Firasat

Kepadatan di Warung Mpok Iyah meningkat begitu mengingat sudah memasuki jam makan siang. Meja yang berada di pojok sudah ditempati pelanggan setia Mpok Iyah yang selalu datang setiap harinya. Siapa lagi jika bukan Jaziel dan kawan-kawan, bedanya hari ini mereka datang bertiga, tanpa Helena.

Mpok Iyah yang sudah hapal dengan mereka pun mempertanyakan kelengkapan formasi empat sahabat yang selalu pergi bersama itu. “Loh, Non Helena ga ikut ta?” tanya Mpok Iyah dengan akses Surabaya yang masih kental.

“Lagi pacaran, Mpok. Biasalah kalo udah punya pacar, sahabatnya dilupain,” jawab Jaziel berdiri dari duduknya, membantu Mpok Iyah menurunkan pesanannya dengan teman-temannya ke meja mereka.

“Walah-walah.” Mpok Iyah saja sampai menggeleng-geleng mendengernya. Setelah mengantarkan semua pesanan mereka, Mpok Iyah pun mempersilahkan mereka, sebelum kembali ke dapur. “Monggo dinikmati makan siangnya, Den, Non.”

“Makasih, Mpok,” ucap Megumi tersenyum manis pada Mpok Iyah.

Sebelum makan, dia melipat lengan seragamnya terlebih dahulu. Berbeda dengan Jaziel dan Harvis yang bahkan masih menggunakan seragam olahraga. Hari rabu adalah jadwal mata pelajaran olahraga, oleh karena itu, selesai jam mata pelajaran tersebut, mereka langsung pergi ke warung Mpok Iyah untuk mengisi energi kembali.

“Dia beneran pacaran sama Burhan?” Harvis membuka pembicaraan ketika dirinya dan teman-temannya mulai makan.

Baik Jaziel dan Harvis menoleh ke arah Megumi karena merasa Megumi lebih tahu perihal tersebut, tidak heran karena para perempuan lebih terbuka satu sama lain. Megumi mengangguk pelan dan menjawabnya setelah merasa dua temannya menatapnya penuh tanya. “Katanya sih Burhan udah bilang kalo suka Helen, cuma emang belum nembak aja.”

“Idih, cowo apaan begitu,” komentar Jaziel dengan julid. Dia berhenti makan sejenak dan berdecak pelan. “Tapi firasat gue bilang tuh manusia ga bener njir.”

“Ga bener gimana?” tanya Harvis yang duduk di hadapan sahabatnya itu sampai berhenti makan.

Jaziel mengangkat kedua bahunya dan menggeleng pelan. “Ya ga tahu. Entah dia udah punya pacar ato si Helen cuma buat mainan doang. Dari mukanya udah keliatan njir, mirip Vicky Prasetyo.” Hal itu mengundang gelak tawa kedua sahabatnya.

Tiba-tiba, Jaziel meletakkan sendoknya dan menegakkan punggungnya. “Lo inget ga sih kemarin, pas Helena ilang, kan Burhan kagak ngapa-ngapain njir. Kayak ga peduli banget sama Helena. Ya ga, Vis?” tanyanya pada Harvis.

Harvis mengangguk pelan, setuju dengannya. “Iya sih.”

Detik selanjutnya, Megumi berdecak pelan. Dia menoleh ke arah Harvis yang duduk di sebelahnya. “Anjir, Vis. Lo mau aja sih setuju sama idenya si Jiel. Otak dia kan rada-rada,” ejeknya menunjuk Jaziel dengan dagunya.

Jaziel berdecak kesal dan mengangkat sendoknya, berniat memukul kepala Megumi dengan sendoknya. Sayangnya, Megumi lebih dulu melotot padanya hingga membuat nyali Jaziel menciut. Mereka pun kembali terdiam, menikmati makan siang mereka.

Tak lama sejak ketenangan di meja mereka mulai mendominasi, Jaziel kembali membuka mulutnya dan membuka bahan pembicaraan baru. “Ntar malem nongkrong yok, Mi,” ajaknya pada Megumi yang masih memakan sotonya dengan tenang.

“Sama siapa aja emang?” tanya Megumi menoleh ke arah Jaziel dan Harvis bergantian.

“Temen-temen futsal gue sama Harvis,” jawabnya sembari mengeluarkan rokoknya. Karena dia sudah selesai makan dan memutuskan menunggu Megumi selesai makan sembari merokok.

Megumi menggeleng pelan. “Ga bisa coy. Gue ada les sampe malem.”

Jaziel yang hendak mendekatkan rokok ke mulutnya itu terhenti. Dia menatap Megumi dengan tatapan kecewa. “Ah, ga asik lo. Hidup lo belajar mulu, buset.” Dia mulai mengomel sembari merokok. “Kan rencananya gue mau ngenalin lo sama temen gue. Siapa itu namanya, Vis? Kiper kita?”

“Daffi,” sahut Harvis sembari mengambil satu batang rokok Jaziel dan ikut merokok.

Jaziel menjentikkan jemarinya membenarkan. “Nah itu, biar lo ga jomblo mulu, Mi,” ujarnya pada Megumi setengah mengomel seperti biasanya.

Hal itu berhasil memancing kemarahan Megumi dan langsung mengegas. “Ngaca dong anjing. Lo juga jomblo!!”

Bukannya berhenti, Jaziel malah mengajak Megumi yang belum selesai makan itu berdebat dengannya. “Gue sama Harvis tuh jomblo karena lo sama Helena jomblo mulu. Kita jadi susah deketin cewe kalo kalian jomblo,” ujarnya.

“Pret banget!” Megumi berdecak kesal dan membalasnya dengan julid. “Orang kemarin pas gue sama Helena udah punya cowo aja kalian masih jomblo. Emang lo pada aja yang ga laku!”

Harvis sampai ikut berdebat dengan mereka, namun berada di pihak Jaziel. “Itu karena cowo-cowo kalian red flag semua anjir. Gimana kita mau tenang liatnya?” tanyanya sampai memiringkan tubuhnya berhadapan dengan Megumi.

“Halah banyak alesan lo berdua.” Megumi tidak menghiraukannya lagi dan kembali menghabiskan makan siangnya yang bahkan belum habis setengahnya.

Megumi memang orang yang paling lambat dalam urusan makanan. Hal itu membuat Jaziel yang melihatnya menjadi gemas sendiri dan menjailinya. “Lo makan lama bener sih, Mi? Gue suapin aja sini.” Dia merebut sendok Megumi dan menyuapinya dengan paksa.

“JIEL!!!” teriak Megumi kesal. Dia sampai berdiri dari duduknya dan memukul lengan Jaziel berkali-kali.

“Aduh! Sakit, njir!” Jaziel berteriak kesakitan karena Megumi tidak berhenti. Harvis bukannya melerai mereka malah tertawa keras dan menjadikan pertengkaran dua sahabatnya itu sebagai tontonan yang menarik.

Fakta bahwa Jaziel dan Megumi sering bertengkar karena masalah sepele itu benar adanya. Mungkin jika mereka tidak bertengkar sehari saja akan terasa aneh. Karena begitulah tipe pertemanan mereka yang sudah berjalan lebih dari enam tahun itu.

[]