Permintaan Maaf

Penampilan Jaffan masih berantakan sejak dia kembali ke rumah sakit. Januar yang sedari tadi menemani Haidan di ruangan sampai tidak tahu apa yang terjadi, terkejut melihat sosok Jaffan yang berjalan dengan lunglai di lorong rumah sakit.

Dia langsung bangkit dari duduknya. “Bang, lo kenapa?” tanya Januar menghampiri Jaffan dengan khawatir. Terlebih ketika menemukan tangan kanan Jaffan yang terluka dan penuh darah itu.

Sayangnya, Jaffan tak kunjung membuka mulutnya. Hal itu membuat Januar menoleh ke arah Jarvis yang datang bersama Jaffan. Niat ingin mendapatkan jawaban, Jarvis hanya tersenyum dan tak memberikannya jawaban.

Hingga tiba-tiba, pintu ruang rawat terbuka. Abian yang sudah kembali dari kantor polisi keluar dari sana. Dia menoleh ke arah Jaffan yang baru saja datang itu. “Haidan udah bisa dipindahin ke ruang rawat biasa karena kondisinya mulai stabil. Tapi dia masih belum bangun.”

Abian menatap Jaffan dengan dingin, lebih tepatnya karena dia masih kesal dengan tindakan Jaffan di kantor polisi tadi. “Bersihin diri lo dulu sebelum masuk. Idan ogah liat lo begitu,” ujar Abian dingin. Bahkan setelah mengatakannya, Abian memalingkan wajahnya dari Jaffan begitu saja.

Jarvis menepuk pundak Jaffan dan tersenyum tipis pada sahabatnya itu. “Masuk gih. Bersihin diri lo di kamar mandi dalem.”

Jaffan mengangguk, mengikuti perintah Jarvis tanpa melawannya seperti biasanya. Sosok Jaffan yang dikenal humoris dan menjengkelkan itu seketika hilang. Mungkin, sosok Jaffan akan seratus persen berubah jika Haidan benar-benar pergi.

Sesuai ucapan Jarvis, Jaffan menggunakan kamar mandi yang ada di dalam ruang rawat Haidan. Dia membersihkan tangannya yang luka dan penuh darah itu. Selain itu, dia juga membasuh wajahnya supaya dia tetap waras meskipun pikirannya benar-benar kacau balau.

Setelah membersihkan dirinya, dia pun keluar dari kamar mandi. Dia terdiam sejenak begitu menemukan ruang rawat Haidan tidak ada orang, hanya Haidan yang berbaring di ranjang. Sedangkan teman-temannya malah duduk di luar. Meskipun begitu, Jaffan tidak terlalu memikirkannya.

Jaffan menghampiri Haidan yang masih belum bangun. Penampilan Haidan di ruang ICU dan ruang rawat tidak jauh berbeda. Tubuhnya masih dikelilingi alat-alat medis, seperti alat bantu pernapasan dan lainnya supaya kondisi Haidan tetap stabil dan terjaga.

Dia menarik kursi dan duduk di samping ranjang dimana Haidan berbaring. Keheningan di ruangan tersebut mulai menyelimuti ketika Jaffan mulai memandangi wajah pucat Haidan dalam diam yang panjang. Hingga suara dari alat elektrokardiograf sampai terdengar mendominasi, memperdengarkan irama detak jantung Haidan yang stabil.

“Idan..” Jaffan berusaha tersenyum, meskipun perlahan air matanya mulai mengepul di pelupuk matanya lagi. “Gue udah disini lagi. Lo masih ga mau bangun?”

Jaffan menarik napas sejenak. Dia berusaha untuk terlihat baik-baik saja, berharap dengan begitu dia dapat melihat sahabatnya membuka matanya kembali. Bahkan Jaffan mencoba mengubah tragedi menjadi komedi dengan berkata pada Haidan. “Gue abis ngerokok loh. Lo ga mau marahin gue? Lo kan yang biasa ngomel-ngomel kalo gue ngerokok.”

Sayangnya, Haidan masih terdiam. Hal itu membuat Jaffan semakin sedih. Jaffan berdeham pelan. Dia membuka genggaman tangan Haidan dan masih menemukan gantungan kunci yang dititipkannya di sana. “Lihat deh. Gue beli ini buat lo. Gue tahu ini bukan hadiah yang mahal, tapi gue sengaja beliin ini buat bikin lo kesel. Ayo bangun Dan, lo ga mau nerima oleh-oleh gue nih? Tega banget njir,” decak Jaffan pelan.

Dia mengembalikan gantungan kunci berbentuk kupu-kupu itu ke genggaman Haidan, dengan harapan, ketika Haidan bangun nanti, sahabatnya akan menemukan hadiah darinya. Meskipun tidak ada yang tahu kapan Haidan akan bangun.

Keheningan kembali datang. Jaffan menundukkan kepalanya dan kembali diam untuk waktu yang cukup lama. Dia memejamkan matanya, menahan air mata yang memberontak ingin keluar dari sana. Meskipun begitu, Jaffan tetap gagal menyembunyikan kesedihan dan kehancurannya.

“Maafin gue..” Suara Jaffan terdengar lirih keluar dari mulutnya.

Jaffan menahan tangisnya dan berusaha melanjutkan ucapannya. “Harusnya dari awal gue ga ninggalin lo sendirian. Ini salah gue, Dan. Kalo aja gue ga ninggalin lo sendirian di indekos, mungkin ini ga bakal kejadian ke lo. Maafin gue, Dan.”

Sayangnya, seberapa keras Jaffan berusaha, air matanya terus banjir keluar, membasahi pipinya. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Haidan pilu. “Maafin gue karena gue belum bisa jadi sahabat yang baik buat lo.”

Tangan Jaffan yang mulai gemetar meraih tangan Haidan perlahan. Dia memegang jari kelingking sahabatnya dan mengaitkan kelingkingnya perlahan. “Gue janji gue bakal lebih baik ke lo, jadi gue mohon..”

“Gue mohon bangun, Dan. Jangan tinggalin gue,” pinta Jaffan menatap sahabatnya itu penuh harap. “Gue mohon sama lo, Dan.”

Suara tangis Jaffan perlahan terdengar sampai di luar ruangan dan terdengar jelas oleh ketiga teman-temannya yang lain. Kesedihan itu tidak hanya dirasakan oleh Jaffan, namun ketiga teman lainnya. Tanpa sepengetahuan Jaffan, di luar ruangan, mereka ikut menangis bersama Jaffan, sama hancurnya dengan Jaffan dan takut kehilangan Haidan.

Abian menyandarkan punggungnya ke tembok, mengadahkan kepalanya, berusaha menahan air matanya, meskipun sulit. Hingga akhirnya dia kalah, air matanya tak bisa tertahan lagi. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya di balik kedua tangannya dan menangis dalam diam.

Rasa bersalah dan menyesal karena telah meninggalkan Haidan sendirian tidak hanya datang dari Jaffan sana, namun juga dari ketiga teman lainnya. Mungkin ketika Haidan bangun nanti, kata pertama yang ingin mereka ucapkan adalah ‘Maaf’.

Malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Malam ini cukup kelabu untuk mereka. Bahkan diluar hujan deras, seakan menandakan bahwa semesta ikut bersedih bersama mereka malam ini.

Kehilangan Haidan menjadi skenario terburuk yang mungkin akan terjadi. Mereka sampai tak bisa membayangkan jika itu benar-benar terjadi. Haidan bagi mereka bukanlah sekedar teman atau sahabat, namun salah satu penyangga ‘rumah’ mereka.

Lantas, bagaimana jika sebuah rumah kehilangan salah satu penyangganya? Akankah rumah itu dapat berdiri kokoh seperti sebelumnya?

[]