Balas Dendam

Beberapa orang berlalu lalang di dalam kantor polisi sektor yang ada di dekat kompleks indekos mereka. Di dalam sana, sudah ada Abian dan Gavin yang mengurus perkara pencurian yang terjadi di kompleks tempat tinggal mereka.

Ternyata, maling tersebut tidak hanya mencuri di indekos dan menyerang Haidan, namun dia juga masuk ke dalam beberapa warga dan menyerang warga yang sedang meronda malam. Namun tingkat keparahannya lebih parah Haidan karena maling tersebut beberapa kali memukul kepala Haidan menggunakan tongkat baseball ketika Haidan mencoba melakukan perlawanan.

Abian dan Gavin memberikan kesaksian, sekaligus dua orang warga sekitar yang berhasil membawa maling tersebut. Untungnya, maling tersebut bisa ditangkap setelah membuat banyak kerugian pada warga sekitar.

Tiba-tiba Gavin terkejut melihat ke arah pintu masuk. Abian yang duduk di samping Gavin ikut menoleh ke arah yang dilihat Gavin sampai terkejut dan ikut terkejut begitu melihat kedatangan tak terduga dari Jaffan. Dia sampai bangkit dari duduknya, “Pan, ngapain lo disini?”

Jaffan tidak menjawabnya. Dia terus melangkah dan tatapannya lurus menatap maling yang telah membuat Haidan seperti itu dengan tatapan marah.

Detik berikutnya, secara mengejutkan, Jaffan menarik kerah si maling dan melayangkan pukulan ke wajah maling tersebut. Tindakannya tentu saja membuat semua orang di sekitarnya sangat terkejut, terutama Abian.

“Pan! Anjir, Pan! Udah, Pan!” teriak Abian panik ketika Jaffan memukul maling tersebut tanpa henti.

Mereka mencoba menghentikan Jaffan, namun lelaki itu tidak mudah dihentikan. Dia terus menghajar maling tersebut habis-habisan, bahkan sampai si maling tidak bisa melawan. Jaffan memukulinya dengan wajah tenang namun tatapannya sangat tajam.

“Akh! Akh!!” Si maling hanya bisa pasrah dipukuli oleh Jaffan dan berusaha untuk melindungi dirinya karena dia tidak dapat melawan Jaffan.

“Apan, anjing! Udah, njir!” Abian masih berusaha menghentikan Jaffan. Bahkan salah satu polisi ikut turun tangan menghentikannya, namun Jaffan benar-benar menggila.

Bahkan wajah si maling sampai berdarah, Jaffan masih belum berhenti. Dia terus memukuli maling tersebut sebagai balasan atas apa yang telah dilakukan maling itu pada Haidan sampai Haidan harus terbaring koma di rumah sakit.

Hingga akhirnya, maling tersebut kehilangan kesadarannya. Jaffan pun berhenti. Dia melepaskan cengkraman kerah si maling dengan kasar. Seperti tidak terjadi apapun, dia berjalan pergi begitu saja.

Salah satu polisi berdiri dari duduknya. “Saudara Jaffan, anda tahu bahwa tindakan anda barusan dapat membuat anda mendapatkan hukuman!” serunya tegas, mencoba menghentikan langkah Jaffan.

Jaffan menoleh. Wajahnya tampak datar menatap polisi tersebut dengan acuh. “Silahkan. Kalau anda mau hukum saya, silahkan.” Bahkan setelah mengatakannya, Jaffan pergi begitu saja.

Orang-orang disana mulai sibuk mengurus si maling yang sampai pingsan akibat pukulan dari Jaffan. Berbeda dengan Abian, sebagai sahabat yang sudah tinggal lama dengan Jaffan, dia mencoba mengejarnya. “Pan!”

Abian dan yang lain tahu, Jaffan bukan tipe orang yang mudah memukuli orang lain, bahkan dia tipe orang yang lebih memilih menjauhi keributan daripada terlibat, sama seperti Haidan. Bedanya, Jaffan tahu dia kuat dan tidak ingin kekuatannya malah melukai orang lain. Abian juga tahu, Jaffan bukan tipe orang yang mudah marah bahkan sampai memukuli orang lain, tapi untuk kasus ini, dia tahu bagaimana perasaan Jaffan sampai bertindak seperti ini.

Setelah kesulitan mengejar Jaffan, akhirnya Abian dapat menarik tangan Jaffan dan menahannya di depan kantor polisi. “Apan! Anjing! Lo apa-apaan sih?” tanyanya marah pada tindakan gila Jaffan tadi.

“Dia berhak dapet balesan atas apa yang dia lakuin ke Idan,” jawab Jaffan masih datar, tanpa merasa bersalah sedikitpun. Abian masih tidak habis pikir dengan tindakan Jaffan itu. “Lo gila?”

“Iya, gue udah gila.” Jaffan menatap Abian dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca namun masih tampak tajam. “Gue bahkan bisa bunuh bajingan itu sekarang kalo sampe gue beneran kehilangan Idan.”

Abian menarik rambutnya frustasi. Abian sudah cukup frustasi dengan apa yang terjadi pada Haidan, namun kini Jaffan malah berulah diluar logika manusia. “Pan, ayolah. Idan pasti ga mau lo kayak gini.”

Jaffan membuang wajahnya sekilas. Rahangnya kembali mengeras, menahan kekesalannya dan kembali menatap Abian dengan dingin. “Kalo gitu suruh dia bangun.”

Setelahnya, Jaffan pergi begitu saja, meninggalkan Abian yang masih berdiri di tempatnya, memegangi pelipisnya yang terasa berkedut dan kepalanya seketika pening, Dia menatap punggung lebar Jaffan yang terus berjalan menjauhinya.

Abian tahu bagaimana hancurnya Jaffan atas apa yang terjadi pada Haidan. Abian juga paham betul betapa marahnya Jaffan saat ini. Abian tak bisa membayangkan bagaimana sosok Jaffan akan menggila ketika Haidan mungkin saja tidak bangun dari tidurnya.

Mungkin Jaffan akan benar-benar hancur.

Sosok Jaffan terus berjalan tanpa arah dari kantor polisi. Dia berjalan di trotoar dengan banyaknya kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya sebelahnya. Pikiran Jaffan kosong, sekosong tatapannya. Jaffan terus berjalan tanpa tujuan seperti orang kehilangan akal.

Hingga akhirnya dia berhenti di pinggir jembatan. Tangannya mengeluarkan rokok dari saku celananya dan mengambil satu batang rokok untuknya merokok di pinggir jembatan tempat dia berdiri.

Tangan Jaffan berlumuran darah, baik darah si maling itu maupun darahnya karena tangannya terluka ketika memukuli si maling tanpa henti. Namun Jaffan tak menghiraukannya, dia menenangkan pikirannya dengan merokok sendirian disana.

Jaffan kembali menangis dalam diam, membayangkan bagaimana hidupnya jika Haidan tidak akan bangun. Sembari membuang asap rokok dari mulutnya, air mata menetes kembali dari pelupuk matanya.

Dia hanya takut Tuhan mengambil Haidan, seperti Dia mengambil ayahnya.

[]