Ketiganya sudah sampai Pemancingan Eco Park Ancol sedari tadi siang, dimana yang memilih tempat adalah Acasha. Padahal gadis itu dulu tidak pernah senang diajak mancing oleh ayahnya.
Mereka sudah memasang pancingan dan duduk menantikan ikan memakan umpan mereka. Namun sudah sejam lalu tidak ada satupun ikan yang datang.
“Lama banget sih,” keluh Acasha mendengus kesal dan menyandarkan punggungnya ke kursi.
Ayah yang duduk di samping Acasha hanya menghela pelan. Dia sudah dapat menebak bahwa putrinya akan bosan padahal baru beberapa menit menunggu. “Kan tadi ayah sudah bilang, mending mancing di pemancingan terbuka. Kamu sih ga percaya,” balas Ayah dengan lembut.
“Ah ga suka mancing,” gerutu Acasha bangkit dari duduknya dan pergi ke gazebo yang tak jauh dari mereka memancing ikan.
“Dia suka gitu kalo sama kamu?” tanya Ayah pada Harsa yang masih duduk di sampingnya, memeriksa umpan apakah sudah dimakan atau belum.
“Ya gitu, Om.” Harsa melirik Acasha yang masih berjalan di belakang mereka. Dia berbisik pelan, “Suka ngambek sama marah-marah.”
“Gue denger ya,” seru Acasha dengan pendengaran tajamnya. Dia langsung menoleh dan melempar tatapan tajam pada Harsa.
Ayah dan Harsa pun terkekeh melihat wajah kesal Acasha.
Ayah menoleh ke belakang, memastikan bahwa Acasha sudah menjauh dari mereka. Begitu dia menemukan Acasha sudah duduk di gazebo, Ayah pun bercerita.
“Dulu Shasha tuh anaknya manis, kalem, nurut, ga suka marah-marah, ga kayak sekarang.”
“Kebanyakan main sama cowo kali ya, Om.”
Ayah menggeleng. Kedua matanya menerawang jauh ke depan, memutar kembali ingatan lama di dalam kepalanya. “Dulu, Shasha tuh sering sakit-sakitan. Dia dari kecil gampang sakit, ga sekuat anak-anak lain, ga kuat dingin juga.”
“Sampai sekarang juga. Tapi kalo sekarang kalo sakit mah gampang berobatnya. Dulu om sama tante pas Shasha kecil ga punya banyak uang kayak sekarang, jadi kalo mau berobat susah,” cerita Ayah tersenyum sedu.
Dia menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan ceritanya. “Makanya, Om sama tante kerja keras buat ngumpulin banyak uang. Kerja tiap hari, lembur sampe jarang pulang sebenernya semua itu buat Shasha, karena Om sama tante bener-bener sedih tiap Shasha sakit.”
Ayah menundukkan kepalanya, merasa bersalah. “Sayangnya karena terlalu sibuk kerja, hubungan om sama tante jadi berakhir ga baik, jadi cerai. Om jadi ngerasa bersama sama Shasha, apalagi om sama tante juga jadi ga ada waktu buat Shasha, ninggalin dia sendirian tiap hari.”
“Shasha pasti ngerti kok, Om,” jawab Harsa penuh pengertian. Ayah mengangkat kepalanya, menatap Harsa dengan sedih.
Harsa tersenyum dan bertutur kata lembut dan halus. “Meskipun Shasha sedih, tapi Harsa yakin Shasha pasti ngertiin ayah bunda dia. Meskipun ayah bundanya sibuk kerja, Shasha tetep sayang sama om, sama tante juga. Itu pasti.”
Ayah tersenyum dan mengangguk tipis, merasa bahwa ucapan Harsa ada benarnya. Dia menoleh ke arah dimana Shasha menggerutu sendirian di gazebo sembari mengipas-ngipas dengan tangannya.
“Temenin sana. Anaknya pasti bosen,” suruh Ayah menunjuk ke arah Acasha dengan dagunya.
“Om?”
“Gapapa. Biar om yang mancing. Pasti nanti dapet banyak,” jawab Ayah yang kembali fokus pada pancingan di depannya.
Harsa pun bangkit dan menghampiri Acasha. Dia berdiri di depan Acasha yang duduk di gazebo dengan tak berhenti mengerutu kesal.
Tangannya merapihkan anak rambut Acasha yang agak berantakan dan menghapus keringat gadis itu.
“Balik aja yuk,” ajak Acasha sudah malas.
“Kan belum dapet ikannya. Tunggu bentar lagi, kan kamu juga yang minta ikut,” ujar Harsa membujuknya. Meskipun begitu Acasha tetap cemberut dan masih saja menggerutu pelan.
Harsa terkekeh. Melihat Acasha yang cemberut membuatnya tidak tahan untuk mencubit pipi pacarnya itu saking gemasnya. “Udah marah-marahnya. Beli es krim yuk, gue beliin berapapun yang lo mau.”
Akhirnya Acasha pun mengangguk. Harsa menjulurkan tangannya untuk membantu gadis itu berdiri. Acasha tanpa berpikir panjang menerima juluran tangan tersebut dan mengandeng tangan Harsa tanpa ragu.
Sebelum pergi, Acasha berpamitan dengan ayahnya yang masih setia menunggu ikan. “Yah, beli minuman dingin dulu ya?!” Ayah hanya mengangguk kecil dan memberinya jempol.
Tak perlu waktu lama, Acasha dan Harsa sudah membeli beberapa es krim dan minuman dingin untuk mereka.
Setelah keluar dari minimarket, Harsa tanpa ragu merangkul kekasihnya di depan umum, tak mempedulikan orang-orang yang melihat mereka.
Acasha pun memberontak. “Jauh-jauh sana!”
Sayangnya, Harsa menolaknya. “Ga mau.”
“Ih ngeselin banget sih!” teriak Acasha kesal.
“Biarin,” jawab Harsa tidak peduli.
Keduanya berjalan kembali ke tempat dimana mereka memancing tadi masih dengan Harsa yang merangkul Acasha.
Gadis itu sudah tidak lagi mengomel, melainkan menceritakan kebersamaannya dengan ayahnya beberapa hari terakhir ini.
“Gitu deh. Kemarin Ayah juga tidur di kamar gue,” ujarnya menjadi penutup dari ceritanya. Tak terasa mereka sudah hampir sampai di tempat mereka.
Harsa hanya memanggut tipis mendengar cerita Acasha. Jujur ada satu hal yang membebani pikirannya.
Perihal tawaran Dokter Ida terkait pengobatan di luar negeri, sampai detik ini dia belum memberitahukannya pada Acasha.
“Sha,”
“Hm?” Acasha menoleh, menaruh perhatian pada Harsa.
Harsa terdiam sejenak. Dia merasa masih belum tepat membicarakan ini terlebih mereka baru aja baikan. Tapi itu selalu membebaninya tiap malam, belum lagi Dokter Ida dan Pak Mikael, mantan sekretaris ayahnya mendesaknya untuk menerima tawaran tersebut.
“Kenapa?” tanya Acasha mengernyit karena Harsa yang tak kunjung bicara.
Harsa menghentikan langkahnya. “Sebenernya kemarin Dokter Ida nawarin buat—”
“Shasha! Liat! Ayah dapet ikan!” teriak Ayah dari kejauhan yang memamerkan ikan tangkapannya.
Perhatian Acasha teralihkan begitu saja. Dia langsung lari menghampiri ayahnya dan terkagum melihat ikan tersebut. “Wih, besar banget ikannya.”
“Besar,kan? Ayah gitu loh,” jawab Ayah sedikit sombong.
Harsa menyusul di belakang dan tersenyum lebar. “Keren, Om,” pujinya memberikan dua jempol untuk Ayah.
“Fotoin ayah dong,” pinta Ayah mengeluarkan handphonenya.
Dengan sigap, Harsa mengambil handphone yang Ayah julurkan dan menawarkan dirinya. “Sini, biar Harsa fotoin.”
“Ayo, Sha. Foto sama Ayah,” ajak Ayah mengajak putri semata wayangnya yang sangat disayanginya.
“Lo juga ikut foto dong!” seru Acasha menarik Harsa.
Alhasil mereka memutuskan untuk mengambil selfie dimana Harsa berada paling depan dan memegang handphonenya karena dia paling tinggi. Harsa pun memberi aba-aba. “Satu, dua..”
CEKREK!
Seperti gadis pada umumnya, Acasha langsung pergi memeriksa hasil foto mereka. “Hasilnya bagus ga?”
Acasha mengerutu kembali. “Ih, gue keliatan gemuk. Jelek ih!”
“Mana ada. Anak ayah mah cantik terus,” puji Ayah tidak setuju dengan pendapat Acasha.
“Setuju banget saya, Om,” sahut Harsa dengan cepat.
Acasha berdecak pelan, menatap Harsa yang selalu saja berhasil membuatnya salah tingkah.
Sebelum kembali melihat fotonya, Acasha teringat percakapan mereka tadi. “Eh, lo tadi mau ngomong apa?”
“Engga, ga papa,” jawab Harsa tersenyum tipis. Dia pergi menghampiri Ayah yang sibuk memindahkan ikan tangkapannya tadi. “Sini, Om. Biar Harsa bantu.”
Acasha menyipitan kedua matanya, menyadari bahwa ada yang Harsa sembunyikan darinya.
Hari mulai sore, mereka sudah mendapatkan beberapa ikan dan Harsa tengah membersihkannya. Berbeda dengan Acasha dan Ayah yang duduk santai di gazebo.
“Kamu kok jarang keluar sama temen-temen kamu sih, Sha?” tanya Ayah membuka pembicaraan mereka di sore hari.
“Lagi marahan.”
“Kenapa?” tanya Ayah dengan wajah herannya. Setahunya, putrinya dan teman-temannya tidak pernah bertengkar sampai berhari-hari.
“Katanya Shasha terlalu bucin,” jawab Acasha cemberut.
“Emang sih.”
“Ayah mah,” seru Acasha kesal.
“Bukannya Jibran abis kecelakaan ya?” tanya Ayah sembari merapihkan alat pancingnya.
“Iya, kata ga parah sih lukanya. Cuma gegar otak ringan sama patah tulang di tangan kanan dia,” jawab Acasha. Diam-diam, dia masih mencari tahu kabar Jibran melalui Daffi.
“Ya tapi kan harusnya kamu jenguk.” Ayah menghela pelan, memandangi wajah putrinya dengan tatapan lembut. “Baikan gih sama temen-temen kamu. Masa udah gede masih suka berantem.”
Acasha menggeleng dengan wajah yang semakin ditekuk. “Ga mau. Shasha masih kesel sama Ajun.”
Ayah berdecak pelan dan menggeleng tidak habis pikir dengan putrinya itu. “Kebiasaan marah-marah mulu sih.”
Tak lama, Harsa membawa satu baskom penuh dengan ikan yang sudah dibersihkannya. “Tinggal dibakar ikannya nih, Om.”
“Sini, biar Shasha aja!” seru Shasha langsung bangkit dari duduknya dan mengambil baskom di tangan Harsa.
“Emang bisa?” tanya Harsa menjauhkan baskom tersebut dari Acasha.
Acasha mendengus kesal dan merebut baskom tersebut. “Dih ngeremehin lo!”
Acasha pun pergi ke tempat bakaran yang sudah disiapkan oleh penjaga tempat ini. Dia menggulung lengan pakaiannya dan bergegas membuktikan bahwa dia pandai memasak. Membakar ikan bukan perkara yang sulit untuknya.
Harsa mengambil minuman dingin yang dia beli bersama Acasha tadi. Dia memberikannya pada Ayah yang sedari tadi belum minum. “Ini, Om.”
“Wih, makasih loh,” ucap Ayah menerimanya dengan senang hati.
“Om istirahat aja, biar Shasha yang masak ikannya,” ujar Harsa. Dia tahu sedari tadi Ayah yang memancing dan berhasil mendapatkan sekitar lima ekor ikan yang cukup besar.
Sembari beristirahat, giliran Ayah yang mengobrol dengan Harsa yang ikut istirahat di sampingnya dan menikmati sekaleng cola dingin. “Berarti kamu sekarang tinggal sama siapa?” tanya Ayah.
“Sendiri, Om.”
“Sering-sering ke rumah aja, main sama Om, sama Shasha juga,” ujar Ayah yang sudah akrab dengan Harsa.
“Iya, Om.”
Ayah menepuk pundak Harsa dan tersenyum tulus. “Ga usah sungkan. Kamu mah udah Om anggep jadi anak om sendiri.”
Mendengarnya membuat Harsa tersentuh. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Terlebih saat ayahnya masih hidup, ayahnya tidak pernah mempedulikannya. Dia merawat Harsa hanya karena merasa bersalah dengan ibunya, tidak lebih dari itu.
Maka dari itu, setiap perhatian dan kehangatan yang Ayah berikan padanya membuat Harsa tersentuh dan benar-benar bersyukur.
Harsa tersenyum lebar. “Makasih banyak ya, Om.”
Ayah mengangguk pelan. Dia mengalihkan pandangannya dan menemukan Acasha yang diam-diam mengigit daging ikan padahal baru beberapa menit di bakar. “Eits, belom mateng! Jangan dimakan dulu!” omel Ayah.
“Orang lagi dicek udah mateng belom,” jawab Acasha meletakkanya kembali. Jujur, gadis itu sudah kelaparan.
“Sabar dong, Sha,” ujar Harsa seraya terkekeh melihat kelakukan kekasihnya itu.
“Harsa,”
“Ya, Om?” jawab Harsa menoleh dengan cepat.
Ayah mengangkat pandangannya. Dia menatap jauh ke langit di atas mereka. “Om boleh minta tolong ga sama kamu?”
Ayah menoleh ke arah Harsa, memberikan kepercayaan besar pada lelaki di sampingnya itu. “Tolong jaga Shasha baik-baik ya.”
Harsa tertegun. Dia menatap Ayah yang raut wajahnya berubah menjadi sedu. “Om tahu Shasha itu anaknya susah diatur, suka marah-marah. Tapi dia sebenernya rapuh, gabisa ngapa-ngapain sendirian. Jadi tolong ya jagain dia. Bisa, kan, Nak Harsa?”
Harsa mengangguk cepat. “Iya, Om. Harsa bakal jagain Shasha,” jawabnya lekas berjanji pada Ayah.
Ayah tersenyum senang. Dia kembali menepuk pundak Harsa. “Om percaya sama Nak Harsa.”
Selang beberapa menit setelah mengobrol banyak dengan ayah, Harsa menemukan Acasha datang dengan ikan bakar yang selesai dimasaknya. “Ayo makan! Udah mateng nih ikannya!” seru Acasha penuh antusias.
Tak lupa mereka juga memesan nasi dan lalapan yang sudah disediakan oleh Pemancingan Eco Park Ancol. Sesi makan-makan pun dimulai.
Ayah mengambilkan banyak nasi untuk Harsa dan juga ikan yang besar. “Makan yang banyak biar cepet sembuh,” ujar Ayah dengan penuh perhatian.
“Makasih, Om.”
Tak lupa, dia juga mengambilkan nasi dan ikan untuk Acasha tak kalah banyak. “Kamu juga makan yang banyak biar cepet tinggi,” ujarnya setengah menggoda putri kesayangannya itu.
“Betul tuh, Sha,” sambung Harsa ikut menggodanya.
Acasha mendengus kesal. “Lo nya aja yang ketinggian!”
Harsa dan Ayah tertawa bersama setelah berhasil menggoda Acasha. Keduanya sering bekerja sama menggoda Acasha dan senang melihat gadis itu.
Hari ini, menjadi hari yang menyenangkan bagi Harsa, memiliki waktu yang berharga dengan Acasha dan Ayah.
[]