Better Man
Langit di atas gadis itu mulai menggelap ketika Karanina menginjakkan kakinya ke gedung Fakultas Teknik, dimana kekasihnya Rafli kuliah.
Ia sudah berkali-kali, mungkin ada ratusan kali menghubungi lelaki itu, namun Rafli terus saja mengabaikannya. Mau tak mau, Karanina harus mencarinya dan berbicara langsung padanya. Berdasarkan informasi dari sahabatnya, Ashila atau yang sering dipanggil Sisil, Rafli saat ini sedang ada perkuliahan di gedung fakultasnya.
Karanina sudah menunggu hampir satu jam, namun dia belum menemukan sosok Rafli keluar dari gedung tersebut. Ia duduk sendirian di bangku panjang hall gedung tersebut sembari melihat satu persatu orang yang berlalu lalang keluar masuk, mencari sosok Rafli diantara banyaknya orang disana.
Gadis itu tampak duduk tak tenang. Ujung sepatunya mengetuk-ketuk lantai berkali-kali, mengurangi rasa cemas. Sebenarnya, Karanina berpikir jika benar kekasihnya itu selingkuh, lalu bagaimana dengan perasaannya.
Hingga akhirnya, sosok Rafli yang berbadan tinggi tak jauh darinya itu menuruni tangga dari lantai dua bersama dengan teman-temannya.
“Pi!” teriak Karanina langsung menghadang jalan mereka.
Rafli tampak gelagapan begitu menemukan Karanina menghampirinya. Dia melirik teman-temannya dan mendekati gadis itu dengan tersenyum canggung. “Eh, sayang. Lo kok nyamperin gue ga bilang-bilang sih.”
“Gue udah - ”
Sayangnya, belum sempat Karanina menyelesaikan ucapannya, Rafli lebih dulu memotong ucapannya dan merangkul pundak gadis itu. “Gue balik duluan sama cewe gue, ya bro,” pamitnya pada teman-temannya.
Kini giliran Karanina yang kebingungan. Meskipun begitu, dia ikut saja kemana Rafli membawanya pergi. Rafli merangkulnya dan membawanya pergi menjauh dari teman-temannya itu, namun dia tidak membawa Karanina pulang. Melainkan pergi ke samping gedung fakultasnya yang tidak banyak orang berlalu lalang.
“Lo kenapa kesini?” tanya Rafli. Dari raut wajahnya sudah terlihat jelas bahwa ia tampak tidak suka dengan kedatangan kekasihnya itu.
Karanina menatap Rafli dengan jengkel. “Emang gue ga boleh nyamperin pacar gue sendiri?” Ia menghela napas pelan, sebelum kembali membuka suara. “Sekarang giliran gue yang tanya, lo kemana aja akhir-akhir ini. Lo ga pernah bales chat gue bahkan angkat telfon gue. Lo kenapa tiba-tiba hindarin gue gitu?”
“Gue ga ngehindarin lo, Ra.” Jelas-jelas Rafli membohonginya. Karanina dapat melihat dari raut wajahnya dengan jelas.
“Kenapa? Lo takut ketahuan selingkuh sama Jessica?”
Pertanyaan Karanina itu berhasil membuat Rafli terkejut. Dia segera menghindari tatapan kekasihnya itu dan semakin membuat Karanina memojokkannya. “Atau lo takut gue tahu lo sering keluar sama cewe lain yang bahkan ga cuma Jessica doang.”
Karanina menghela napas panjang. Dia sudah muak berpura-pura tak tahu apapun. Dia menatap Rafli dengan kecewa. “Gue tahu semuanya, Pi. Lo hindarin gue, terus jalan sama cewe lain yang beda-beda tiap harinya, kan?”
“Gue keluar sama cewe-cewe lain karena lo sebagai pacar gue ga pernah mau ngertiin gue,” jawab Rafli dengan suara yang reflek meningkat.
Jawaban Rafli tentu saja membuat Karanina tak habis pikir. Dia mendorong bahu Rafli pelan. “Anjir. Gue kurang ngertiin lo gimana sih?”
Rafli tak langsung menjawabnya. Dia menyisir rambutnya ke belakang sembari membasahi bibirnya yang kering. Suaranya kembali normal. “Lo terlalu tertutup sama gue, Ra. Lo ga pernah mau seneng-seneng sama gue kan? Lo tiap kali gue ajak ngewe ga pernah mau.”
Apa yang baru saja dikatakan oleh Rafli membuat Karanina semakin terkejut. “Hah? Lo gila?”
“Jessica selalu kasih semuanya ke gue. Dia selalu kasih apapun yang lo ga bisa kasih ke gue,” ujar Rafli dengan tenang tanpa merasa berdosa sama sekali dengan apa yang telah ia lakukan tersebut.
Karanina yang terlalu terkejut, sampai tak bisa berkata apapun itu hanya diam menatap Rafli tak habis pikir.
Rafli membuang napas pelan. Bukannya merasa berdosa, lelaki itu malah berlagak mengajarkan Karanina dengan sok bijak. “Gue kasih tau ya, Ra. Kalo lo masih aja sok suci kayak gin, cowo lo ga bakal betah sama lo - ”
Belum sempat mulut Rafli menutup, seseorang datang dan langsung menonjok wajah Rafli hingga tersungkur ke tanah.
Tentu saja hal itu membuat Karanina terkejut, namun ia lebih terkejut melihat siapa pelakunya. “Kak Aji!!”
Ghazi memutar-mutar sendi pergelangan tangan kanannya, siap menghajar Rafli habis-habisan. “Sialan,” umpatnya dengan menatap Rafli penuh benci.
Rafli berusaha bangkit dan mengusap sudut bibirnya yang berdarah. “Siapa lo? Apa-apaan tiba-tiba dateng mukul gue?!” Dia meninggikan suaranya dengan sok berani, padahal kenyataannya dia mundur tipis-tipis menjauh dari Ghazi.
Tatapan Ghazi terlihat tak jauh berbeda dari binatang buas yang siap menerkam kapanpun. Dia menatap tajam Rafli dan berhasil membuat lelaki itu ketakutan.
“Gue ga peduli sama cewe-cewe yang pernah ngewe sama lo. Tapi masalah Anin, lo harus tau kalo bokap dia udah mati-matian jagain dia dari kecil sampe sekarang. Dia mati-matian jagain Anin dari cowo-cowo bangsat kaya lo dan lo sebagai pacarnya dengan gampang berpikir mau ngerusak Anin yang udah dijaga baik-baik sama bokap dia?”
“Waras lo gue tanya, hah?” Ghazi mendekat nyaris menarik keras Rafli dan melayangkan pukulannya lagi.
Untungnya, Karanina lebih dulu menahan lengan Ghazi dan menghentikannya. “Kak, udah..”
Karena tatapan Ghazi berhasil membuat Rafli ketakutan, mau tak mau Rafli pun memutuskan untuk pergi. Namun sebelum itu, dia berpesan pada Karanina sembari berjalan was-was menghindari Ghazi. “Pikirin ucapan gue baik-baik, Ra,” pesannya.
Tentu saja pesan itu membuat Ghazi kembali meledak marah. “Apa yang harus dipikirin, bajingan?!”
“Kak..” Karanina kembali menahan Ghazi yang hendak mengejar Rafli yang langsung berlari terbirit ketika Ghazi berteriak marah.
Ghazi memutar tubuhnya, menatap Karanina yang menundukkan kepala di hadapannya. Ia mendengus pelan. “Ga usah dipikirin omong kosong dia. Dia orang gila, Nin.”
Sayangnya, perbuatan dan perkataan Rafli telah menyakiti perasaannya, hingga Karanina tak kuasa menahan air matanya. Di balik kepalanya yang menunduk, Karanina meneteskan air mata yang seketika membludak membanjiri pipi.
Ghazi membuang wajah sejenak. Melihat bagaimana Karanina menangis karena orang brengsek seperti Rafli membuat Ghazi semakin marah. Tiba-tiba, ia meraih tangan Karanina dengan lembut dan menggandengnya. “Ayo, kita cari tempat nangis yang lebih enak,” ajaknya yang diiyakan dengan mudah oleh Karanina.
Langit semakin gelap begitu keduanya sampai di sebuah taman tak terpakai yang letaknya tak jauh dari rumah keduanya. Karanina duduk bersama Ghazi di bangku panjang dan mengisi malam dengan menangisi semua yang terjadi padanya hari ini.
Sementara yang dilakukan Ghazi hanya terdiam duduk di samping gadis itu. Dia melepas jaketnya dan memakaikannya pada Karanina, mengingat udara malam hari semakin terasa dingin. Tangannya ikut terjulur dan menepuk pundak gadis itu dengan perlahan.
Karanina terlalu sibuk menangisi lelaki yang jelas-jelas tidak pantas untuknya, sehingga mengabaikan sosok lelaki yang jauh pantas dari Rafli untuknya.
Ghazi Argani, lelaki yang selalu ada untuknya dan selalu bersabar menunggu Karanina sadar bahwa dia dapat memperlakukan Karanina jauh lebih baik dibandingkan Rafli.
Ghazi selalu ada di sisi Karanina, tanpa gadis itu sadari. Dia lah lelaki yang lebih baik untuknya.
[]