Tidur Panjang
Sosok Haidan terbaring tak berdaya di ranjang salah satu ruangan di ICU ketika teman-temannya datang. Betapa terpukulnya para sahabat Haidan melihat kondisinya saat ini, bahkan Januar sampai menangis saking tak teganya melihat kondisi Haidan.
Mereka hanya berdiri di depan ruang dimana Haidan dirawat, melihat sosok Haidan yang dipenuhi oleh alat-alat medis yang membantu kondisinya tetap stabil dari jendela besar di samping pintu masuk dan melihat seisi ruangan tersebut.
Jaffan mengeraskan rahangnya. Dia membuang wajahnya, melihat bagaimana kondisi sahabat kecilnya itu membuatnya sangat terpukul. Kedua matanya berkaca-kaca, menahan kemarahan, kesedihan dan ketakutan yang terkumpul menjadi satu.
Tiba-tiba, seorang perawat keluar dari ruangan Haidan. Dia berbicara pada Jaffan dan Januar yang masih berdiri di depan ruangan, melihat Haidan dari luar ruangan. “Untuk keluarga pasien, silahkan bisa masuk, tetapi hanya satu orang yang bisa masuk terlebih dulu karena pasien baru saja selesai dioperasi jadi masih diperlukan pemantauan intensif.”
Jaffan dan Januar menoleh satu sama lain. Januar tersenyum tipis kemudian menepuk pundak Jaffan pelan. “Lo aja bang. Gue tahu lo pasti pengin ketemu Bang Idan,” ujarnya dengan mata yang masih basah pasca menangis.
“Makasih, Nu.” Januar mengangguk. Dia tahu, di antara mereka, Jaffan pasti paling sedih melihat keadaan Haidan saat ini. Maka dari itu, dia mengalah dan membiarkan Jaffan menemui Haidan terlebih dahulu.
Sesuai dengan ketentuan yang ada dari rumah sakit, Jaffan diharuskan memakai jubah, sarung tangan karet dan juga masker sebelum mendekati Haidan yang terbaring lemas di atas ranjang dengan mata yang tertutup rapat.
Selesai memakai semua perlengkapan yang disediakan oleh perawat, selangkah demi langkah Jaffan mendekati Haidan. Air mata yang sedari tadi tertahan kini lolos begitu saja dari pelupuk matanya. “Idan..”
Suara Jaffan gemetar. Dia menahan diri untuk tidak menangis, namun wajah pucat Haidan yang masih tertidur itu membuat hatinya benar-benar terluka. “Bangun, Dan..”
“Gue udah balik.” Tangannya meraih jari kelingking tangan kiri Haidan dan mengenggamnya pelan. “Kemarin gue minta lo buat nungguin gue balik, kan? Ini gue udah balik, kenapa lo malah tidur?”
Tangis Jaffan semakin tidak tertahan. Dia pun mulai terisak begitu melihat kondisi Haidan yang sangat menyedihkan itu. Jaffan menundukkan kepalanya begitu air matanya semakin deras. “B-bangun, Dan. A-ayo mabar sama gue..”
Kaki Jaffan seketika melemah dan tak memiliki kekuatan untuk menopang tubuhnya. Jaffan jatuh berjongkok di samping Haidan dan menangis sesengukkan masih dengan memegang jari kelingking sahabatnya itu. “Idan, bangun. Dan!!” teriaknya mulai frustasi.
Januar membuang wajahnya. Dia melihat semuanya dari tempatnya berdiri. Bukan hanya Jaffan saja yang sedih, namun teman-temannya yang lain, termasuk dia pasti sedih. Namun melihat kesedihan Jaffan, membuat Januar menyadari bahwa Jaffan dan Haidan memiliki hubungan yang amat erat.
Selang beberapa saat menumpahkan kesedihannya, Jaffan bangkit perlahan. Dia mengeluarkan gantungan kunci yang sengaja dibelikan untuk Jaffan kepada Haidan sebagai oleh-olehnya dari Bandung karena memang rencana hari ini dia ke Jakarta setelah berjanji pada Haidan untuk kembali sebelum Abian lebih dulu mengabarinya. Dia memasukkan gantungan kunci tersebut ke genggaman tangan kiri Haidan.
Kedua matanya menatap lurus wajah pucat Haidan, lalu perlahan, salah satu tangan di sisi tubuhnya mengepal kuat. Rasa sedihnya kita berganti menjadi rasa marah. Detik berikutnya, Jaffan berbalik pergi begitu saja.
“Lo ga papa, kan bang?” tanya Januar begitu Jaffan keluar dari ruang ICU.
Jaffan mengangguk pelan. Dia menatap Januar dengan tatapan sayu pasca menangis. “Kalo lo mau ketemu sama Idan, masuk aja.”
Januar pun mengangguk. Dia masuk ke dalam, bergantian dengan Jaffan untuk menemui Haidan. Begitu Januar masuk, Jaffan memutuskan untuk pergi menghampiri Jarvis yang tengah berbicara dengan dokter yang menangani Haidan.
“Dia mengalami cidera otak traumatis dikarenakan benturan keras yang didapatkan di kepalanya dan itu terjadi beberapa kali. Ada pendarahan dalam otaknya, namun kami sudah mengatasinya dan pasien telah melewatkan masa kritisnya di operasi tadi,” jelas dokter pada Jarvis begitu Jaffan menghampiri mereka.
Dokter menoleh ke arah Haidan yang terlihat dari jendela besar di ruang ICU lalu menoleh kembali ke Jarvis. “Kami akan memantau perkembangannya, jikalau kondisinya stabil maka dia bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa”
Jarvis menelan ludahnya cemas. Dia menoleh sekilas ke arah Jaffan, sebelum kembali menatap dokter di depannya. “Dok, temen kita bisa bangun kan, dok?” tanya Jarvis cemas.
Dokter tidak langsung menjawabnya. Dia menarik napas pelan. Dari raut wajahnya terlihat bahwa beliau juga mengkhawatirkan Haidan. “Untuk itu, kita hanya bisa berdoa dan mempercayakannya pada pasien. Saya yakin pasien akan berjuang untuk bisa segera siuman.”
Setelah mengatakannya, dokter tersebut berpamitan karena masih ada pekerjaan lain. Selepas kepergiannya, Jarvis langsung mengusap wajahnya gusar. Tentunya dia terpukul, sama seperti Jaffan, namun dia memutuskan untuk menahannya.
Jaffan menoleh kesana kemari, namun ruang tunggu di depan ICU terlihat kosong. Hanya ada beberapa dokter dan perawat yang berjaga serta mereka. Dia pun bertanya pada Jarvis. “Bang Yovi sama nyokapnya Idan dimana, bang?”
“Mereka masih kerja. Gue udah telfon mereka jadi kemungkinan mereka dateng abis selesai kerja,” jawab Jarvis mengecek kembali handphonenya untuk memeriksa pesan dari Yovian dan Tante Gita, mama Haidan.
“Bang Bian?”
“Dia lagi di kantor polisi sama Bang Gavin buat ngurus malingnya,” jawab Jarvis masih fokus pada handphonenya. Mendengar jawaban itu, Jaffan kembali mengeraskan rahangnya. Kini kedua matanya berair karena menahan marah.
Tiba-tiba Jaffan melangkahkan kakinya pergi. Jarvis langsung menahan tangannya karena dia tahu apa yang akan dilakukan oleh Jaffan. Dia menatap Jaffan dengan memohon. “Gue minta lo jangan cari perkara.”
Sayangnya Jaffan lebih dikuasai oleh rasa marahnya. Dia menepis tangan Jarvis dengan kasar. “Lepasin!” Kemudian, dia pergi begitu saja dengan langkah lebar, meninggalkan rumah sakit.
Jarvis menyisir rambutnya ke belakang dengan frustasi. “Pan! Jaffan!” teriaknya berharap Jaffan mau mendengarkannya. Sayangnya, Jaffan bahkan tidak menoleh sedikitpun ke belakang dan terus berjalan pergi.
Dia tahu, Jaffan pasti sangat marah dengan apa yang terjadi pada sahabat baiknya itu.
[]