerokok loh. Lo ga mau marahin gue? Lo kan yang biasa ngomel-ngomel kalo gue ngerokok.”

Sayangnya, Haidan masih terdiam. Hal itu membuat Jaffan semakin sedih. Jaffan berdeham pelan. Dia membuka genggaman tangan Haidan dan masih menemukan gantungan kunci yang dititipkannya di sana. “Lihat deh. Gue beli ini buat lo. Gue tahu ini bukan hadiah yang mahal, tapi gue sengaja beliin ini buat bikin lo kesel. Ayo bangun Dan, lo ga mau nerima oleh-oleh gue nih? Tega banget njir,” decak Jaffan pelan.

Dia mengembalikan gantungan kunci berbentuk kupu-kupu itu ke genggaman Haidan, dengan harapan, ketika Haidan bangun nanti, sahabatnya akan menemukan hadiah darinya. Meskipun tidak ada yang tahu kapan Haidan akan bangun.

Keheningan kembali datang. Jaffan menundukkan kepalanya dan kembali diam untuk waktu yang cukup lama. Dia memejamkan matanya, menahan air mata yang memberontak ingin keluar dari sana. Meskipun begitu, Jaffan tetap gagal menyembunyikan kesedihan dan kehancurannya.

“Maafin gue..” Suara Jaffan terdengar lirih keluar dari mulutnya.

Jaffan menahan tangisnya dan berusaha melanjutkan ucapannya. “Harusnya dari awal gue ga ninggalin lo sendirian. Ini salah gue, Dan. Kalo aja gue ga ninggalin lo sendirian di indekos, mungkin ini ga bakal kejadian ke lo. Maafin gue, Dan.”

Sayangnya, seberapa keras Jaffan berusaha, air matanya terus banjir keluar, membasahi pipinya. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Haidan pilu. “Maafin gue karena gue belum bisa jadi sahabat yang baik buat lo.”

Tangan Jaffan yang mulai gemetar meraih tangan Haidan perlahan. Dia memegang jari kelingking sahabatnya dan mengaitkan kelingkingnya perlahan. “Gue janji gue bakal lebih baik ke lo, jadi gue mohon..”

“Gue mohon bangun, Dan. Jangan tinggalin gue,” pinta Jaffan menatap sahabatnya itu penuh harap. “Gue mohon sama lo, Dan.”

Suara tangis Jaffan perlahan terdengar sampai di luar ruangan dan terdengar jelas oleh ketiga teman-temannya yang lain. Kesedihan itu tidak hanya dirasakan oleh Jaffan, namun ketiga teman lainnya. Tanpa sepengetahuan Jaffan, di luar ruangan, mereka ikut menangis bersama Jaffan, sama hancurnya dengan Jaffan dan takut kehilangan Haidan.

Abian menyandarkan punggungnya ke tembok, mengadahkan kepalanya, berusaha menahan air matanya, meskipun sulit. Hingga akhirnya dia kalah, air matanya tak bisa tertahan lagi. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya dan menangis dalam diam.

Rasa bersalah dan menyesal karena telah meninggalkan Haidan sendirian tidak hanya datang dari Jaffan sana, namun juga dari ketiga teman lainnya. Mungkin ketika Haidan bangun nanti, kata pertama yang ingin mereka ucapkan adalah ‘Maaf’.

Malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Malam ini cukup kelabu untuk mereka. Bahkan diluar hujan deras, seakan menandakan bahwa semesta ikut bersedih bersama mereka malam ini.

Kehilangan Haidan menjadi skenario terburuk yang mungkin akan terjadi. Mereka sampai tak bisa membayangkan jika itu benar-benar terjadi. Haidan bagi mereka bukanlah sekedar teman atau sahabat, namun salah satu penyangga ‘rumah’ mereka.

Lantas, bagaimana jika sebuah rumah kehilangan salah satu penyangganya? Akankah rumah itu dapat berdiri kokoh seperti sebelumnya?

[]

Beberapa orang berlalu lalang di dalam kantor polisi sektor yang ada di dekat kompleks indekos mereka. Di dalam sana, sudah ada Abian dan Gavin yang mengurus perkara pencurian yang terjadi di kompleks tempat tinggal mereka.

Ternyata, maling tersebut tidak hanya mencuri di indekos dan menyerang Haidan, namun dia juga masuk ke dalam beberapa warga dan menyerang warga yang sedang meronda malam. Namun tingkat keparahannya lebih parah Haidan karena maling tersebut beberapa kali memukul kepala Haidan menggunakan tongkat baseball ketika Haidan mencoba melakukan perlawanan.

Abian dan Gavin memberikan kesaksian, sekaligus dua orang warga sekitar yang berhasil membawa maling tersebut. Untungnya, maling tersebut bisa ditangkap setelah membuat banyak kerugian pada warga sekitar.

Tiba-tiba Gavin terkejut melihat ke arah pintu masuk. Abian yang duduk di samping Gavin ikut menoleh ke arah yang dilihat Gavin sampai terkejut dan ikut terkejut begitu melihat kedatangan tak terduga dari Jaffan. Dia sampai bangkit dari duduknya, “Pan, ngapain lo disini?”

Jaffan tidak menjawabnya. Dia terus melangkah dan tatapannya lurus menatap maling yang telah membuat Haidan seperti itu dengan tatapan marah.

Detik berikutnya, secara mengejutkan, Jaffan menarik kerah si maling dan melayangkan pukulan ke wajah maling tersebut. Tindakannya tentu saja membuat semua orang di sekitarnya sangat terkejut, terutama Abian.

“Pan! Anjir, Pan! Udah, Pan!” teriak Abian panik ketika Jaffan memukul maling tersebut tanpa henti.

Mereka mencoba menghentikan Jaffan, namun lelaki itu tidak mudah dihentikan. Dia terus menghajar maling tersebut habis-habisan, bahkan sampai si maling tidak bisa melawan. Jaffan memukulinya dengan wajah tenang namun tatapannya sangat tajam.

“Akh! Akh!!” Si maling hanya bisa pasrah dipukuli oleh Jaffan dan berusaha untuk melindungi dirinya karena dia tidak dapat melawan Jaffan.

“Apan, anjing! Udah, njir!” Abian masih berusaha menghentikan Jaffan. Bahkan salah satu polisi ikut turun tangan menghentikannya, namun Jaffan benar-benar menggila.

Bahkan wajah si maling sampai berdarah, Jaffan masih belum berhenti. Dia terus memukuli maling tersebut sebagai balasan atas apa yang telah dilakukan maling itu pada Haidan sampai Haidan harus terbaring koma di rumah sakit.

Hingga akhirnya, maling tersebut kehilangan kesadarannya. Jaffan pun berhenti. Dia melepaskan cengkraman kerah si maling dengan kasar. Seperti tidak terjadi apapun, dia berjalan pergi begitu saja.

Salah satu polisi berdiri dari duduknya. “Saudara Jaffan, anda tahu bahwa tindakan anda barusan dapat membuat anda mendapatkan hukuman!” serunya tegas, mencoba menghentikan langkah Jaffan.

Jaffan menoleh. Wajahnya tampak datar menatap polisi tersebut dengan acuh. “Silahkan. Kalau anda mau hukum saya, silahkan.” Bahkan setelah mengatakannya, Jaffan pergi begitu saja.

Orang-orang disana mulai sibuk mengurus si maling yang sampai pingsan akibat pukulan dari Jaffan. Berbeda dengan Abian, sebagai sahabat yang sudah tinggal lama dengan Jaffan, dia mencoba mengejarnya. “Pan!”

Abian dan yang lain tahu, Jaffan bukan tipe orang yang mudah memukuli orang lain, bahkan dia tipe orang yang lebih memilih menjauhi keributan daripada terlibat, sama seperti Haidan. Bedanya, Jaffan tahu dia kuat dan tidak ingin kekuatannya malah melukai orang lain. Abian juga tahu, Jaffan bukan tipe orang yang mudah marah bahkan sampai memukuli orang lain, tapi untuk kasus ini, dia tahu bagaimana perasaan Jaffan sampai bertindak seperti ini.

Setelah kesulitan mengejar Jaffan, akhirnya Abian dapat menarik tangan Jaffan dan menahannya di depan kantor polisi. “Apan! Anjing! Lo apa-apaan sih?” tanyanya marah pada tindakan gila Jaffan tadi.

“Dia berhak dapet balesan atas apa yang dia lakuin ke Idan,” jawab Jaffan masih datar, tanpa merasa bersalah sedikitpun. Abian masih tidak habis pikir dengan tindakan Jaffan itu. “Lo gila?”

“Iya, gue udah gila.” Jaffan menatap Abian dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca namun masih tampak tajam. “Gue bahkan bisa bunuh bajingan itu sekarang kalo sampe gue beneran kehilangan Idan.”

Abian menarik rambutnya frustasi. Abian sudah cukup frustasi dengan apa yang terjadi pada Haidan, namun kini Jaffan malah berulah diluar logika manusia. “Pan, ayolah. Idan pasti ga mau lo kayak gini.”

Jaffan membuang wajahnya sekilas. Rahangnya kembali mengeras, menahan kekesalannya dan kembali menatap Abian dengan dingin. “Kalo gitu suruh dia bangun.”

Setelahnya, Jaffan pergi begitu saja, meninggalkan Abian yang masih berdiri di tempatnya, memegangi pelipisnya yang terasa berkedut dan kepalanya seketika pening, Dia menatap punggung lebar Jaffan yang terus berjalan menjauhinya.

Abian tahu bagaimana hancurnya Jaffan atas apa yang terjadi pada Haidan. Abian juga paham betul betapa marahnya Jaffan saat ini. Abian tak bisa membayangkan bagaimana sosok Jaffan akan menggila ketika Haidan mungkin saja tidak bangun dari tidurnya.

Mungkin Jaffan akan benar-benar hancur.

Sosok Jaffan terus berjalan tanpa arah dari kantor polisi. Dia berjalan di trotoar dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya sebelahnya. Pikiran Jaffan kosong, sekosong tatapannya. Jaffan terus berjalan tanpa tujuan seperti orang kehilangan akal.

Hingga akhirnya dia berhenti di pinggir jembatan. Tangannya mengeluarkan rokok dari saku celananya dan mengambil satu batang rokok untuknya merokok di pinggir jembatan tempat dia berdiri.

Tangan Jaffan berlumuran darah, baik darah si maling itu maupun darahnya karena tangannya terluka ketika memukuli si maling tanpa henti. Namun Jaffan tak menghiraukannya, dia menenangkan pikirannya dengan merokok sendirian disana.

Jaffan kembali menangis dalam diam, membayangkan bagaimana hidupnya jika Haidan tidak akan bangun. Sembari membuang asap rokok dari mulutnya, air mata menetes kembali dari pelupuk matanya.

Dia hanya takut Tuhan mengambil Haidan, seperti Dia mengambil ayahnya.

[]

Sosok Haidan terbaring tak berdaya di ranjang salah satu ruangan di ICU ketika teman-temannya datang. Betapa terpukulnya para sahabat Haidan melihat kondisinya saat ini, bahkan Januar sampai menangis saking tak teganya melihat kondisi Haidan.

Mereka hanya berdiri di depan ruang dimana Haidan dirawat, melihat sosok Haidan yang dipenuhi oleh alat-alat medis yang membantu kondisinya tetap stabil dari jendela besar di samping pintu masuk dan melihat seisi ruangan tersebut.

Jaffan mengeraskan rahangnya. Dia membuang wajahnya, melihat bagaimana kondisi sahabat kecilnya itu membuatnya sangat terpukul. Kedua matanya berkaca-kaca, menahan kemarahan, kesedihan dan ketakutan yang terkumpul menjadi satu.

Tiba-tiba, seorang perawat keluar dari ruangan Haidan. Dia berbicara pada Jaffan dan Januar yang masih berdiri di depan ruangan, melihat Haidan dari luar ruangan. “Untuk keluarga pasien, silahkan bisa masuk, tetapi hanya satu orang yang bisa masuk terlebih dulu karena pasien baru saja selesai dioperasi jadi masih diperlukan pemantauan intensif.”

Jaffan dan Januar menoleh satu sama lain. Januar tersenyum tipis kemudian menepuk pundak Jaffan pelan. “Lo aja bang. Gue tahu lo pasti pengin ketemu Bang Idan,” ujarnya dengan mata yang masih basah pasca menangis.

“Makasih, Nu.” Januar mengangguk. Dia tahu, di antara mereka, Jaffan pasti paling sedih melihat keadaan Haidan saat ini. Maka dari itu, dia mengalah dan membiarkan Jaffan menemui Haidan terlebih dahulu.

Sesuai dengan ketentuan yang ada dari rumah sakit, Jaffan diharuskan memakai jubah, sarung tangan karet dan juga masker sebelum mendekati Haidan yang terbaring lemas di atas ranjang dengan mata yang tertutup rapat.

Selesai memakai semua perlengkapan yang disediakan oleh perawat, selangkah demi langkah Jaffan mendekati Haidan. Air mata yang sedari tadi tertahan kini lolos begitu saja dari pelupuk matanya. “Idan..”

Suara Jaffan gemetar. Dia menahan diri untuk tidak menangis, namun wajah pucat Haidan yang masih tertidur itu membuat hatinya benar-benar terluka. “Bangun, Dan..”

“Gue udah balik.” Tangannya meraih jari kelingking tangan kiri Haidan dan mengenggamnya pelan. “Kemarin gue minta lo buat nungguin gue balik, kan? Ini gue udah balik, kenapa lo malah tidur?”

Tangis Jaffan semakin tidak tertahan. Dia pun mulai terisak begitu melihat kondisi Haidan yang sangat menyedihkan itu. Jaffan menundukkan kepalanya begitu air matanya semakin deras. “B-bangun, Dan. A-ayo mabar sama gue..”

Kaki Jaffan seketika melemah dan tak memiliki kekuatan untuk menopang tubuhnya. Jaffan jatuh berjongkok di samping Haidan dan menangis sesengukkan masih dengan memegang jari kelingking sahabatnya itu. “Idan, bangun. Dan!!” teriaknya mulai frustasi.

Januar membuang wajahnya. Dia melihat semuanya dari tempatnya berdiri. Bukan hanya Jaffan saja yang sedih, namun teman-temannya yang lain, termasuk dia pasti sedih. Namun melihat kesedihan Jaffan, membuat Januar menyadari bahwa Jaffan dan Haidan memiliki hubungan yang amat erat.

Selang beberapa saat menumpahkan kesedihannya, Jaffan bangkit perlahan. Dia mengeluarkan gantungan kunci yang sengaja dibelikan untuk Jaffan kepada Haidan sebagai oleh-olehnya dari Bandung karena memang rencana hari ini dia ke Jakarta setelah berjanji pada Haidan untuk kembali sebelum Abian lebih dulu mengabarinya. Dia memasukkan gantungan kunci tersebut ke genggaman tangan kiri Haidan.

Kedua matanya menatap lurus wajah pucat Haidan, lalu perlahan, salah satu tangan di sisi tubuhnya mengepal kuat. Rasa sedihnya kita berganti menjadi rasa marah. Detik berikutnya, Jaffan berbalik pergi begitu saja.

“Lo ga papa, kan bang?” tanya Januar begitu Jaffan keluar dari ruang ICU.

Jaffan mengangguk pelan. Dia menatap Januar dengan tatapan sayu pasca menangis. “Kalo lo mau ketemu sama Idan, masuk aja.”

Januar pun mengangguk. Dia masuk ke dalam, bergantian dengan Jaffan untuk menemui Haidan. Begitu Januar masuk, Jaffan memutuskan untuk pergi menghampiri Jarvis yang tengah berbicara dengan dokter yang menangani Haidan.

“Dia mengalami cidera otak traumatis dikarenakan benturan keras yang didapatkan di kepalanya dan itu terjadi beberapa kali. Ada pendarahan dalam otaknya, namun kami sudah mengatasinya dan pasien telah melewatkan masa kritisnya di operasi tadi,” jelas dokter pada Jarvis begitu Jaffan menghampiri mereka.

Dokter menoleh ke arah Haidan yang terlihat dari jendela besar di ruang ICU lalu menoleh kembali ke Jarvis. “Kami akan memantau perkembangannya, jikalau kondisinya stabil maka dia bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa”

Jarvis menelan ludahnya cemas. Dia menoleh sekilas ke arah Jaffan, sebelum kembali menatap dokter di depannya. “Dok, temen kita bisa bangun kan, dok?” tanya Jarvis cemas.

Dokter tidak langsung menjawabnya. Dia menarik napas pelan. Dari raut wajahnya terlihat bahwa beliau juga mengkhawatirkan Haidan. “Untuk itu, kita hanya bisa berdoa dan mempercayakannya pada pasien. Saya yakin pasien akan berjuang untuk bisa segera siuman.”

Setelah mengatakannya, dokter tersebut berpamitan karena masih ada pekerjaan lain. Selepas kepergiannya, Jarvis langsung mengusap wajahnya gusar. Tentunya dia terpukul, sama seperti Jaffan, namun dia memutuskan untuk menahannya.

Jaffan menoleh kesana kemari, namun ruang tunggu di depan ICU terlihat kosong. Hanya ada beberapa dokter dan perawat yang berjaga serta mereka. Dia pun bertanya pada Jarvis. “Bang Yovi sama nyokapnya Idan dimana, bang?”

“Mereka masih kerja. Gue udah telfon mereka jadi kemungkinan mereka dateng abis selesai kerja,” jawab Jarvis mengecek kembali handphonenya untuk memeriksa pesan dari Yovian dan Tante Gita, mama Haidan.

“Bang Bian?”

“Dia lagi di kantor polisi sama Bang Gavin buat ngurus malingnya,” jawab Jarvis masih fokus pada handphonenya. Mendengar jawaban itu, Jaffan kembali mengeraskan rahangnya. Kini kedua matanya berair karena menahan marah.

Tiba-tiba Jaffan melangkahkan kakinya pergi. Jarvis langsung menahan tangannya karena dia tahu apa yang akan dilakukan oleh Jaffan. Dia menatap Jaffan dengan memohon. “Gue minta lo jangan cari perkara.”

Sayangnya Jaffan lebih dikuasai oleh rasa marahnya. Dia menepis tangan Jarvis dengan kasar. “Lepasin!” Kemudian, dia pergi begitu saja dengan langkah lebar, meninggalkan rumah sakit.

Jarvis menyisir rambutnya ke belakang dengan frustasi. “Pan! Jaffan!” teriaknya berharap Jaffan mau mendengarkannya. Sayangnya, Jaffan bahkan tidak menoleh sedikitpun ke belakang dan terus berjalan pergi.

Dia tahu, Jaffan pasti sangat marah dengan apa yang terjadi pada sahabat baiknya itu.

[]

Keributan di indekos akhirnya dapat ditinggalkan. Abian dan Jarvis berangkat ke kampus untuk mengikuti acara wisuda mereka, bersama dua pengawal setia yang sudah ribut sendiri sejak pagi datang, Haidan dan Januar.

Di kampus mereka sudah memiliki gedung untuk acara-acara resmi kampus seperti wisuda, sehingga mereka tidak perlu menyewa gedung lain di luar kampus. Teman-teman seangkatan Abian dan Jarvis sudah masuk terlebih dahulu.

Memang pada dasarnya, Abian dan Jarvis bukan morning person, jadi mereka kesulitan bangun dan bangun sepuluh menit sebelum acara dimulai. Untungnya, mereka laki-laki sehingga tidak membutuhkan persiapan lama seperti kaum perempuan. Mereka juga cukup memakai kemeja yang rapi dan sopan dibarengi dengan toga.

Acara wisuda sudah dimulai hampir dua jam lalu. Satu angkatan dari berbagai jurusan yang ada di Fakultas Teknik akan wisuda hari ini, alhasil acara membutuhkan lebih banyak waktu untuk selesai.

Hingga akhirnya, wisudawan dan wisudawati jurusan Teknik Sipil mendapatkan giliran untuk dipanggil dan diberikan ijazah dari rektor kampus mereka. Jarvis berdiri dari duduknya dan bersiap untuk maju ke depan.

Sampailah giliran Jarvis maju ke depan. Di atas panggung, Om Adi, papa Jarvis sudah menatap putranya satu-satunya dengan kedua mata yang berkaca-kaca dan dengan senyum lebar.

Jarvis berhenti di depan papanya. Om Adi memberikan ijazah Jarvis dan memindahkan tali toga putranya dengan hati-hati. Detik berikutnya, dia langsung memeluk putranya dengan penuh bangga.

Jujur, Jarvis terkejut begitu papanya memeluknya tiba-tiba. Lebih terkejutnya, tangan papanya mengusap punggungnya dengan lembut dan berbisik perlahan di telinganya. “Papa bangga sama kamu, Vis. Makasih udah buat papa bangga.”

Perkataan papanya sukses membuat Jarvis menitikkan air matanya. Padahal, dia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis di hari yang membahagiakan ini, namun pertahanannya runtuh seketika merasakan kembali kehangatan yang diberikan oleh ayahnya.

Tak hanya itu, orang-orang langsung tepuk tangan mengapresiasikan kehangatan ayah dan anak yang ditampilkan di atas panggung. Kehangatan tersebut berhasil membuat orang-orang yang melihatnya ikut tersentuh.

Selepas acara wisuda berakhir, Jarvis dan Abian keluar dari gedung, menghampiri Haidan dan Januar yang menunggu di depan gedung. Mereka langsung berpelukan bersama, merayakan hari yang bahagia ini.

“Woy!! Akhirnya ST!!” seru Jarvis melompat-lompat dengan keadaan masih berpelukan bersama ketiga sahabatnya itu.

Tiba-tiba, di tengah pelukan mereka, handphone Haidan berdering. Dia pun melepaskan diri terlebih dahulu dari rangkulan teman-temannya. “Eh, bentar bang. Ada yang telfon nih.”

Rupanya, telepon tersebut adalah dari Jaffan. Jaffan melakukan video call dari Bandung setelah dikabari Haidan bahwa acara wisuda sudah berakhir. Mengetahui siapa yang menelepon, Jarvis langsung berteriak padanya. “Woy! Apan! ST nih ST!!” teriaknya sambil menunjukkan selendang wisudanya yang tertulis nama dan gelar sarjananya.

Jaffan terlihat tertawa bahagia di layar handphone Haidan. [Hahaha! Sombong bener yang baru wisuda buset!]

“Ga asik banget lo kita lagi wisuda malah ga ada,” ujar Jarvis berdecak kesal. Tentu saja bukan hanya Jarvis, namun ketiga sahabatnya yang lain ikut merasakan kekosongan Jaffan di antara mereka.

[Iya, gue tahu lo kangen gue kan bang. Tapi lo bahagia kan?] tanya Jaffan tampak bersemangat.

“Lebih bahagia kalo lo ada disini bareng kita,” celetuk Abian tiba-tiba berhasil membuat teman-temannya, terutama Jaffan yang masih dapat mendengarnya dengan sangat jelas itu ikut terkejut.

Merasa dilihat oleh teman-temannya dengan tatapan aneh, Abian langsung membalas tatapan teman-temannya itu dengan wajah datarnya. “Kenapa sih, njir?” Teman-temannya malah kembali menertawakannya.

Januar mengambil alih handphone di tangan Haidan dan berbicara pada Jaffan. “Bang, buruan ke Jakarta lagi. Ga seru ga ada lo, bang.”

Setelahnya, mereka berempat sibuk berbicara banyak hal dengan Jaffan. Mungkin sosok Jaffan tidak bersama mereka, namun mereka masih bisa merayakan hari bahagia ini dengan tetap berlima.

Karena sama seperti apa yang dikatakan oleh Abian bahwa akan terasa lebih bahagia jika mereka bersama-sama merayakannya.

[]

Langit mulai terlihat menggelap begitu Abian dan Gina masuk ke sebuah restoran tempat dimana mereka akan mengisi perut setelah menghabiskan waktu seharian berjalan-jalan dan mengunjungi tempat indah bersama.

Seharian ini mereka sudah pergi ke dua museum sekaligus, kemudian mengelilingi bazar kuliner di taman kota dan jalan-jalan mengelilingi kota menggunakan motor vespa kesayangan Abian. Hal yang sederhana namun bisa menciptakan kenangan indah untuk keduanya.

Setelah selesai memesan makanan, Gina menatap ke arah Abian yang tampak kelelahan. Mungkin karena efek berjuang melawan skripsi hingga akhirnya berhasil menyelesaikannya. Gina tersenyum melihat wajah Abian yang tetap tampan bagaimanapun juga.

Abian yang sedari tadi melihat handphonenya, membalas beberapa pesan dari adiknya, mengangkat kepalanya perlahan. Dia menatap Gina kebingungan. “Kenapa senyum?”

“Kak Abi kenapa ganteng terus sih?” tanya Gina secara gamblang. Dia tidak pernah malu untuk berkata jujur di depan Abian. Hal itu yang membuat Abian merasa bahwa Gina adalah gadis yang cukup menggemaskan. Abian hanya menggeleng pelan, tak menjawabnya.

Akhirnya, Gina mengangkat pembicaraan lainnya. “Gimana wisudanya, kak? Udah dapet jadwal?” tanya Gina memainkan vas bunga di depan mereka, yang menjadi penghalang antara keduanya.

Kepala Abian mengangguk pelan. “Minggu depan. Besok pas aku wisuda kamu dateng kan?” tanya Abian menatap Gina penuh harap.

Sayangnya, Gina tak menjawabnya. Dia menurunkan tatapannya, tak berani membalas tatapan Abian. Bahkan raut wajahnya juga berubah serius begitu Abian menanyakan hal itu padanya. Hingga Abian merasa ada yang janggal dengan gadis di depannya.

“Kenapa, Na?” tanya Abian dengan suaranya yang rendah dan menatap Gina lembut.

Gina menarik napas sejenak sebelum memberanikan diri mengangkat pandangannya dan menatap lelaki yang berhasil membuatnya jatuh cinta berkali-kali itu. “Sebenernya ada yang mau aku bicarain sama Kak Abi.”

Abian mengangguk. “Iya. Kamu mau bicarain apa?” tanyanya. Dia sudah tahu jikalau ada yang ingin dibicarakan Gina karena dia sudah memberitahunya semalam sebelum bertemu hari ini.

“Aku bakal ikut pertukaran pelajar kak dan minggu depan aku udah berangkat ke Jepang buat ikut pertukaran pelajar itu. Jadi maaf banget aku ga bisa dateng ke wisuda Kak Abi,” ujar Gina menatap Abian dengan tatapan sedih.

“Gapapa. Aku juga seneng banget denger kabar baiknya.” Abian tersenyum manis, tidak ada kekecewaan yang ditunjukkan di raut wajahnya meskipun dia merasa sedih karena tidak ada sosok gadis yang spesial untuknya di hari wisudanya.

“Terus kita gimana, kak?”

Abian mengernyitkan keningnya tipis, tak mengerti dengan pertanyaan Gina yang tiba-tiba tersebut. “Maksudnya?”

Untuk kedua kalinya, Gina menundukkan kepalanya, menghindari tatapan mata Abian kembali. Dia bertanya dengan suara yang semakin melirih. “Apa perasaan kita bakal tetep sama meskipun kita jauh?”

Abian tidak langsung menjawabnya. Dia menatap gadis di depannya itu dengan lembut. Tidak pernah terlintas di benak Abian untuk menyakiti hati gadis itu, karena sosok Gina cukup berharga di hidupnya.

“Kamu maunya gimana?” tanya Abian membalikkan pertanyaan, jujur dia pun tidak tahu harus menjawab bagaimana.

Gina mengangkat kepalanya pelan dan menatap penuh harap ke kedua bola mata Abian yang juga menatapnya lembut. “Aku mau seengaknya kita punya hubungan yang jelas kak. Aku mau kita pacaran dengan begitu aku bakal tenang ninggalin kakak ke Jepang,” ujarnya.

Raut wajah Abian tampak berubah sedikit demi sedikit. Kali ini, Abian yang menundukkan kepalanya. “Maaf, Na. Aku belum bisa.”

Tidak perlu berbohong, bahkan dari wajah Gina terlihat bahwa gadis itu tentu saja kecewa dengan jawaban Abian, terlebih mereka sudah melewatkan banyak hal bersama sampai detik ini. “Aku kira Kak Abi suka sama aku,” ujarnya dengan nada kecewa.

Abian menganggukkan kepalanya beberapa kali, membenarkannya. “Aku suka sama kamu. Aku sayang sama kamu, lebih dari seorang temen.” Sayangnya jawaban Abian tidak lah berubah. “Tapi aku belum bisa.”

Gina menghela napas pelan. “Karena orang tua kakak?”

Kepala Abian mengangguk perlahan. Dia mengangkat pandangannya dan menatap Gina dengan dalam. “Lihat gimana orang tua aku pisah. Jujur, aku belum bisa memulai sebuah hubungan sama orang lain. Jadi maaf, Na.”

Butuh beberapa saat untuk Gina menerima jawaban Abian. Dia kembali menghembuskan napasnya dan menunduk. “Aku juga udah tebak pasti bakal gini akhirnya.”

Tiba-tiba, Gina bangkit dari duduknya. Dia menatap Abian dengan senyum yang lebih dipaksakan. “Makasih buat kenangannya hari ini, kak,” ucap Gina tulus. Ucapan terima kasih itu juga menjadi ucapan perpisahan dari Gina pada Abian.

Gina pergi begitu saja setelah mengatakannya, meninggalkan Abian yang terduduk lesu di kursinya. Kedua matanya tidak bisa lepas dari kepergiaan Gina. Mereka tahu bahwa mereka sama-sama menyukai dan mencintai, tapi Abian tidak ingin dia menyakiti Gina lebih dari ini jika mereka memaksa untuk bersama ke depannya.

Abian mungkin akan menyesali hari ini, namun dia akan lebih menyesal jika dia menyakiti perasaan Gina lebih dari ini nantinya.

Mungkin ini memang jalan terbaik untuk saat ini, berpisah untuk mendewasakan diri.

#