Kenangan Masa Remaja

Jalanan di kompleks perumahan dimana indekos pak haji berada cukup sepi, mengingat hari ini merupakan hari kerja dan sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, dimana orang-orang sudah sibuk dengan aktifitas mereka masing-masing.

Mobil yang dikendarai oleh Abian datang dari ujung jalan. Seperti yang ditentukan semalam, Abian dan dua temannya yang lain, Jarvis dan Januar pergi jalan-jalan. Mereka telah mengunjungi beberapa tempat yang mereka sering datangi saat dulu. Seperti kampus mereka, warung padang depan kampus dimana mereka sering makan siang bersama, taman kota yang menjadi tempat ketika mereka bersepeda bersama dan terakhir mereka akan mengunjungi indekos.

Abian menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang tempat tinggal mereka dulu, sebelum mengikuti Jarvis dan Januar yang sudah keluar dari mobil terlebih dulu. Mereka berdiam sejenak, menatap bangunan yang masih berdiri namun kehilangan para penghuninya.

“Jadi inget pertama kali ngekos disini,” ujar Abian menoleh ke arah Jarvis. Dia tersenyum sendu begitu mengingat masa lalu mereka. “Masih sepi ga ada penghuninya.”

Jarvis mengangguk, membenarkannya. “Kita beneran jadi penghuni pertama dan terakhir, ya Bi.”

Keduanya sama-sama teringat malam dimana secara kebetulan Abian dan Jarvis kehilangan rumah mereka, lalu seperti sebuah takdir yang datang, mereka bertemu dengan Pak Haji yang menawarkan indekos barunya dan dari situlah kehidupan baru mereka dimulai di indekos ini.

“Ngomong-ngomong gimana caranya kita masuk?” tanya Januar membuyarkan lamunan masa lalu Abian dan Jarvis. Abian ikut menoleh dan ikut kebingungan seperti Januar.

Tiba-tiba saja, Jarvis mengeluarkan sebuah kunci dari saku jaketnya. “Kok lo megang kuncinya?” tanya Abian terkejut.

“Kantor gue sama kantor Bang Gavin deketan jadi kemarin gue minta kunci kosan sama dia,” jawab Jarvis membuka gembok gerbang indekos dengan kunci yang dibawanya dan mengajak dua temannya masuk. “Ayo masuk!”

Mereka masuk ke dalam indekos yang sudah bertahun-tahun mereka tinggal. Banyak kenangan yang tercipta di tempat ini. Masa remaja mereka yang penuh masalah dalam mencari jati diri dan arti sebuah rumah dihabiskan bersama di tempat ini. Mungkin bagi orang, tempat ini hanyalah indekos biasa, namun bagi mereka tempat ini adalah tempat yang sangat berharga.

“Bener-bener sepi ya,” celetuk Januar menoleh kesana kemari dan menemukan kekosongan mendominasi tempat ini.

Tidak ada yang berubah, hanya saja beberapa furnitur di dalam indekos ditutupi oleh kain putih dan sudah cukup berdebu karena sudah tidak ditempati beberapa tahun lamanya. Meskipun begitu, kenangan-kenangan indah yang tercipta di tempat itu masih membekas.

Januar menoleh ke dua abangnya yang mulai berpencar, melihat-lihat seisi indekos. “Kangen banget ga sih, bang.” Dia tersenyum sedu, terkadang dia merindukan masa-masa dimana mereka masih tinggal bersama seperti dulu.

Kehangatan di dalam indekos ini sangat dirindukan oleh para penghuni lamanya. Gelak tawa dan keberisikan yang tidak pernah absen dari kelima penghuni di dalam indekos ini sudah lama tidak terdengar.

Ada dapur yang kehilangan juru masak dan ahli makannya, lalu ada pula balkon yang kehilangan penyanyi akustiknya, ada ruang tengah yang kehilangan kelima pengunjung setianya yang setiap sore berkumpul sembari merokok dan membicarakan pembicaraan A sampai Z tiada hentinya.

Dan ada pula rumah yang kehilangan penghuninya.

Januar terhenti di ruang tengah. Dia masih ingat gambaran mereka duduk di ruang tengah, berkumpul sembari merokok, meskipun Haidan akan mengomel karena dia paling tidak suka bau asap rokok, dan mereka bercerita banyak hal bersama disini. Sofa coklat ruang tengah mungkin dapat menjadi saksi bisu cerita mereka.

Langkahnya terhenti ketika menemukan sebuah foto yang terselipkan di bawah pot bunga di atas meja ruang tengah. Dia mengernyitkan keningnya ketika mengenali foto tersebut. “Lah, ini foto kok masih disini?”

“Foto apa?” tanya Jarvis yang mendekat pada Januar bersama dengan Abian.

Mereka melihat foto yang ditemukan Januar itu bersama-sama dan tersenyum. Jarvis menoleh ke arah Januar. “Pas ulang tahun lo ga sih, Nu?”

Januar mengangguk pelan. “Iya bang.”

Dalam foto itu, mereka berlima tersenyum bahagia dengan pakaian seadanya dan muka mengantuk karena foto itu diambil tengah malam di hari ulang tahun Januar. Senyum mereka membuat Januar bersedih. “Kangen kita berlima dulu,” celetuknya lirih.

Jarvis dan Abian menoleh, memandangi satu sama lain. Bukan hanya Januar yang merasa begitu, namun mereka juga merasakan hal yang sama. Jarvis merangkul Januar dan menepuk pundaknya pelan. “Pasti ada saatnya lagi kita kumpul berlima kayak dulu.”

Januar menoleh ke arah Jarvis dan mengangguk pelan. Dia mencoba mempercayai perkataan Jarvis tersebut. Meskipun dunia beranjak berubah dan mereka sudah menemukan kesibukan dan ‘rumah’ mereka masing-masing, namun Januar yakin, mereka pasti akan bersama kembali.

Suatu saat nanti.

Selang beberapa saat mereka berputar-putar mengelilingi tempat tinggal mereka guna melepas kerinduan serta mengingat kembali kenangan masa remaja mereka, ketiganya memutuskan untuk keluar.

Jarvis mengunci kembali pintu indekos, memastikan bahwa tidak ada yang masuk kembali ke tempat ini. Abian ikut membantu Jarvis, sedangkan Januar sudah berjalan menuju gerbang lebih dahulu.

Langkah Januar terhenti ketika menemukan seseorang yang dikenalinya. Kedua matanya terbelak cukup terkejut bertemu dengan orang itu. “Oh? Neng Gina?!”

Suara Januar yang menyebutkan nama gadis itu membuat Abian seketika menoleh. Bukan hanya Januar yang terkejut melihat sosok Gina disini, bahkan Abian lebih terkejut. Dia sampai membeku di tempatnya.

“Hai! Lama ga ketemu kalian!!” sapa Gina dengan senyum ramahnya, yang tak berubah bahkan sejak beberapa tahun terakhir mereka bertemu.

Gina menoleh ke arah Abian yang masih terdiam. Dia tersenyum lebih lebar pada seseorang yang dulu pernah singgah di hatinya dan memberikan kenangan indah. Baik Gina dan Abian sama-sama saling berpandangan dalam diam.

Jadi ini rasanya bertemu dengan seseorang di masa lalu yang pernah mengambil bagian spesial di hati?

[]