keniyagi

Malam ini adalah malam terakhir Tante Rina dirawat di rumah sakit. Suasana ruang rawat semakin sepi setelah Abian dan Agatha ikut pulang ke Jakarta. Tante Wulan juga pulang ke rumah karena harus membuka toko besok pagi. Itulah mengapa di ruangan ini hanya tersisa Jaffan dan ibunya.

Jaffan membantu ibunya berbaring di ranjang setelah meminum obat. Dengan penuh kasih sayang, Jaffan menyelimuti ibu dan memastikan bahwa ibunya tetap hangat sampai besok pagi.

Tiba-tiba, tangan ibu mengusap wajah putranya dengan lembut. Jaffan menoleh ke arah ibunya dan menemukan Tante Rina tersenyum. “Sejak kapan anakku ini tumbuh sebesar ini? Kamu ganteng mirip ayah.”

Jaffan menarik kursi dan duduk di samping ibu. Tangannya meraih tangan ibu yang masih mengusap wajahnya lalu menggenggamnya erat sembari menciumnya. Jaffan memejamkan kedua matanya. “Maafin, Jaffan,” ucapnya lirih.

Tangan ibu yang lain ikut memegang tangan Jaffan, mengusap punggung tangan putranya dengan lembut. “Kenapa harus minta maaf, nak?”

Jaffan membuka matanya perlahan dan menatap ibunya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. “Maafin Jaffan karena belum jadi anak yang baik buat ibu.” Suaranya yang lirih itu terdengar gemetar.

Ibu menggeleng pelan. Dia menyisir rambut Jaffan ke belakang dan mengusap belakang kepala Jaffan dengan sayang. “Anak baik, kenapa kamu bilang gitu? Jaffan selalu jadi anak baik buat ibu.”

Kepala Jaffan menggeleng beberapa kali. Kedua matanya masih menatap ibunya dengan sedih. “Jaffan bukan anak baik. Seharusnya kalo Jaffan anak baik, Jaffan tahu kalo ibu lagi kesakitan. Tapi Jaffan malah ga peduli sama ibu.”

Jujur, Ibu terkejut mendengar penuturan Jaffan, meskipun dia sudah menebak bahwa cepat atau lambat Jaffan akan mengetahui penyakitnya. Kini melihat kedua mata Jaffan yang berkaca-kaca membuatnya tak tega. “Jaffan..”

“Kenapa ibu sembunyiin dari Jaffan? Kalo ibu sakit?” Suaranya semakin gemetar, disusul air mata yang perlahan keluar dari pelupuk matanya.

Ibu semakin merasa bersalah begitu melihat putra kesayangannya menangis. Ibu pun mendudukkan tubuhnya dan mengusap pipi Jaffan guna menghapus air matanya. “Maafin ibu. Ibu ga pengin kamu khawatir.”

Air mata Jaffan terus saja membanjiri pipinya. Ini pertama kalinya Jaffan tidak kuasa menahan air matanya di depan ibunya. Jaffan memegang kedua tangan ibu di pipinya. “Jaffan ga bisa bayangin ibu tiba-tiba pergi ninggalin Jaffan kalo Jaffan tetep ga tahu penyakit ibu.”

“Ibu gapapa, nak,” ujar ibu tentu saja berbohong. Dia hanya tak ingin putranya sedih karenanya.

Jaffan meraih kedua tangan ibu dari wajahnya, kemudian mengenggamnya lebih erat seperti tak ingin melepaskannya. “Jaffan bakal nemenin ibu sampe ibu sembuh. Ibu harus sembuh ya. Jaffan bakal nemenin ibu berobat sampe sembuh,” ujar Jaffan membujuk ibunya.

Ibu tidak langsung menjawab. Dia menatap putranya dengan lembut. Sebelah tangannya kembali mengusap pipi Jaffan yang basah karena air mata sebelum akhirnya menumpuk tangannya di atas tangan Jaffan.

“Ibu sudah capek, nak.”

Jawaban ibu sangat menusuk untuk Jaffan. Air matanya semakin memberontak untuk dikeluarkan. Jaffan menggeleng menolak jawaban ibu tersebut. “Jaffan ga mau kehilangan ibu, seperti Jaffan kehilangan ayah. Jaffan ga mau ibu pergi.” Jaffan menundukkan kepalanya ketika air matanya semakin deras membanjiri pipi.

“Jaffan, lihat ibu,” panggil ibu dengan lembut. Sayangnya, Jaffan menggeleng dan menolak untuk menatap ibunya. Hingga akhirnya ibu memegang kedua pipi Jaffan dan mengangkat kepala putranya. “Jaffan..”

Raut wajah Jaffan menunjukkan bahwa kesedihan benar-benar menyelimutinya. Air matanya terus saja menetes dari pelupuk matanya, meskipun dia menghapusnya. Ibu kembali mengusap pipi putranya dengan tersenyum. “Anak ganteng ibu. Kamu sudah dewasa. Kamu tumbuh dengan baik tanpa ibu. Ibu yakin, kamu bisa jalanin hidup tanpa ibu.”

Jaffan kembali menggeleng beberapa kali. “Jaffan ga bisa hidup tanpa ibu”

“Kamu bisa, sayang.” Ibu menatap putranya dalam, masih dengan mengusap pipi Jaffan. “Selama ini, ibu ga bisa jadi ibu yang baik buat kamu. Ibu pergi ninggalin kamu gitu aja, tapi buktinya kamu bisa hidup dengan baik sampe sekarang tanpa ibu, kan? Ibu sayang banget sama Jaffan. Ibu yakin Jaffan bakal baik-baik aja.”

Penuturan lembut ibu bukannya menenangkannya, malah membuatnya hancur. Jaffan tak kuasa menghentikan air matanya dan tangisnya pun semakin menjadi-jadi. Ibu memeluk putranya itu dengan erat dan dengan penyesalan yang tertinggal.

Ibu pun tak kuasa menahan tangisnya. Dia memejamkan kedua matanya, membiarkan air matanya terus turun membasahi pipinya. “Maafin ibu ya nak,” ucap ibu penuh penyesalan di tengah pelukan mereka.

Hati Jaffan hancur malam ini. Dengan begitu, secara tidak langsung, dia akan kehilangan ibunya cepat atau lambat seperti dia kehilangan ayahnya. Dia tidak bisa membayangkan hari dimana dia benar-benar kehilangan ibunya. Mungkin dia dapat mempersiapkan hatinya dari sekarang, meskipun pada akhirnya siap atau tidak, hatinya akan tetap sakit begitu ibunya pergi.

Sayangnya, tidak ada yang bisa dilakukan Jaffan karena ini sudah menjadi pilihan akhir ibunya, meskipun Jaffan menolaknya, pilihan ibunya sudahlah bulat. Jadi, yang bisa dilakukannya hanyalah mempersiapkan dirinya hingga hari itu datang.

Hari dimana dia kehilangan sumber kehidupannya.

[]

Suasana setelah kepulangan ketiga teman-temannya berubah sepi. Biasanya ruang rawat ibunya akan berisik dengan Haidan, Januar dan Jarvis yang berlomba-lomba menjadi anak baik untuk Tante Rina, sedangkan Jaffan dan Abian hanya melihat keributan itu saja. Namun sekarang, hanya tertinggal Jaffan, Abian, Agatha dan Tante Wulan yang menjaga ibu.

Ibu kini juga sudah semakin sehat. Kata dokter, lusa dia boleh pulang jika hari ini terus menunjukkan peningkatan yang sama seperti hari-hari sebelumnya.

Meskipun sudah tidak ada ketiga temannya yang biasa merawat ibu, namun masih ada Agatha yang terlihat sangat akrab dengan mantan calon mertuanya itu. Ibu pun juga menganggapnya sebagai anak sendiri karena dia dari dulu ingin sekali punya anak perempuan.

Karena ibunda tercinta sudah bersama dengan Agatha dan Tante Wulan, Jaffan pun tidak khawatir untuk meninggalkan ibunya ke luar kamar karena dia masih mengurus administrasi dan harus membayar biaya pengobatan selama ibunya dirawat.

Tante Wulan tidak berbohong jika ibunya masih memiliki tabungan untuk membayar biaya rumah sakit, meskipun Jaffan masih harus menambahkannya dengan uang hasil dia menjual motornya dan tabungan pribadinya.

“Permisi, sus. Saya mau bayar biaya pengobatan,” ujar Jaffan sesampainya di meja administrasi pada salah satu perawat disana.

Perawat itu mengangguk dan terfokus ke layar komputer di hadapannya. “Atas nama siapa, ya kak?”

“Rina Keswari.”

Beberapa detik Jaffan menunggu perawat itu menginformasikan total biaya pengobatan serta perawatan yang dikeluarkan oleh ibunya. Perawat itu mengangkat kepalanya dan menatap Jaffan. “Biaya rumah sakit semuanya sudah dibayarkan. Sudah lunas, kak.”

Tentu saja hal itu membuat Jaffan terkejut dan kebingungan. “Loh, sus. Saya merasa belum bayar. Itu beneran udah lunas?”

Perawat itu mengangguk yakin. “Sudah dibayarkan sama kakaknya kemarin, kak.”

Pikiran Jaffan langsung tertuju pada satu orang. Ini pasti ulah Abian. Akhirnya, Jaffan undur diri dari meja administrasi dan kembali ke kamar rawat ibunya untuk mencari Abian.

Langkahnya memelan begitu menemukan Abian tengah duduk di bangku koridor depan ruang rawat ibunya, bersama dengan Tante Wulan. Mereka tampak sudah terbiasa mengobrol dan akrab seperti anak dan ibu pada umumnya. Bahkan Tante Wulan mengusap kepala Abian dengan sayang.

Melihat pemandangan mengharukan itu membuat Jaffan tersenyum. Dia tidak tahu bagaimana rasanya ada di posisi Abian dan jika dibayangkan saja, dia tahu bahwa Abian pasti telah melewati banyak kesulitan hidup tanpa ibunya. Melihat Abian dapat bertemu kembali dengan ibu kandungnya membuat Jaffan senang, tentu saja.

Tante Wulan yang lebih dulu menyadari kedatangan Jaffan. Dia pun perlahan bangkit dan menepuk pundak Abian sebelum akhirnya masuk ke dalam ruang rawat, meninggalkan keduanya.

Jaffan mengambil tempat duduk di samping Abian. Dia menoleh sekilas ke arah Abian untuk melihat wajah bahagia Abian. Jaffan kembali tersenyum. “Gue ikut seneng liat lo udah bisa ngobrol sama nyokap lo, bang.”

Abian menundukkan sedikit kepalanya karena senyum manisnya tidak bisa ditahan. Abian memang orang yang jarang menunjukkan ekspresi di wajahnya, jadi ketika lelaki itu bereskpresi maka berarti Abian benar-benar merasakanya.

Kemudian, Abian menoleh ke arah Jaffan. “Gimana keadaan nyokap lo?”

Barulah Jaffan teringat tujuan awal dia mencari Abian. Jaffan menegakkan punggungnya dan mengomel. “Oiya! Gue lupa, gue kan rencananya mau marah sama lo!”

Abian terkekeh pelan. “Kenapa sih?” tanyanya pura-pura tidak mengetahui arah pembicaraan Jaffan. Padahal dia sudah tahu jikalau Jaffan tadi pergi untuk membayar biaya rumah sakit ibunya.

Jaffan berdecak kesal, seraya menatap Abian tajam. “Dih, sok-sokan ga tau lo. Lo kan yang bayar biaya rumah sakit nyokap gue.”

“Iya. Kenapa?” tanya Abian santai, tidak seperti ada beban yang ditanggungnya.

Jaffan mendengus kesal. “Bang..”

Bukannya menenangkan Jaffan, Abian malah melanjutkan ucapannya dengan santai. “Gue kemarin udah titip uang ke nyokap gue buat bayar hutang nyokap lo. Udah gue lunasin semua. Soalnya kalo gue kasihin lo, pasti lo tolak, kan?”

“Bang Bian!” teriak Jaffan semakin frustasi.

Abian masih saja dengan wajah tenangnya. “Apa sih?”

Jaffan mengacak-acak rambutnya frustasi, mengusap wajahnya sembari menggeram kesal. “Bang, gue tahu lo kaya. Tapi ga gini juga dong. Kalo lo bantuin gue karena kasihan sama gue, gue bakal balikin uang lo,” ujar Jaffan tidak terima.

Abian menyandarkan punggungnya. “Lagian siapa juga yang bantuin lo,” balasnya. Kedua matanya menatap lurus ke depan. “Anggap aja gue bayarin biaya rumah sakit nyokap lo dan hutang nyokap lo buat ucapan terima kasih gue ke Tante Rina.”

Seketika, emosi Jaffan menurun. Dia mengernyit ketika pembicaraan Abian tidak dia mengerti. Namun Jaffan tidak bertanya, membiarkan Abian bercerita dengan sendirinya. Dia merilekskan bahunya di samping Abian.

“Gue udah diceritain semuanya sama nyokap gue. Dulu sewaktu di Bandung, nyokap gue bener-bener ga punya apa-apa, Pan. Hidup dia serba kekurangan bahkan rumah aja ga punya. Terus suatu malam, dia berpikiran buat bunuh diri, tapi ditahan sama nyokap lo,” cerita Abian dengan raut wajah yang berubah sedih.

“Sejak itu, nyokap lo ngajak nyokap gue buat tinggal sama dia dan kerja di toko dia jadi asistennya. Berkat nyokap lo, nyokap gue bisa hidup dengan baik sampai sekarang.” Abian menoleh sekilas ke arah Jaffan dan tersenyum tipis.

“Mungkin kalo malem itu, nyokap gue ga ketemu nyokap lo, mungkin gue ga akan bisa ketemu nyokap gue lagi buat selamanya. Makanya itu, gue bener-bener berterima kasih sama nyokap lo,” ujar Abian tulus.

Abian menoleh ke arah Jaffan. “Ga ada kebetulan di setiap pertemuan, Pan. Nyokap gue ketemu sama nyokap lo, atau gue ketemu sama lo, itu semua pasti ada alesannya.”

Tangannya mengetuk amplop putih berisi uang di tangan Jaffan. “Jadi sekarang, lo simpen aja uang itu buat bayar pengobatan nyokap lo, biar nyokap lo ga ada alesan lagi buat berhenti berobat. Dia harus sembuh buat lo.”

“Bang Bian..” Kedua mata Jaffan kembali berkaca-kaca, hingga akhirnya dia tidak bisa menahan bendungan air matanya. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis sesenggukkan karena terharu. Ternyata, di tengah masalah hidupnya yang cukup kejam, masih ada orang-orang di sekitarnya yang baik padanya dan ibunya.

Abian merangkul pundak Jaffan yang naik turun itu dan menepuknya beberapa kali. Melihat sahabatnya sedih, membuatnya ikut sedih. Oleh karena itu, hatinya tergerak untuk membantu Jaffan.

Melihat, Jaffan masih saja menangis, Abian pun dengan sengaja membuat lelucon di tengah tangisan Jaffan. “Tenang aja. Ga usah ngerasa ga enak sama gue. Lo lupa gue orang kaya se Jakarta. Uang gue ga akan abis cuma gara-gara bayar hutang nyokap lo, Pan.”

“Sombong banget, anjir.” Alhasil, Jaffan tertawa di tengah tangisnya. Abian ikut tertawa dibuatnya. Jaffan menoleh ke arah Abian, menatap sahabatnya itu masih dengan kedua mata yang basah. “Makasih banyak ya, Bang. Gue ga tahu harus gimana buat bayar kebaikan lo.”

Abian tersenyum lebih lebar. Dia merangkul Jaffan dengan akrab. “Cukup lo bener-bener jagain nyokap lo aja itu udah bisa bayar semuanya.”

Jaffan tidak kuasa menahan dirinya untuk tidak memeluk Abian, penyelamat hidupnya. Meskipun Abian mendorongnya menjauh beberapa kali, namun Jaffan terus memeluknya erat sembari berterima kasih berkali-kali.

“Makasih, bang. Makasih banyak. Lo bener-bener abang terbaik gue!”

[]

Tiga hari telah berlalu. Kekompakan kelima sahabat itu benar-benar terlihat selama tiga hari belakang ini. Mereka sama-sama membolos kuliah dan bergantian merawat Tante Rina. Dokter dan perawat sampai mengira bahwa Tante Rina memiliki kelima putra.

Sama seperti siang hari ini, mereka tengah berkumpul di dalam ruang rawat dan berbagi tugas. Jarvis menyuapi Tante Rina makan siangnya, Haidan memijat lengan Tante Rina dan Januar bagian memijat kakinya. Sedangkan Jaffan, anak kandung Tante Rina malah mengupas jeruk dan memakannya sendiri.

Tante Rina yang melihat kekompakan para sahabat putranya itu tak bisa melepaskan senyum dari wajahnya. Dibandingkan hari-hari sebelumnya, Tante Rina terlihat semakin bahagia dengan kehadiran mereka.

“Tan, tante berarti seumuran sama mama Jarvis, kan? Tapi kok keliatan muda ya, Tan,” puji Jarvis ketika membantu Tante Rina mengelap sisa makanan di sekitar mulut dengan tisu.

Tante Rina menjadi tertawa mendengar pujian Jarvis itu. “Kamu mah bisa aja.”

Tak hanya Jarvis, Januar pun ikut memuji Tante Rina. “Iya loh, Tan. Tante awet muda banget,” sambungnya dengan raut wajah girangnya.

Berbeda dengan Tante Rina yang tertawa senang, Jaffan malah menatap teman-temannya dengan tatapan julid. Dia berdecak pelan dan berkata pada ibundanya. “Hati-hati tuh, Bu. Paling abis muji-muji pada minta duit.”

Jarvis dan Januar menoleh bersamaan ke arah Jaffan begitu dituduh jelek. Jarvis melempar tatapan sinis, jika saja Tante Rina tidak disini, mungkin Jarvis sudah memukul kepala Jaffan saking kesalnya.

“Ya gapapa, ya. Anak-anak ibu ya pasti ibu kasih uang,” jawab Tante Rina membela teman-teman Jaffan. Dia mengelus pundak Jarvis lembut dan membuat Jarvis senang karena dibela.

Sayangnya, Jaffan semakin tak terima dan semakin mengomel. “Ga sudi juga Jaffan punya saudara kayak mereka.”

“Hush, Nak! Ga boleh gitu. Mereka kan udah kayak keluarga kamu,” tegur Tante Rina dengan suara lembutnya. Dia memang tidak pernah memarahi Jaffan, bahkan sejak kecil, berbeda dengan mendiang ayahnya yang memiliki cara mendidik yang cukup keras.

Semakin senang karena dibela Tante Rina, Haidan ikut-ikut menegur Jaffan namun dengan raut wajah yang mengejek sahabatnya itu. “Dengerin makanya.”

Akhirnya, karena tidak ada yang di pihaknya, Jaffan pun mengaku kalah. Dia mendengus pelan dan melihat sekeliling ketika menemukan seseorang menghilang di antara mereka. “Btw kok gue ga liat Bang Bian? Kemana?” tanyanya pada teman-temannya.

“Jemput adiknya kali. Katanya adiknya nyusul kesini,” jawab Jarvis yang tak perlu menoleh ke arah Jaffan.

Jaffan mengernyit kebingungan. “Agatha? Ngapain kesini?”

“Ya mana gue tahu,” jawab Jarvis tak begitu memedulikannya. Sama seperti kedua temannya, Haidan dan Januar juga tidak terlalu memedulikan hal itu. Mereka malah sibuk mengobrol dengan Tante Rina.

Jaffan pun memutuskan untuk keluar ruangan setelah merasa ibunya akan baik-baik saja bersama dengan ketiga temannya itu. Jaffan keluar dari ruang rawat ibunya dan tak lupa menutup pintu dengan rapat kembali.

Baru saja dia keluar, dia menemukan dua orang yang berjalan dari ujung koridor. Sosok Agatha terlihat berlari ke arahnya sembari memanggil namanya. “Jaffan!”

Kedua mata Jaffan melotot begitu menemukan Agatha langsung berlari dan memeluknya. Padahal dengan jelas sosok Abian berdiri di belakang mereka. Jaffan berdeham pelan dan berusaha melepaskan pelukan Agatha. “Tha…”

Abian yang sudah diceritakan oleh Agatha tentang hubungan adiknya dengan Jaffan itu pura-pura tidak melihat apapun. Dia malah mengambil handphonenya dan mengangkat telepon, padahal tidak ada telepon yang masuk sama sekali. “Ekhem.. Iya, halo?”

Detik berikutnya, Abian berbalik badan dan berjalan masuk ke ruang rawat, meninggalkan keduanya masih berpelukan di koridor. Jaffan yang melihat kepergiaan Abian itu semakin kebingungan.

“Maafin gue,” ucap Agatha tiba-tiba di tengah pelukan mereka. Yang ada hal itu semakin membuat Jaffan kebingungan. Dia masih terdiam, bahkan belum membalas pelukan Agatha. Kedua tangannya masih berada di sisi tubuhnya dengan canggung. “Kenapa minta maaf?”

Agatha masih memeluk erat Jaffan dan menyandarkan kepalanya di dada bidang mantan kekasihnya itu. “Gue ga pernah ngertiin keadaan lo. Gue terlalu egois waktu kita masih pacaran. Gue cuma mentingin diri gue sendiri.”

Jaffan memegang kedua lengan Agatha dan melepaskan pelukan gadis itu dengan lembut. Dia menatap Agatha dengan senyum yang dipaksakan, hanya supaya Agatha percaya bahwa dirinya baik-baik saja. “Tha, gapapa kali. Lagipula kita juga udah putus. Ini bukan salah lo, ini juga salah gue.”

Keduanya sama-sama terdiam untuk sejenak, saling berpandangan dalam diam dan larut dalam pikirannya masing-masing. Agatha yang terlalu mengkhawatirkan Jaffan, sedangkan Jaffan yang takut melukai perasaan Agatha lagi.

“Lo pasti sedih banget ya?” tanya Agatha di tengah keheningan mereka.

Jaffan memaksakan diri untuk tersenyum dan menggeleng pelan. “Engga kok. Gue gapapa.”

“Bohong,” tuduh Agatha dengan cepat. Meskipun hubungan mereka terbilang sebentar, namun Agatha tahu bahwa Jaffan sering menyembunyikan kesedihannya dan dia tahu saat ini Jaffan tidak baik-baik saja.

Agatha kembali memeluk Jaffan. “Lo selalu ada buat gue waktu gue ada masalah sama bokap. Tapi gue malah ga ada buat lo di waktu kayak gini. Maafin gue,” ucap Agatha di tengah dekapannya.

Akhirnya, hati Jaffan pun luluh. Perlahan namun pasti, Jaffan membalas pelukan Agatha. Dia melingkarkan kedua tangannya dan balas mendekat tubuh mungil Agatha lebih erat. Dia menenggelamkan wajahnya di pundak Agatha, membiarkan kehangatan gadis itu menyentuh hatinya.

Setelah apa yang terjadi, Jaffan tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Setelah Tante Wulan menyampaikan kebenaran tentang penyakit ibu dan setelah Jaffan menangis semalaman bersama dengan teman-temannya di taman rumah sakit, mungkin Jaffan masih bisa tampak baik-baik saja di depan ibunya.

Tapi tidak di depan Agatha.

Sedari tadi, Jaffan menahan air matanya. Melihat ibunya tersenyum bahagia dan tertawa ketika mengobrol dengan teman-temannya semakin membuat Jaffan sedih, mengingat ibu menyembunyikan penyakitnya. Bahkan, Jaffan belum membicarakan masalah ini langsung dengan ibu karena dia belum siap dengan segala kemungkinan yang terjadi.

Di pelukan Agatha, Jaffan kembali menitikkan air mata. Jaffan tidak bisa tidur dengan nyenyak, tidak nafsu makan bahkan selalu diselimuti rasa gelisah begitu mengetahui tentang penyakit ibunya. Setidaknya, pelukan Agatha dapat menghangatkan hatinya.

Di tengah pelukan mereka, pintu ruang rawat Tante Rina terbuka dari dalam. Jaffan dan Agatha buru-buru melepaskan pelukan mereka karena takut ketahuan anak-anak yang lain. Tapi untungnya yang keluar hanyalah Abian.

Abian berdeham pelan. Dia merasa tidak enak menganggunya, terlebih melihat Jaffan buru-buru menghapus air matanya. Abian mengaruk belakang kepalanya canggung. “Maaf, gue ganggu kalian. Tapi nyokap lo mau ketemu Agatha,” ujar Abian memberitahu Jaffan.

Jaffan mengangguk. Dia mengusap kedua matanya sebelum mengajak Agatha masuk bersama dengan Abian. “Oiya, kita masuk aja.”

Belum sempat ketiganya masuk ke ruang rawat, Tante Wulan datang dari ujung koridor dan memanggil Jaffan. “Nak Jaffan!”

Tante Wulan menghampiri Jaffan. “Gimana keadaan ibu? Ibu baik-baik—”

Ucapannya terhenti seketika begitu menemukan Abian dan Agatha bersama dengan Jaffan. Dia tersentak, bukan hanya Tante Wulan, Abian dan Agatha sama-sama terdiam begitu saling bertemu.

Jaffan masih belum menyadari situasinya pun mencoba memperkenalkan mereka, begitu menyadari Tante Wulan melihat ke arah Abian dan Agatha. “Oh, tante! Ini kenalin temen-temen Jaffan. Ini—”

“Abian?” Suara Tante Wulan terdengar gemetar.

Hal itu semakin membuat Jaffan kebingungan. Dia menoleh ke arah Abian yang sama-sama terkejut melihat Tante Wulan. Dia pun bertanya pada Tante Wulan. “Kok tante kenal?”

Agatha meraih tangan Abian yang masih saja terdiam itu dengan gemetar. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. “Kak..”

[]

Ojek online yang mengantarkan Agatha ke indekos kakaknya telah sampai di depan gerbang yang menjulang tinggi. Agatha mengernyit begitu menemukan sosok wanita paruh baya berdiri di depan gerbang dengan membawa bingkisan besar di kedua tangannya. Begitu turun dan membayar ongkos ojek online tersebut, Agatha pun menghampirinya.

“Sore, bu. Ibu siapa ya?” tanya Agatha dengan sopan.

Belum sempat wanita itu menjawab, Haidan keluar dengan tergesa-gesa dari dalam. “Ya ampun, tante udah dateng!!” seru Haidan dengan sigap membukakan pintu untuk para tamu teman-temannya itu.

“Masuk dulu, tante. Jaffannya belum pulang, paling bentar lagi pulang. Tunggu aja di dalem tante.” Haidan mempersilahkan Tante Rina, ibunda Jaffan, masuk ke dalam indekos mereka. Tak lupa, dia juga membawakan barang bawaan Tante Rina.

Agatha mengernyit, masih tidak dapat menangkap situasi yang ada. Jaffan? Jangan bilang dia ibunya Jaffan. Batinnya dalam hati.

Haidan menuntun Tante Rina berjalan masuk ke dalam. Dikarenakan ibunda Jaffan mengalami cidera kaki sehingga beliau tidak bisa berjalan dengan baik dan harus berjalan dengan pelan. Haidan menoleh ke Agatha yang mengekori mereka. “Atha, nyariin siapa? Bang Bian?”

Kepala Agatha mengangguk. “Iya. Bang Bian ada kan di dalem?”

“Masih mandi. Tungguin aja, bentar lagi kelar,” jawab Haidan.

Agatha mengangguk. Dia masih memperhatikan Tante Rina dan perlahan menarik ujung kaos Haidan. “Ibunya Jaffan?” tanya Agatha berbisik, atau bahkan tanpa suara. Haidan mengangguk kecil, membenarkannya.

Setelah mendudukan Tante Rina, Haidan pun berpamitan. “Tante, aku tinggal ke atas dulu ya, tante. Soalnya aku masih ada kelas Zoom. Jaffan bentar lagi pulang kok, jadi tunggu aja di sini ya, Tan.”

Tante Rina mengangguk dan tersenyum lembut. “Oiya, Nak Idan. Makasih banyak ya.”

Sebelum meninggalkan Tante Rina, Haidan berbisik pada Agatha yang ikut duduk di hadapan Tante Rina di meja makan. “Tha, bantuin buatin teh dong buat nyokapnya Jaffan,” pintanya berbisik.

Agatha melirik Haidan pelan. Kenapa dia yang harus membuatkan teh, padahal dia juga tamu disini. Namun karena orang di depannya adalah ibunda Jaffan, maka Agatha mengiyakannya dengan senang hati.

Tak butuh waktu lama, Agatha selesai membuatkan secangkir teh hangat untuk Tante Rina. Dia meletakkannya di hadapan wanita itu dan duduk di kursi depannya. “Tante ibunya Jaffan ya? Saya Agatha, tan.” Agatha memperkenalkan dirinya dengan sopan dan manis.

Tante Rina tersenyum. Kini, Agatha mempercayai bahwa sosok wanita di depannya adalah ibunda Jaffan karena senyum mereka sangat mirip. Tante Rina menepuk punggung Agatha pelan. “Mba cantik ini temennya anak tante juga?”

Agatha tak langsung menjawabnya. Sejujurnya, dia sendiri ragu dengan statusnya dengan Jaffan. “Emm, saya—”

“Ibu!”

Pembicaraan mereka terhenti begitu mendengar suara Jaffan. Lelaki itu baru saja pulang dari kafe tempatnya bekerja. Melihat kedatangan putranya, Tante Rina berdiri dari duduknya, diikuti Agatha yang turut bangkit dari duduknya.

Jaffan menghampiri ibunya lebih dulu. Tante Rina menyentuh kedua pipi Jaffan dengan sedu. “Ya ampun, nak. Kamu kok kurus banget sekarang,” ujar Tante Rina khawatir. Kemudian dia menjadi bersemangat ketika mengingat bingkisan yang dibawanya dari Bandung. “Ibu bawakan opor ayam kesukaan kamu.”

Jaffan menghela pelan. Dia menahan ibunya yang hendak berbalik untuk mengambil bawaannya tadi. “Ibu, ibu ngapain sih ke Jakarta?” tanya Jaffan lembut namun dia terlihat tidak suka dengan kedatangan ibunya.

Kedua mata Tante Rina tampak sayu. “Ibu kangen sama kamu, Nak.”

Ketika hendak membuka mulutnya, Jaffan baru menyadari bahwa ada orang lain di tengah mereka. Dia melirik pelan ke arah Agatha dan kembali menghela. “Kita ngobrol di luar aja,” ujar Jaffan pada ibunya.

Agatha yang menyadari situasi tersebut langsung menahannya. “Eh ga usah. Gue ke kamar Kak Ian aja.” Agatha mengambil tasnya dan hendak pergi jika saja Jaffan tak menahannya.

“Lo disini aja. Disini ada aturan cewe ga boleh naik ke lantai dua.” Jaffan memberitahu Agatha tanpa menatap ke arah lawan bicaranya itu. Dia menuntun ibunya untuk pergi ke luar. “Ayo, Ibu.”

Sayangnya, Tante Rina menepis tangan putranya pelan. “Bentar loh, Nak. Ibu belum selesai kenalan sama mba cantik ini. Temen kamu ya?” tanyanya pada putra satu-satunya tersebut.

Jaffan tidak langsung menjawabnya. Dia membuang wajahnya ke arah lain, membasahi tenggorokannya yang terasa tercekat. Sedangkan di sampingnya, Agatha menatap Jaffan dengan penuh harap.

“Dia adiknya temen Jaffan.”

Pukulan keras terasa di dada Agatha. Harapannya dihempaskan begitu saja meninggalkan rasa kecewa yang teramat dalam pada sosok laki-laki yang bahkan tak berani menatapnya langsung. Agatha menatap Jaffan kecewa.

Sedangkan Jaffan tidak menghiraukan tatapan Agatha dan membawa ibunya pergi begitu saja, mengabaikan Agatha. “Ayo, bu.”

Agatha masih membeku di tempatnya berdiri, menatap punggung Jaffan yang menjauhinya begitu saja setelah dengan mudah melukai perasaannya. Agatha memejamkan kedua matanya, rasanya dia ingin menangis karena rasa sakit yang diterimanya benar-benar menyakitkan.

Sejak memutuskan berpacaran dengan Jaffan, Agatha tidak pernah membayangkan sekali saja bahwa lelaki seperti Jaffan akan melukainya seperti ini. Tetapi kenyataannya salah, bahkan Jaffan berhasil melukai perasaannya dengan cara yang paling menyakitkan.

Hubungannya sia-sia. Pada akhirnya, Jaffan melukainya.

##

Senja Café terlihat lebih ramai dibandingkan hari-hari sebelumnya. Kabarnya, peningkatan pengunjung diakibatkan adanya Jaffan sebagai pelayan baru disana. Selain menjadi barista, Jaffan juga bernyanyi live performance untuk para pengunjung yang datang pada sore hari hingga malam hari.

Tanisha, atau yang biasa dipanggil Icha, kekasih Yovian, merasa diuntungkan dengan adanya Jaffan sebagai karyawannya. Hal itu membuat Icha lebih memperhatikan Jaffan dibandingkan karyawannya yang lain. Icha juga memberikan gaji lebih banyak pada Jaffan karena keuntungan yang diperolehnya tersebut.

Sama seperti hari-hari biasanya, jam makan siang menjadi waktu yang paling ramai pengunjung. Para pelayan nyaris dibuat kewalahan karena pengunjung berdatangan tiada hentinya. Terlebih beberapa karyawan ada yang tidak masuk kerja dikarenakan sakit, alhasil Jaffan harus mengambil dua pekerjaan yaitu kasir dan barista.

Para pengunjung terlihat sabar menunggu antrian di depan kasir. Mereka mengagumi wajah tampan Jaffan dengan pakaian barista yang tampak sangat cocok dengan pawakannya yang gagah. Sebagian besar pengunjung yang mengantri yaitu kaum hawa. Beberapa dari mereka bahkan diam-diam memotret Jaffan dengan handphone mereka.

Dua orang gadis melangkah maju ketika gilirannya datang. Seperti biasa, Jaffan menyambut mereka dengan hangat. “Mau pesan apa kak?” tanya Jaffan siap mencatat pesanan mereka dengan mesin di depannya.

“Nomor Whatsapp kakaknya ada?” tanya salah satu gadis berambut pendek itu.

Jaffan terhenti sejenak, menatap kedua gadis yang sekilas terlihat seperti anak SMA. Dia tersenyum canggung. “Kebetulan ga ada kak. Bisa lihat di daftar menu ya kak,” balas Jaffan masih mempertahankan keramahannya.

Gadis berambut pendek itu terkekeh malu. “Aku mau dua cappucino latte, kak,” pesannya dengan besar.

“Ada pesanan lain?” tanya Jaffan memastikan.

Giliran gadis berponi yang membuka mulutnya. “Sama aku mau slice cake tapi yang disuapin kakaknya dong,” pesannya mengejutkan Jaffan.

Hal itu membuat Jaffan menghela napas lelah. Ini bukan pertama kalinya dia menemukan pengunjung jenis seperti ini, bahkan sering. Meskipun sedikit menguncang mentanya, Jaffan tetap bertahan demi pekerjaannya. Gini amat nyari uang.

Selang beberapa menit berlalu, akhirnya antrian kasir sudah tidak sepanjang antri sembako. Tersisa beberapa pengunjung yang mengantri untuk memesan. Jaffan menegakkan punggungnya yang terasa lelah karena berdiri sedari tadi, namun dia terus melayani para pengunjung kafe dengan penuh senyuman.

Hingga tibalah pada pengunjung yang mengantri di akhir barisan. “Mau pesan—” Jaffan terhenti begitu melihat siapa pengunjung yang datang.

Agatha, pengunjung yang berdiri di depan Jaffan ikut tertegun. Dia tidak mengira bahwa dia akan bertemu mantan kekasihnya di saat seperti ini. Jaffan menoleh ke arah lelaki yang datang bersama Agatha

“Eh, Pan! Lo kerja disini?” Daffin menyapa Jaffan dengan akrab. Jaffan mengangguk dan tersenyum lebar pada Daffin. Keduanya tos dengan akrab meskipun sudah lama tidak bertemu lagi sejak mereka bermain futsal bersama.

Jaffan mengontrol emosinya, meskipun hatinya terbakar api cemburu begitu melihat Agatha jalan dengan lelaki lain yang sialnya adalah temannya sendiri. Jaffan tersenyum ramah. “Kalian mau pesen apa?”

Daffin berpikir melihat ke arah daftar menu. “Apa ya, Tha?” tanyanya kebingungan pada Agatha. Sedangkan gadis itu bungkam sembari menundukkan kepalanya, begitu dia tahu Jaffan tak berhenti menatapnya.

Iced americano aja kali ya. Dua, pan,” pesan Daffin pada akhirnya. Mendengar pesanan Daffin, Jaffan tersenyum tipis. Hal itu membuat Daffin bertanya-tanya. “Kenapa?”

“Engga papa. Gue kira Agatha ga suka americano,” ujar Jaffan pelan, namun bisa didengar jelas oleh Daffin dan Agatha.

Daffin terkejut dan menoleh cepat ke arah Agatha. “Oiya?”

“Engga, kok. Suka-suka aja,” jawab Agatha masih menghindari tatapan Jaffan. Bahkan dia memutuskan untuk kabur dari hadapan Jaffan dengan mencari alasan pada Daffin. “Gue cari tempat duduk dulu ya.”

Jaffan memproses pesanan Daffin dengan tersenyum kecut. Dia tidak menyangka bahwa kegagalan cintanya menaruh rasa patah hati yang amat luar biasa sakitnya.

##

Rombongan kosan sudah sampai ke rumah sakit dimana Jarvis dirawat. Mereka membutuhkan waktu sekitar 20 menit untuk sampai di sana. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, mereka pun berlari menuju Ruang Kamboja nomor 34.

Koridor rumah sakit yang tidak terlalu ramai dan hanya beberapa pasien berlalu lalang itu dilewati oleh mereka. Hingga sampailah mereka di koridor dimana salah satu ruangannya adalah ruangan tempat Jarvis dirawat.

Begitu sampai di ujung koridor, langkah mereka berhenti ketika salah satu pintu ruangan terbuka. Dua perawat keluar dari ruangan tersebut dengan mendorong ranjang dan membawanya keluar bersama dengan pasien di atasnya. Kondisi pasien di atas ranjang itu tertutup kain putih dan dibawa keluar oleh kedua perawat tersebut dari ruang rawat.

Melihatnya, seketika Jaffan dan Januar langsung menangis histeris. “Bang Apis!!” teriak mereka bersamaan dengan berurai air mata dan berlari menghampiri mereka.

Tepat sebelum mereka berlari, Abian dari belakang dengan cepat menarik kaos mereka bagian belakang dan menahan mereka untuk berlari ke arah pasien tersebut. Abian dengan raut tenangnya berbicara pelan. “Itu bukan Apis njir.”

Keduanya pun menjadi kebingungan dibuatnya. Januar menoleh ke arah Abian. “Lah? Bukan?”

Abian menggeleng. Dia melepaskan kaos kedua adiknya itu dan menunjuk papan nomor ruangan tersebut dengan dagunya. “Liat noh keluarnya dari ruang nomor 37,” ujarnya masih dengan nada tenang.

“Ohhhh..” sorak Januar dan Jaffan bersamaan.

Tiba-tiba, Haidan sudah berjalan terlebih dahulu, meninggalkan mereka dan mencari ruangan yang tepat. “Ruang 34!” celetuknya tiba-tiba begitu menemukan ruangan dengan papan nomor yang benar.

Ketiga lainnya langsung berlari menyusul Haidan. Jaffan yang sudah panik sedari tadi mendorong Haidan dan membuka pintu ruangan tersebut dengan panik setengah mati. “Bang Apis!”

Begitu pintu terbuka, mereka dapat melihat sosok Jarvis berbaring di tempat tidur pasien, lengkap dengan pakaian pasien dan infus yang terpasang. Jarvis tampak tak sadarkan diri dan belum menyadari kedatangan adik-adiknya itu.

“Bang Apis!!” Jaffan disusul dengan Januar langsung berlari menghampiri Jarvis. Mereka menangis-nangis sembari memeluk Jarvis dan menggerakkan badannya pelan.

“Bang! Bangun bang. Jangan tinggalin kita, bang!” Jaffan yang paling menangis hebat. Berbanding terbalik dengan Haidan dan Abian yang masih berdiri di belakang Jaffan dan Januar dan tampak tenang.

Januar pun tidak kalah histerisnya dengan Jaffan. Dia menangis memeluk kakaknya. “Bang!”

“Berisik anjir.”

Keduanya terkejut ketika tiba-tiba Jarvis bersuara. Jaffan dan Januar dengan bersamaan menegakkan tubuhnya dan menoleh ke arah Jarvis. Mereka semakin terkejut begitu menemukan Jarvis yang membuka matanya.

Jaffan sampai melotot terkejut. “Loh? Lo kok masih hidup bang?” tanyanya tak percaya.

“Goblok. Jadi lo mau gue mati gitu?” tanya Jarvis dengan suaranya yang lemah.

Di saat yang sama, Danish dan Marvel masuk ke dalam ruangan. Mereka baru saja selesai mengurus administrasi rumah sakit untuk biaya pengobatan dan perawatan Jarvis. “Oh, kalian udah ada disini?” sapa Danish pada mereka.

Januar sudah sangat lega melihat abangnya itu baik-baik saja. Berbeda dengan Jaffan yang masih tak percaya dan terus saja bertanya-tanya. “Bang, bang. Liat gue. Gue siapa?” tanyanya dengan menyuguhkan wajahnya di hadapan Jarvis.

“Ga kenal gue sama lo,” jawab Jarvis malas.

Jawaban Jarvis membuat Jaffan seketika panik. Dia langsung menghampiri Haidan dengan heboh. “Anjir. Dan, dia gegar otak, Dan. Dia ga ngenalin gue, panggil dokter, Dan! Buruan!!” teriaknya heboh.

“Berisik, cok,” tegur Abian memukul belakang kepala Jaffan dengan kesal.

Jarvis tersenyum dan mengangkat jempolnya pada Abian. “Makasih, Bi.”

Haidan hanya menggelengkan kepalanya pelan, sudah tidak bisa menghadapi sosok Jaffan ini. Sedangkan Jaffan mengaduh kesakitan sembari mengusap belakang kepalanya dan mendumel sendiri.

“Udah lo diem aja deh. Gue mau tidur,” ujar Jarvis menarik selimutnya dan memejamkan matanya, mencoba mencari kedamaian untuk beristirahat.

Haidan bergerak menghampiri Danish yang berdiri tak jauh dari mereka. “Bang Apis ga kenapa-napa kan?” tanyanya memastikan hal itu.

“Ya kayak yang lo liat sekarang,” jawab Danish terkekeh pelan. Dia pun menjelaskannya pada Haidan. “Dia tadi tabrakan sama mobil, tapi untungnya mobilnya ga lagi ngebut jadi dia cuma keserempet dikit. Kata dokter sih ga parah banget, untungnya sampe kena kepala dia. Paling cuma memar bagian tangan doang. Tapi ga parah sih, paling beberapa hari udah sembuh.”

“Terus dia udah boleh pulang?” tanya Haidan.

“Besok mungkin.”

Haidan menghela napas lega. Dia memandangi Jarvis yang berbaring di tempat tidurnya. “Syukur deh kalo gitu,” gumannya pelan.

Sebenarnya dibandingkan Jaffan dan Januar yang heboh, ada Haidan yang lebih panik dibandingkan keduanya, namun dia tidak menunjukkannya dengan jelas dan memilih untuk bersikap tenang. Padahal dia lah yang paling takut jika sesuatu terjadi pada abangnya itu.

“Terus si Alvian begimana jadinya bang?” tanyanya kini ikut menoleh ke arah Marvel.

Marvel berdeham pelan. Dia melirik ke arah Jarvis dan memastikan bahwa dia tidak dapat mendengar pembicaraan mereka. “Ternyata Alvian deketin Nadia buat cari tahu tentang keluarganya Apis. Nadia ga tau masalah Apis sama Alvian dan ngira Alvian itu temennya Apis,” ceritanya.

Haidan benar-benar tidak bisa berkata-kata dibuatnya. “Alvian bener-bener brengsek. Bang Apis tau?” tanyanya. Dan dia menemukan Marvel menggeleng pelan.

Sayangnya, tanpa sepengetahuan mereka, Jarvis mendengar semuanya dengan jelas, meskipun dengan kedua mata yang tertutup.

Selang beberapa lama, pintu ruang rawat terbuka. Nadia masuk ke dalam ruang rawat dengan raut wajah yang panik dan ketakutan. “Apis!”

Hal lain yang menjadi pusat perhatian orang-orang di ruangan itu adalah orang lain yang datang bersama dengan Nadia. Dia tidak datang dengan Sadam, kekasihnya, melainkan datang dengan Alvian.

Haidan mengepalkan tangannya kuat, emosinya seketika meningkat begitu melihat wajah songong tanpa dosa milik Alvian berada di hadapannya. Dengan langkah lebar, dia mendekati Alvian dan langsung melayangkan satu pukulan tepat ke wajah Alvian.

“Idan!” Danish terkejut setengah mati dan langsung menarik Haidan, mencegah keributan di antara keduanya. “Tenangin diri lo, Dan!”

“Bajingan lo! Ngapain lo disini, hah?” teriak Haidan marah.

Satu ruangan terkejut dengan aksi Haidan barusan. Bahkan Marvel harus ikut turun tangan untuk mengamankan Alvian dari amukan Haidan, dibantu dengan Danish yang memegangi Haidan dengan kuat.

Berbeda dengan anak-anak kosan yang hanya terdiam di tempatnya, dan di luar dugaan mereka berempat bersamaan bertepuk tangan karena sangat terkagum-kagum dengan aksi heroik Haidan tadi.

Bahkan Jaffan sampai bersorak senang. “Bravo! Luar biasa!!”

Danish menoleh ke arah mereka berempat dan menatap mereka dengan tatapan tak habis pikir. “Anjir. Lo kenapa pada tepuk tangan sih?!” serunya jadi emosi.

Ada pepatah yang mengatakan bahwanya marahnya orang sabar itu menakutkan, dan inilah bukti nyatanya.

Selama hidupnya, Haidan hanya pernah memukul dua orang. Pertama, salah satu kakak kelas yang hampir melakukan pelecehan seksual di sekolah kepada kekasihnya, Keina. Lalu Alvian menjadi orang kedua.

Haidan dinobatkan menjadi orang tersabar di kosan, bahkan dia bisa bersabar menghadapi Jaffan yang sudah bersahabat sejak mereka di bangku SMP dulu. Itulah kenapa anak-anak kosan terkejut dan terkagum-kagum begitu melihat Haidan meledak marah sampai memukul Alvian.

“Udah, mending lo pergi aja bro.” Marvel pun menarik Alvian keluar dari ruangan dan mengamankannya sebelum dia membuat keributan dan membuat Haidan semakin meledak karenanya.

Nadia menghampiri Jarvis dan memeriksa keadaan Jarvis dengan raut wajah yang panik. “Lo ga papa, kan? Mana yang luka? Parah ga?” tanyanya cemas.

Sayangnya, Jarvis tidak menjawabnya. Dia malah bangkit dan turun dari ranjangnya. “Ada yang mau gue bicarain sama lo,” ujarnya meraih tangan Nadia.

“Hah?” Nadia terkejut bukan main. Dia ikut cemas begitu Jarvis sudah banyak bergerak padahal dia baru saja mengalami kecelakaan. Dia menahan Jarvis yang hendak pergi. “Eh, jangan jalan-jalan dulu.”

“Gapapa, ayo sebentar aja,” jawab Jarvis mengandeng tangan Nadia dan membawanya keluar dari ruangannya.

Haidan menoleh ke arah keduanya dengan cemas. Dia khawatir Jarvis mendengar pembicaraannya tadi dengan Marvel dan malah ribut dengan Nadia. Namun tiba-tiba pandangannya ditutupi Jaffan yang muncul di hadapannya dan menepuk pundaknya salut. “Lo keren banget sih, bro. Udah sekarang lo tenang dulu, atau mau gue beliin teh anget?”

Haidan berdecak dan menatap Jaffan sinis. “Lo kata gue abis kesurupan apa dikasih teh anget,” balasnya ketus.

Di sisi lain, Jarvis membawa Nadia keluar dari ruang rawatnya, pergi ke sisi koridor rumah sakit yang tidak terlalu banyak orang. Jarvis menoleh ke arah ruangannya tadi dan memastikan bahwa teman-temannya tetap di dalam.

“Kenapa? Lo beneran ga kenapa-napa? Gue kaget banget ketika denger lo kecelakaan, Pis.” tanya Nadia yang masih saja cemas pada sahabatnya itu.

“Nad, tenang dulu,” pinta Jarvis memegang kedua lengan Nadia dengan lembut. “Gue gapapa. Kayak yang lo liat sekarang, gue ga kenapa-napa. Cuma memar dikit tapi gapapa.”

Jawaban itu berhasil membuat Nadia lebih lega sedikit, meskipun dari tatapannya dia masih saja khawatir. Tapi setidaknya, sosok Jarvis di depannya dapat membuktikan padanya bahwa dia baik-baik saja.

“Kenapa lo bisa dateng sama Alvian?” tanya Jarvis mulai menginterogasinya.

“Gue dateng sama Sadam kok. Tapi dia lagi angkat telfon tadi. Terus di lobi gue ketemu Alvian,” jawab Nadia tanpa curiga.

“Lo kenal Alvian?”

Pertanyaan itu membuat Nadia mengerutkan keningnya. Raut wajahnya menunjukkan bahwa dia kebingungan. “Bukannya dia temen lo ya?” tanyanya bingung.

Jarvis menghela pelan, tak langsung menjawabnya. Tatapannya pada Nadia seketika berubah dingin, tak seperti biasanya. “Lo ngira dia temen gue makanya lo cerita ke dia tentang nyokap gue?”

Nadia terkejut bukan main. Dia pun terlihat merasa bersalah. “Pis..”

Tangan Jarvis mengusap dahinya pelan. Entah kenapa kepalanya menjadi pusing, padahal sebelumnya dia baik-baik saja. Dia menghela napas berat dan menatap gadis di depannya itu dengan tatapan kecewa.

“Nad, lo tahu sendiri gue paling ga suka orang lain tahu tentang keluarga gue. Kenapa malah lo kasih tau sih? Bahkan anak-anak kosan ga pernah kasih tau tentang keluarga gue ke orang lain. Tapi lo, sahabat gue dari kecil malah dengan gampangnya kasih tau ke dia? Gila lo?!” Seketika nada bicara Jarvis pun meningkat.

Nadia terkejut dan sampai menundukkan kepalanya, takut untuk menatap kedua mata Jarvis. “Maaf, Pis. Gue ga bermaksud—”

Jarvis menarik rambutnya frustasi. “Dan asal lo tau, dia bukan temen gue. Dia orang yang ga suka sama gue dan bakal cari cara buat jatuhin gue, dan BOOM, dia tahu kelemahan gue sekarang, karena siapa?”

“Karena lo!” bentak Jarvis dengan raut wajah marah yang menyeramkan.

Di luar dugaannya, Nadia menangis begitu dibentaknya. Emosi Jarvis pun menurun seketika, berganti dengan rasa bersalahnya pada gadis itu. Dia mengacak-acak rambutnya pelan. “Shit,” umpatnya lirih.

Kedua bahu Nadia naik turun karena dia menangis. “M-maaf..” ucap gadis itu pelan dan dengan suaranya yang gemetar karena takut pada Jarvis.

Jarvis mengusap air mata yang membasahi pipi gadis di depannya itu dengan ibu jarinya kemudian menghapusnya dengan lembut. “Nad, sorry gue ga bermaksud bentak lo tadi.”

“Maafin gue..”

“Iya, iya. Udah kejadian juga, ga usah dipikirin. Anjirlah, ga usah nangis dong.” Jarvis benar-benar merasa bersalah di buatnya. Dia pun menarik gadis itu dalam dekapannya dan memeluknya hangat. Tetapi, Nadia terus saja menangis, bahkan di pelukan Jarvis. “Maafin gue, Pis..”

“Iya, gue juga minta maaf,” balas Jarvis sembari mengusap kepala Nadia dengan lembut.

Hingga akhirnya, Jarvis menyadari seseorang berdiri di ujung koridor, melihatnya berpelukan dengan Nadia. Jarvis melepaskan pelukannya dengan Nadia secara perlahan. “Sadam..”

Mendengar nama siapa yang disebut Jarvis membuat Nadia menoleh dengan panik ke arah tersebut dan menemukan Sadam, kekasihnya itu berdiri di ujung koridor dengan tatapan dinginnya.

“Gue denger lo kecelakaan,” ujar Sadam menghampiri keduanya. Dia menatap Jarvis tajam. “Tapi kayaknya lo terlalu sehat buat dikatain sebagai pasien kecelakaan ya? Buktinya lo bisa peluk-peluk cewe orang.”

“Sayang,” Nadia bergerak, pindah ke sebelah Sadam.

Jarvis tersenyum sinis begitu disindir terang-terangan oleh temannya itu. “Gue ga tau ternyata lo posesif juga ya,” balasnya menyindir Sadam. “Lagian gue sama Nadia juga udah sahabatan lama dan gue rasa lo ga keberatan akan hal itu.”

“Gue emang ga keberatan,” jawab Sadam. Tatapannya masih menatap lurus ke arah Jarvis dengan marah. “Tapi setidaknya lo tahu batasannya, bro.”

Situasi di antara ketiganya berubah menjadi tegang. Nadia yang seharusnya berperan sebagai orang ketiga itu malah ikut terdiam dan ketakutan dengan situasi yang tak terduga ini.

Sadam mendengus pelan. Dia memberikan buah-buahan yang dibelinya pada Jarvis. “Cepet sembuh ya, biar lo bisa cepet keluar dari rumah sakit dan cuddle sama cewe-cewe lo itu, bukan sama cewe orang,” ujarnya kembali menyindir Jarvis.

Setelah mengatakannya, Sadam pun pergi begitu saja dengan perasaan marah. Nadia pun bergegas menyusul kekasihnya itu. “Sayang, tunggu dulu. Sayang!”

“Anjing!” umpat Jarvis melempar buah-buahan dari Sadam itu dengan penuh emosi.

Namun, ketika Jarvis hendak meluapkan emosinya, dia kembali menemukan seseorang yang datang dari ujung koridor tak lama setelah Sadam dan Nadia pergi. Melihat siapa yang datang membuat Jarvis membeku seketika.

Sudah lama dia tidak melihat orang itu, mungkin sejak dia pergi dari rumah, sekitar enam tahun lalu.

Dan sudah lama pula dia tidak memanggil orang itu dengan sebutan Ayah.

[]

Sudah seminggu lebih Acasha terus-terusan berdiam diri di kamarnya, sudah seminggu lebih pula dia menghindari Harsa. Bukan tanpa sebab, tapi ada satu dua hal yang tengah dipikirkannya.

Jibran dengan tangan yang masih menggunakan gips meletakkan secangkir teh hangat untuk Acasha. Selama seminggu ini, dia dan teman-teman lainnya yang menjaga Acasha menemaninya agar tidak merasa kesepihan.

Karena bunda sudah kembali ke Kanada, keluarga bunda satu persatu juga sudah kembali ke rumah masing-masing. Oleh karena itu para sahabatnya bergantian menemaninya, bahkan kemarin mereka ramai-ramai bermalam di rumah Acasha.

“Harsa dibawah.”

Penuturan Jibran tersebut membuat Acasha yang sedang meminum tehnya terhenti. Jibran terdiam sejenak, memperhatikan raut wajah Acasha.

“Lo ga mau nemuin dia?” tanya Jibran ragu.

Acasha tidak menjawabnya. Dia meminum teh buatan Jibran dengan raut wajah yang terlihat semakin sedih begitu mendengar nama Harsa disebut.

Jibran tidak tahu apa yang terjadi. Dia mengira Acasha dan Harsa tidak ada masalah. Tapi anehnya, Acasha menolak untuk bertemu dengan lelaki itu beberapa hari terakhir.

Jibran menghela pelan. “Gapapa kalo lo ga mau ketemu dia. Biar gue bilangin ke orangnya,” ujar Jibran yang sudah siap berjalan pergi.

Namun dengan cepat, Acasha menahan lengannya. Dia beranjak bangkit dari tempat tidurnya. “Engga, gue harus ketemu dia. Ada yang mau gue omongin sama dia,” jawab Acasha yang kemudian pergi begitu saja.

“Perlu gue temenin?” tanya Jibran sebelum Acasha keluar.

“Ga usah,” jawab gadis itu, kemudian menghilang di balik pintu.

Dengan langkah tak bersemangat, Acasha menuruni tangga rumahnya, menghampiri Harsa yang menunggunya di ruang tengah.

Melihat Acasha yang akhirnya turun menemuinya, Harsa langsung memeluknya. Banyak kekhawatiran yang menghantuinya sejak ayah Acasha meninggal, terlebih gadis itu yang tiba-tiba tak ingin bertemu dengannya.

Pelukan mereka hanya berselang beberapa saat saja, sebelum Acasha melepaskan pelukan mereka secara sepihak. “Lo ngapain kesini?” tanya Acasha dengan dingin, bahkan tidak menatap lawan bicaranya.

Harsa menjadi cemas. Dia memegang kedua pipi Acasha dan memeriksa keadaan kekasihnya itu. “Kamu kenapa, Sha?”

Sayangnya, Acasha menolak segala sentuhan yang diberikan Harsa. Dia menjauhkan tangan Harsa dari wajahnya dan memutuskan berjaga jarak dengan lelaki itu.

Hal itu pun semakin membuat Harsa cemas. Dia meraih kedua tangan Acasha dan mengenggamnya erat.

“Hei, kamu kenapa? Aku ada salah? Kenapa kamu tiba-tiba hindari aku?”

Lagi-lagi, Acasha melepaskan tangan Harsa darinya. Dia menundukkan kepalanya. “Gue ga ngehindarin lo, gue cuma kasih kesempatan lo buat pergi.”

Harsa mengernyit tak mengernyit. “Maksudnya?”

Acasha menarik napas, sebelum pada akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap lurus ke arah kedua manik mata Harsa. “Kalo lo mau pergi, gue persilahkan pergi sekarang.”

Air mata Acasha kembali terkumpul di pelupuk matanya. Acasha berusaha tetap tegar agar dapat melanjutkan ucapannya.

“Bunda udah pergi ninggalin gue buat keluarga barunya, abis itu ayah yang ikut pergi buat selamanya. Terus lo juga mau pergi kan dari gue?”

“Sha..” Harsa hendak meraih tangan Acasha, namun gadis itu lebih dulu menghindar.

“Kalo lo mau pergi dari gue, lakuin sekarang, Har!” Suara Acasha meningkat.

Harsa menarik napas, mencoba untuk mengontrol emosinya dan berbicara pada Acasha dengan kepala dingin. “Sha, gue ga pernah mau ninggalin lo, tapi—”

“Tapi apa? Tapi pada ada akhirnya lo pergi juga, kan?” Air mata Acasha pun terjatuh. “Cepet atau lambat lo bakal ninggalin gue, Har!”

Acasha menundukkan kepalanya, mencoba menghentikan air matanya. Sayangnya sudah dihapus, air matanya terus saja turun.

“Jadi lebih baik lo pergi sekarang aja, ga perlu nunggu buat ninggalin gue. Karena itu cuma bikin gue makin terluka.”

“Kamu kenapa sih? Kenapa kamu tiba-tiba gini, Sha?” Harsa terus mencoba meluruskan hal itu. Dia memegang kedua lengan Acasha meskipun gadis itu kembali menjauh.

“Setelah ayah pergi, gue sadar, kalo waktu yang gue habisin terbuang sia-sia,” ujar Acasha menatap kedua mata Harsa dalam.

Emosinya kembali meningkat dan air matanya semakin deras. “Buat apa gue habisin waktu gue, ngurus lo, nemenin lo tiap hari, tapi pada akhirnya lo juga bakal ninggalin gue. Semua usaha yang gue keluarin buat lo bakal jadi sia-sia.”

Harsa tidak langsung menjawabnya. Penuturan Acasha barusan seakan menikam tepat ke jantungnya. Dadanya terasa nyeri dan sakit yang cukup dalam. Secara tidak langsung, ucapan Acasha melukainya.

“Lo nyesel?” tanya Harsa lirih.

“Iya, gue nyesel,” jawab Acasha menatap Harsa dingin.

“Seharusnya hari itu, hari terakhir gue sama ayah. Tapi apa, gue malah harus ngurusin lo! Seharusnya gue ada di samping ayah sampe waktu terakhirnya sebelum pergi! Ini semua salah lo!!” teriak Acasha emosi.

Harsa terdiam. Kepalanya mendadak kosong, dadanya semakin terasa sakit.

Sorot kedua mata Acasha terlihat marah tapi juga sedih. “Salah lo karena gue kehilangan waktu berharga gue sama ayah. Gue ga bisa bareng dia bahkan buat yang terakhir. Gue kehilangan kesempatan buat liat senyum ayah untuk terakhir kalinya.”

“Sha. Acasha, maafin gue.” Harsa mengambil langkah mendekat. “Gue janji gue ga akan ninggalin lo.”

“Bohong!” teriak Acasha mendorong Harsa menjauh. “Lo bahkan ga bisa janji ke gue buat sembuh!”

“Sha..”

“Kalo lo ga bisa janji sama gue, gue bisa berharap apa dari lo?” tanya Acasha dengan dada yang naik turun.

Acasha menghapus air matanya dengan ceroboh. “Bahkan ayah selalu bilang dia bakal selalu ada buat gue. Tapi buktinya? Ayah pergi ninggalin gue selamanya.”

Dengan suara yang bergetar, Acasha menatap Harsa dengan penuh pilu. “Gue ga bisa ngerasain kehilangan lagi. Jadi kalo lo udah berniat pergi, mending lo pergi sekarang. Gue kasih kesempatan lo buat pergi.”

Harsa menyisir rambutnya ke belakang, merasa frustasi dengan semua pertengkaran mereka. Terlebih ucapan Acasha yang melukainya.

Dia menarik napas sebelum akhirnya memberanikan diri untuk menatap kekasihnya itu. “Gue tahu gue ga bisa janji sama lo. Tapi gue masih ga ngerti alasan kenapa lo nyalahin gue atas kepergian ayah?”

“Dari awal, gue udah kasih pilihan lo buat pergi, tapi lo sendiri yang milih buat balikan sama gue. Bahkan gue udah bilang ke lo kalo lo bisa pergi ketika lo udah capek sama gue,” ujar Harsa menampung air mata di pelupuk matanya.

“Dan sekarang lo nyalahin gue, Sha?” tanya Harsa terluka.

Harsa menatap Acasha dengan tatapan tak percaya. “Lo tau, lo ga jauh beda dari nyokap gue. Dia nyalahin gue di saat bokap gue meninggal. Dia bilang gue anak pembawa sial. Dan sekarang lo juga nyalahin gue?”

Acasha menundukkan kepalanya. Rasa bersalahnya muncul, memadamkan emosinya yang sebenarnya muncul karena dia takut kehilangan orang yang disayanginya.

Harsa menghela napas panjang, menyisir rambutnya yang mulai panjang sekali lagi. “Kalo lo mau gue pergi, oke. Gue pergi.”

Sebelum pergi, Harsa menatap Acasha dengan penuh rasa cinta, untuk terakhir kalinya. “Maafin gue, Sha.”

Harsa berbalik, dia benar-benar pergi dari hadapan Acasha.

Tangis gadis itu pun pecah begitu melihat punggung Harsa yang hilang di balik pintu rumahnya yang tertutup rapat. Kedua kakinya yang dikuatkan sedari tadi itu pun sudah tak kuat menopang tubuhnya.

Acasha berjongkok dan menumpahkan kesedihannya, menangis dengan memeluk kedua lulutnya dan menenggelamkan wajahnya di sana.

Mungkin nanti, dia akan menyesal menyuruh Harsa pergi darinya.

[]

Ketiganya sudah sampai Pemancingan Eco Park Ancol sedari tadi siang, dimana yang memilih tempat adalah Acasha. Padahal gadis itu dulu tidak pernah senang diajak mancing oleh ayahnya.

Mereka sudah memasang pancingan dan duduk menantikan ikan memakan umpan mereka. Namun sudah sejam lalu tidak ada satupun ikan yang datang.

“Lama banget sih,” keluh Acasha mendengus kesal dan menyandarkan punggungnya ke kursi.

Ayah yang duduk di samping Acasha hanya menghela pelan. Dia sudah dapat menebak bahwa putrinya akan bosan padahal baru beberapa menit menunggu. “Kan tadi ayah sudah bilang, mending mancing di pemancingan terbuka. Kamu sih ga percaya,” balas Ayah dengan lembut.

“Ah ga suka mancing,” gerutu Acasha bangkit dari duduknya dan pergi ke gazebo yang tak jauh dari mereka memancing ikan.

“Dia suka gitu kalo sama kamu?” tanya Ayah pada Harsa yang masih duduk di sampingnya, memeriksa umpan apakah sudah dimakan atau belum.

“Ya gitu, Om.” Harsa melirik Acasha yang masih berjalan di belakang mereka. Dia berbisik pelan, “Suka ngambek sama marah-marah.”

“Gue denger ya,” seru Acasha dengan pendengaran tajamnya. Dia langsung menoleh dan melempar tatapan tajam pada Harsa.

Ayah dan Harsa pun terkekeh melihat wajah kesal Acasha.

Ayah menoleh ke belakang, memastikan bahwa Acasha sudah menjauh dari mereka. Begitu dia menemukan Acasha sudah duduk di gazebo, Ayah pun bercerita.

“Dulu Shasha tuh anaknya manis, kalem, nurut, ga suka marah-marah, ga kayak sekarang.”

“Kebanyakan main sama cowo kali ya, Om.”

Ayah menggeleng. Kedua matanya menerawang jauh ke depan, memutar kembali ingatan lama di dalam kepalanya. “Dulu, Shasha tuh sering sakit-sakitan. Dia dari kecil gampang sakit, ga sekuat anak-anak lain, ga kuat dingin juga.”

“Sampai sekarang juga. Tapi kalo sekarang kalo sakit mah gampang berobatnya. Dulu om sama tante pas Shasha kecil ga punya banyak uang kayak sekarang, jadi kalo mau berobat susah,” cerita Ayah tersenyum sedu.

Dia menarik napas panjang sebelum kembali melanjutkan ceritanya. “Makanya, Om sama tante kerja keras buat ngumpulin banyak uang. Kerja tiap hari, lembur sampe jarang pulang sebenernya semua itu buat Shasha, karena Om sama tante bener-bener sedih tiap Shasha sakit.”

Ayah menundukkan kepalanya, merasa bersalah. “Sayangnya karena terlalu sibuk kerja, hubungan om sama tante jadi berakhir ga baik, jadi cerai. Om jadi ngerasa bersama sama Shasha, apalagi om sama tante juga jadi ga ada waktu buat Shasha, ninggalin dia sendirian tiap hari.”

“Shasha pasti ngerti kok, Om,” jawab Harsa penuh pengertian. Ayah mengangkat kepalanya, menatap Harsa dengan sedih.

Harsa tersenyum dan bertutur kata lembut dan halus. “Meskipun Shasha sedih, tapi Harsa yakin Shasha pasti ngertiin ayah bunda dia. Meskipun ayah bundanya sibuk kerja, Shasha tetep sayang sama om, sama tante juga. Itu pasti.”

Ayah tersenyum dan mengangguk tipis, merasa bahwa ucapan Harsa ada benarnya. Dia menoleh ke arah dimana Shasha menggerutu sendirian di gazebo sembari mengipas-ngipas dengan tangannya. “Temenin sana. Anaknya pasti bosen,” suruh Ayah menunjuk ke arah Acasha dengan dagunya.

“Om?”

“Gapapa. Biar om yang mancing. Pasti nanti dapet banyak,” jawab Ayah yang kembali fokus pada pancingan di depannya.

Harsa pun bangkit dan menghampiri Acasha. Dia berdiri di depan Acasha yang duduk di gazebo dengan tak berhenti mengerutu kesal.

Tangannya merapihkan anak rambut Acasha yang agak berantakan dan menghapus keringat gadis itu.

“Balik aja yuk,” ajak Acasha sudah malas.

“Kan belum dapet ikannya. Tunggu bentar lagi, kan kamu juga yang minta ikut,” ujar Harsa membujuknya. Meskipun begitu Acasha tetap cemberut dan masih saja menggerutu pelan.

Harsa terkekeh. Melihat Acasha yang cemberut membuatnya tidak tahan untuk mencubit pipi pacarnya itu saking gemasnya. “Udah marah-marahnya. Beli es krim yuk, gue beliin berapapun yang lo mau.”

Akhirnya Acasha pun mengangguk. Harsa menjulurkan tangannya untuk membantu gadis itu berdiri. Acasha tanpa berpikir panjang menerima juluran tangan tersebut dan mengandeng tangan Harsa tanpa ragu.

Sebelum pergi, Acasha berpamitan dengan ayahnya yang masih setia menunggu ikan. “Yah, beli minuman dingin dulu ya?!” Ayah hanya mengangguk kecil dan memberinya jempol.

Tak perlu waktu lama, Acasha dan Harsa sudah membeli beberapa es krim dan minuman dingin untuk mereka.

Setelah keluar dari minimarket, Harsa tanpa ragu merangkul kekasihnya di depan umum, tak mempedulikan orang-orang yang melihat mereka.

Acasha pun memberontak. “Jauh-jauh sana!”

Sayangnya, Harsa menolaknya. “Ga mau.”

“Ih ngeselin banget sih!” teriak Acasha kesal.

“Biarin,” jawab Harsa tidak peduli.

Keduanya berjalan kembali ke tempat dimana mereka memancing tadi masih dengan Harsa yang merangkul Acasha.

Gadis itu sudah tidak lagi mengomel, melainkan menceritakan kebersamaannya dengan ayahnya beberapa hari terakhir ini.

“Gitu deh. Kemarin Ayah juga tidur di kamar gue,” ujarnya menjadi penutup dari ceritanya. Tak terasa mereka sudah hampir sampai di tempat mereka.

Harsa hanya memanggut tipis mendengar cerita Acasha. Jujur ada satu hal yang membebani pikirannya.

Perihal tawaran Dokter Ida terkait pengobatan di luar negeri, sampai detik ini dia belum memberitahukannya pada Acasha.

“Sha,”

“Hm?” Acasha menoleh, menaruh perhatian pada Harsa.

Harsa terdiam sejenak. Dia merasa masih belum tepat membicarakan ini terlebih mereka baru aja baikan. Tapi itu selalu membebaninya tiap malam, belum lagi Dokter Ida dan Pak Mikael, mantan sekretaris ayahnya mendesaknya untuk menerima tawaran tersebut.

“Kenapa?” tanya Acasha mengernyit karena Harsa yang tak kunjung bicara.

Harsa menghentikan langkahnya. “Sebenernya kemarin Dokter Ida nawarin buat—”

“Shasha! Liat! Ayah dapet ikan!” teriak Ayah dari kejauhan yang memamerkan ikan tangkapannya.

Perhatian Acasha teralihkan begitu saja. Dia langsung lari menghampiri ayahnya dan terkagum melihat ikan tersebut. “Wih, besar banget ikannya.”

“Besar,kan? Ayah gitu loh,” jawab Ayah sedikit sombong.

Harsa menyusul di belakang dan tersenyum lebar. “Keren, Om,” pujinya memberikan dua jempol untuk Ayah.

“Fotoin ayah dong,” pinta Ayah mengeluarkan handphonenya.

Dengan sigap, Harsa mengambil handphone yang Ayah julurkan dan menawarkan dirinya. “Sini, biar Harsa fotoin.”

“Ayo, Sha. Foto sama Ayah,” ajak Ayah mengajak putri semata wayangnya yang sangat disayanginya.

“Lo juga ikut foto dong!” seru Acasha menarik Harsa.

Alhasil mereka memutuskan untuk mengambil selfie dimana Harsa berada paling depan dan memegang handphonenya karena dia paling tinggi. Harsa pun memberi aba-aba. “Satu, dua..”

CEKREK!

Seperti gadis pada umumnya, Acasha langsung pergi memeriksa hasil foto mereka. “Hasilnya bagus ga?”

Acasha mengerutu kembali. “Ih, gue keliatan gemuk. Jelek ih!”

“Mana ada. Anak ayah mah cantik terus,” puji Ayah tidak setuju dengan pendapat Acasha.

“Setuju banget saya, Om,” sahut Harsa dengan cepat.

Acasha berdecak pelan, menatap Harsa yang selalu saja berhasil membuatnya salah tingkah.

Sebelum kembali melihat fotonya, Acasha teringat percakapan mereka tadi. “Eh, lo tadi mau ngomong apa?”

“Engga, ga papa,” jawab Harsa tersenyum tipis. Dia pergi menghampiri Ayah yang sibuk memindahkan ikan tangkapannya tadi. “Sini, Om. Biar Harsa bantu.”

Acasha menyipitan kedua matanya, menyadari bahwa ada yang Harsa sembunyikan darinya.


Hari mulai sore, mereka sudah mendapatkan beberapa ikan dan Harsa tengah membersihkannya. Berbeda dengan Acasha dan Ayah yang duduk santai di gazebo.

“Kamu kok jarang keluar sama temen-temen kamu sih, Sha?” tanya Ayah membuka pembicaraan mereka di sore hari.

“Lagi marahan.”

“Kenapa?” tanya Ayah dengan wajah herannya. Setahunya, putrinya dan teman-temannya tidak pernah bertengkar sampai berhari-hari.

“Katanya Shasha terlalu bucin,” jawab Acasha cemberut.

“Emang sih.”

“Ayah mah,” seru Acasha kesal.

“Bukannya Jibran abis kecelakaan ya?” tanya Ayah sembari merapihkan alat pancingnya.

“Iya, kata ga parah sih lukanya. Cuma gegar otak ringan sama patah tulang di tangan kanan dia,” jawab Acasha. Diam-diam, dia masih mencari tahu kabar Jibran melalui Daffi.

“Ya tapi kan harusnya kamu jenguk.” Ayah menghela pelan, memandangi wajah putrinya dengan tatapan lembut. “Baikan gih sama temen-temen kamu. Masa udah gede masih suka berantem.”

Acasha menggeleng dengan wajah yang semakin ditekuk. “Ga mau. Shasha masih kesel sama Ajun.”

Ayah berdecak pelan dan menggeleng tidak habis pikir dengan putrinya itu. “Kebiasaan marah-marah mulu sih.”

Tak lama, Harsa membawa satu baskom penuh dengan ikan yang sudah dibersihkannya. “Tinggal dibakar ikannya nih, Om.”

“Sini, biar Shasha aja!” seru Shasha langsung bangkit dari duduknya dan mengambil baskom di tangan Harsa.

“Emang bisa?” tanya Harsa menjauhkan baskom tersebut dari Acasha.

Acasha mendengus kesal dan merebut baskom tersebut. “Dih ngeremehin lo!”

Acasha pun pergi ke tempat bakaran yang sudah disiapkan oleh penjaga tempat ini. Dia menggulung lengan pakaiannya dan bergegas membuktikan bahwa dia pandai memasak. Membakar ikan bukan perkara yang sulit untuknya.

Harsa mengambil minuman dingin yang dia beli bersama Acasha tadi. Dia memberikannya pada Ayah yang sedari tadi belum minum. “Ini, Om.”

“Wih, makasih loh,” ucap Ayah menerimanya dengan senang hati.

“Om istirahat aja, biar Shasha yang masak ikannya,” ujar Harsa. Dia tahu sedari tadi Ayah yang memancing dan berhasil mendapatkan sekitar lima ekor ikan yang cukup besar.

Sembari beristirahat, giliran Ayah yang mengobrol dengan Harsa yang ikut istirahat di sampingnya dan menikmati sekaleng cola dingin. “Berarti kamu sekarang tinggal sama siapa?” tanya Ayah.

“Sendiri, Om.”

“Sering-sering ke rumah aja, main sama Om, sama Shasha juga,” ujar Ayah yang sudah akrab dengan Harsa.

“Iya, Om.”

Ayah menepuk pundak Harsa dan tersenyum tulus. “Ga usah sungkan. Kamu mah udah Om anggep jadi anak om sendiri.”

Mendengarnya membuat Harsa tersentuh. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Terlebih saat ayahnya masih hidup, ayahnya tidak pernah mempedulikannya. Dia merawat Harsa hanya karena merasa bersalah dengan ibunya, tidak lebih dari itu. Maka dari itu, setiap perhatian dan kehangatan yang Ayah berikan padanya membuat Harsa tersentuh dan benar-benar bersyukur.

Harsa tersenyum lebar. “Makasih banyak ya, Om.”

Ayah mengangguk pelan. Dia mengalihkan pandangannya dan menemukan Acasha yang diam-diam mengigit daging ikan padahal baru beberapa menit di bakar. “Eits, belom mateng! Jangan dimakan dulu!” omel Ayah.

“Orang lagi dicek udah mateng belom,” jawab Acasha meletakkanya kembali. Jujur, gadis itu sudah kelaparan.

“Sabar dong, Sha,” ujar Harsa seraya terkekeh melihat kelakukan kekasihnya itu.

“Harsa,”

“Ya, Om?” jawab Harsa menoleh dengan cepat.

Ayah mengangkat pandangannya. Dia menatap jauh ke langit di atas mereka. “Om boleh minta tolong ga sama kamu?”

Ayah menoleh ke arah Harsa, memberikan kepercayaan besar pada lelaki di sampingnya itu. “Tolong jaga Shasha baik-baik ya.”

Harsa tertegun. Dia menatap Ayah yang raut wajahnya berubah menjadi sedu. “Om tahu Shasha itu anaknya susah diatur, suka marah-marah. Tapi dia sebenernya rapuh, gabisa ngapa-ngapain sendirian. Jadi tolong ya jagain dia. Bisa, kan, Nak Harsa?”

Harsa mengangguk cepat. “Iya, Om. Harsa bakal jagain Shasha,” jawabnya lekas berjanji pada Ayah.

Ayah tersenyum senang. Dia kembali menepuk pundak Harsa. “Om percaya sama Nak Harsa.”

Selang beberapa menit setelah mengobrol banyak dengan ayah, Harsa menemukan Acasha datang dengan ikan bakar yang selesai dimasaknya. “Ayo makan! Udah mateng nih ikannya!” seru Acasha penuh antusias.

Tak lupa mereka juga memesan nasi dan lalapan yang sudah disediakan oleh Pemancingan Eco Park Ancol. Sesi makan-makan pun dimulai.

Ayah mengambilkan banyak nasi untuk Harsa dan juga ikan yang besar. “Makan yang banyak biar cepet sembuh,” ujar Ayah dengan penuh perhatian.

“Makasih, Om.”

Tak lupa, dia juga mengambilkan nasi dan ikan untuk Acasha tak kalah banyak. “Kamu juga makan yang banyak biar cepet tinggi,” ujarnya setengah menggoda putri kesayangannya itu.

“Betul tuh, Sha,” sambung Harsa ikut menggodanya.

Acasha mendengus kesal. “Lo nya aja yang ketinggian!”

Harsa dan Ayah tertawa bersama setelah berhasil menggoda Acasha. Keduanya sering bekerja sama menggoda Acasha dan senang melihat gadis itu.

Hari ini, menjadi hari yang menyenangkan bagi Harsa, memiliki waktu yang berharga dengan Acasha dan Ayah.

[]

Hari ini Harsa mengendarai mobil untuk datang ke rumah Acasha. Tidak seperti biasanya, Harsa memakai pakaian yang lebih rapi hari ini.

Dengan menggunakan turtleneck sweater putih dan celana kain berwarna coklat tua. Rambutnya juga terlihat rapi.

Hal itu membuat Acasha yang baru saja membukakan pintu untuknya, sampai terkejut.

“Rapi amat? Mana wangi banget lagi,” komentarnya.

Harsa menyentuh belakang lehernya dengan canggung. Dia melirik penampilannya sendiri sebelum menatap Acasha ragu. “Aneh ya?”

Tanpa Acasha tahu, Harsa sampai membuat keributan di grup chatnya dengan para sahabatnya, untuk membantunya mencarikan pakaian untuk hari ini. Bahkan Raka sampai datang tengah malam ke apartemennya hanya untuk membantu Harsa menyiapkan hari ini.

Acasha tersenyum, lalu menggeleng. “Engga kok. Ayo masuk,” ajaknya, membukakan pintu rumahnya lebih lebar, memberikan akses untuk Harsa masuk ke dalam rumahnya.

Sembari berjalan masuk dengan Acasha, Harsa mengajaknya mengobrol dengan bertanya. “Ayah sekarang tinggal sama kamu terus, Sha?”

Acasha mengangguk. Acasha juga terlihat lebih senang akhir-akhir ini karena dia sudah tidak sendirian lagi di rumah.

Di dekat dapur, Acasha berhenti. Dia menoleh ke arah Harsa. “Ayah di teras belakang. Samperin aja,” ujarnya sembari menunjuk ke arah teras belakang menggunakan dagunya yang terangkat sedikit.

“Kamu mau kemana?” tanya Harsa yang seketika panik begitu menemukan Acasha hendak pergi.

“Buatin minum buat lo,” jawabnya.

Harsa menatap Acasha dengan tatapan memohon, ditambah bibir yang sedikit dimanyunkan. Acasha pun tahu apa yang diinginkan oleh lelaki itu. Dia menghela pelan. “Gapapa, Harsa. Bokap gue ga nyeremin kok.”

Alhasil, Harsa hanya mengangguk menurut. “Jangan lama-lama ya,” pesannya.

“Iya, iya. Udah sana,” usir Acasha mendorong pelan lengan kekasihnya itu. Harsa pun berjalan menghampiri Ayah di teras, sedangkan Acasha pergi ke dapur untuk membuatkan minuman.

Harsa berhenti di pintu teras. Pawang besar ayah Acasha terlihat duduk di kursi teras dan sibuk menyirami tanaman bonsai miliknya.

Harsa sampai kesulitan menegak salivanya sendiri, saking gugupnya.

Dia menarik napas dan menghembuskannya perlahan, mengumpulkan keberaniannya untuk bertemu langsung dengan calon mertuanya. Setelah merasa lebih tenang, dia pun akhirnya bergerak.

“Pagi, Om,” sapa Harsa dengan sopan. Dia menyalami tangan Ayah dan mencium punggung tangannya, lalu memperkenalkan dirinya. “Saya Harsa, Om.”

“Iya, Om sudah tau,” jawab Ayah tak berekspresi. Dia kembali fokus pada bonsainya. “Duduk.”

Harsa pun duduk di kursi sebelah Ayah, yang hanya dibatasi oleh satu meja kecil.

Harsa tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Beberapa kali dia mengusap pelan telapak tangannya yang keringatan ke celananya.

“Kamu pacarnya Shasha, kan?” tanya Ayah tanpa melihat lawan bicaranya.

“Iya, Om.”

“Udah berapa lama sama Shasha?”

Harsa mengusap belakang lehernya, semakin gugup begitu Ayah mulai menanyainya. “Udah lumayan lama, Om.”

Ayah menoleh ke arah Harsa. Dia menurunkan kacamatanya sejenak, memperhatikan Harsa dari atas ke bawah. Hal itu membuat Harsa menelan ludahnya dengan susah payah.

“Kenapa kamu pacaran sama anak saya? Apa yang kamu suka dari Shasha?” tanya Ayah menatap Harsa dengan tajam.

Serasa diwawancarai oleh Ayah, membuat Harsa semakin gugup, sampai tergagap. “B-banyak sih, Om. Shasha cantik, pinter juga, dia juga berani buat jadi aktifis di kampus. K-keren pokoknya, Om.”

Ayah mengangguk cepat. “Iyalah. Udah jelas, anak Om itu.”

Harsa setuju dalam hati. Dilihat dari kerjaan kedua orang tua Acasha, tidak heran kalau Acasha juga menjadi gadis yang hebat.

“Kamu beneran sayang kan sama anak, Om? Ga main-main kan kamu?” tanya Ayah masih dengan tatapan yang tajam, tertuju pada Harsa.

Harsa menggeleng cepat. “Engga, Om. Sayang banget saya sama Shasha, Om,” jawabnya mencoba menyakinkan Ayah.

“Awas kamu kalo macem-macem,” ancam Ayah.

Hanya dengan ancaman kecil saja sudah membuat Harsa takut. Dia jadi berpikir untuk hati-hati ke depannya, jangan sampai dia dan Acasha kembali bertengkar.

Setelahnya, tidak ada pembicaraan. Ayah kembali fokus pada tanamannya, sedangkan Harsa sesekali melirik ke arah Ayah dengan tak tenang, sembari menunggu Acasha bergabung mereka.

Aca lama banget sih, batinnya.

“Kamu gimana sekarang? Udah sehat?” tanya Ayah tiba-tiba, ditengah keheningan.

Harsa merasa dia baru saja salah mendengar pertanyaan dari Ayah. “Gimana, Om?” tanyanya memastikan pendengarannya.

Ayah kembali melihat Harsa. Kali ini tatapannya berbeda, tidak tajam seperti tadi, melainkan tatapan seperti seorang ayah menatap anaknya. Raut wajah Ayah ikut berubah prihatin.

“Om sudah denger banyak tentang kamu dari Shasha. Om ngerasa kamu sudah ngelewatin banyak hal sulit,” ujar Ayah masih dengan kewibawaannya, namun kali ini dengan lembut tuturnya.

Harsa tersenyum canggung. “Makasih, Om. Saya sudah lumayan sehat kok, Om.”

Ayah memperhatikan wajah Harsa. Bibirnya tersenyum, namun sorot matanya memperlihatkan kesedihan. “Kalo kamu mau tahu. Dulu om juga ga punya ayah sama ibu.”

“Om juga, maaf,” Ayah melirihkan ucapannya, takut menyinggung perasaan Harsa. “Om juga anak di luar nikah. Ibu om meninggal pas ngelahirin om dan ayah om pergi ninggalin om. Makanya itu, kakek neneknya Shasha cuma ada satu,” ceritanya.

“Tapi itu bukan salah kamu, Har.” Ayah menyentuh pundak Harsa. “Walaupun kenyataannya kamu anak di luar nikah, tapi kamu tetep berhak bahagia, tetep berhak dapet hidup yang layak seperti anak-anak lain.”

Harsa membuang wajahnya. Jujur, perkataan Ayah membuat Harsa sedih. Ini baru pertama kali ada seseorang yang mengatakan ini padanya. Teman-temannya, bahkan Acasha memilih untuk pura-pura tidak tahu agar dia tidak merasa semakin terluka.

“Maaf kalo Om menyinggung kamu,” ucap Ayah menepuk pundak Harsa beberapa kali.

“Engga kok, Om.” Harsa menggeleng pelan. “Harsa ga tahu harus jawab gimana. Tapi Harsa beneran seneng ada yang bilang kayak gitu ke Harsa,” ujar Harsa tersentuh. Dia nyaris menangis.

Ayah tersenyum lembut. “Om juga yakin kamu pasti bisa sembuh. Semangat ya, Nak. Berjuang sedikit lagi buat kebahagiaanmu sendiri,” ujar Ayah memberikan dukungan melalui tepukan di pundaknya.

Harsa mengangguk. Bukan hanya Acasha, bahkan Ayah juga mendukungnya. Hal itu membuat Harsa semakin sadar bahwa dia dikelilingi oleh orang-orang baik.

“Kamu suka mancing ga?” tanya Ayah mengalihan pembicaraan.

“Suka-suka aja sih, Om,” jawab Harsa mengusap matanya yang agak basah karena mengumpulkan air mata di pelupuknya. Untungnya, air mata itu bisa ditahan olehnya.

“Besok mancing sama Om ya. Nanti Om ajarin cara mancingnya,” ujar Ayah mulai menunjukkan sisi lainnya.

Ayah akan berubah ramah dan menjadi pribadi yang asik ketika dengan orang-orang terdekat. Bahkan Ayah mulai antusias bercerita. “Kalo kamu tahu, Om itu ahli mancing. Segala jenis ikan udah pernah Om dapet.”

“Oh iya, Om?” tanya Harsa yang ikut antusias.

“Iya loh. Ga percaya kamu?” Ayah mengeluarkan handphonenya dan membuka galeri foto di dalam handphonenya. “Nih, Om kasih liat. Banyak foto Om sama hasil pancingan Om sendiri.”

“Wih, itu besar banget, Om,” komentar Harsa begitu melihat foto yang ditunjukkan Ayah.

“Besar, kan? Ada yang lebih besar lagi.” Ayah memamerkan banyak fotonya dengan hasil tangkapannya pada Harsa. Dan keduanya pun menjadi akrab dengan cepat.

Acasha yang baru saja datang dari dapur sampai terkejut melihat Ayah dan Harsa yang sudah tertawa bersama. Dia terheran, perasaan dia hanya meninggalkan mereka sebentar untuk membuat cookies dan teh.

Namun hal itu membuat Acasha ikut tersenyum. Terlebih ketika melihat betapa bahagianya Harsa mengobrol dengan ayahnya.

[]

Acasha memasuki rumah sakit dengan khawatir setengah mati. Kepalanya merasa kacau ketika mendengar Jibran mengalami kecelakaan. Harsa datang bersamanya, dia ikut cemas karena kabar tersebut.

Di lobby, Harsa memelankan langkahnya begitu mendapatkan telepon dari dokternya, Dokter Ida. Dia pun menghentikan langkahnnya. “Kamu duluan aja, aku angkat telepon dulu,” ujarnya pada Acasha.

Acasha mengangguk singkat dan bergegas pergi ke UGD dimana Jibran dilarikan. Dia berpisah dengan Harsa yang pergi ke sisi yang berlawanan dengannya.

Butuh beberapa menit hingga akhirnya Acasha menemukan teman-temannya yang tengah menunggu di lorong UGD. Dengan berlari kecil, Acasha menghampiri ketiga temannya itu. “Jibran gimana? Dia gapapa, kan?”

“Masih ditangani sama dokter,” jawab Yoga dengan lemas. Dua temannya yang lain sama lemasnya karena kabar tersebut.

Mereka duduk, menunggu dokter ke luar dari ruang UGD, berharap masih ada kabar baik.

Perlahan Ajun bangkit dari duduknya dan menatap Acasha. “Lo ngapain ke sini?”

Acasha mengernyit tak mengerti. “Apaan sih lo? Pertanyaan lo aneh banget tau ga?”

“Lo ngapain kesini gue tanya?” tanya Ajun dengan suara yang perlahan meningkat.

“Ajun..” Yoga berusaha menahan emosi sahabatnya itu.

Sayangnya Ajun sendiri sudah lepas kontrol akan emosinya. Dia menghampiri Acasha dan berdiri di hadapannya. “Bukannya lo udah ga peduli lagi sama kita? Lo kan cuma peduli sama pacar lo itu. Terus ngapain lo kesini? Pacaran aja sana!!” serunya penuh emosi.

“Lo kenapa si, Jun? Aneh tau ga anjing!” balas Acasha membentak sahabatnya itu.

“Bener kan? Sejak balikan sama Harsa lo udah ga peduli sama kita,” ujar Ajun dengan sinis.

Acasha menarik napas, mencoba untuk tetap tenang meskipun di situasi seperti ini membuatnya mudah terpancing emosi. Dia menatap Ajun dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

“Kapan gue ga peduli sama kalian? Lo masih marah karena gue ga dateng ke sidang orang tua lo, hah?”

“Gue ga peduli masalah itu. Kan gue udah bilang mau lo dateng atau engga ortu gue tetep cerai. Masalahnya adalah Jibran kecelakaan karena lo!” teriak Ajun emosi.

Dani ikut bangkit dan menghentikan sahabatnya itu. “Ajun udah.”

“Maksud lo apa anjir?” teriak Acasha mulai terpancing emosi.

Ajun menyeringai. “Sekarang gue tanya, lo tahu ga Jibran berantem hebat sama bokapnya hari ini. Dia nelpon lo tapi lo malah pacaran sama pacar lo itu. Liat apa yang terjadi sekarang, Jibran kecelakaan karena lo anjing!”

“Ajun udah!” lerai Dani yang kelepasan ikut berteriak.

“Lo nyalahin gue?” Acasha mendorong bahu Ajun karena tidak terima disalahkan. “Asal lo tahu, gue selalu peduli sama kalian, tapi Harsa lebih butuh gue karena dia lagi sakit. Ini cuma soal prioritas ya anjir.”

“Terus kita harus mati dulu biar lo prioritasin kita gitu?!” Ajun terus saja berteriak emosi.

“Ngomong apa sih lo!”

Napas Ajun berderu, dadanya naik turun, melepaskan unek-uneknya yang sudah tertahan lama. Dia menunjuk Acasha dan menatapnya tajam.

“Dari awal gue diem aja ya, Ca. Tapi semakin didiemin lo tuh makin lupa sama orang-orang yang selalu ada buat lo. Kita selalu ada buat lo, selalu prioritasin lo di atas semuanya. Lo lupa siapa yang ngerawat lo pas sakit kemarin? Pacar lo bukan? Bahkan pacar lo itu ga tau lo sakit!”

“Setelah apa yang kita kasih buat lo? Ini balesan lo? Bahkan ngangkat telfon dari Jibran aja susah buat lo Ca? Sekarang kalo Jibran kenapa-napa lo mau tanggung jawab, hah?” tanya Ajun emosi.

“Ajun, udah. Udah, gue bilang.” Dani mendorong Ajun agar menjauh dari Acasha.

Acasha menghela berat, menyisir rambutnya frustasi setelah kekacauan ini terjadi. Ketika dia tidak sengaja membuang wajahnya, dia menemukan Harsa berdiri tak jauh dari mereka, menatap ke arah mereka.

Bukan hanya Acasha, teman-teman Acasha yang lain ikut menyadari bahwa Harsa disini, mendengar suara perdebatan mereka.

Di saat yang sama, dokter keluar dari ruang UGD, Ajun orang pertama yang berlari ke arah dokter, diikuti oleh Yoga dan Dani. “Gimana dok? Temen kita ga kenapa-napa kan, dok?”

Berbeda dengan Acasha yang memilih pergi begitu saja. Dia melalui Harsa, seperti lelaki itu tidak ada di hadapannya. Air matanya yang tak dapat terbendungkan lagi itu pun jatuh membasahi pipinya.

Harsa menyusul kepergian Acasha, dia mengejar gadis itu sampai keluar parkiran. Dengan sigap, dia menahan tangan Acasha. “Sha, ada yang harus kita omongin.”

“Gue capek, mau pulang aja,” tolaknya berusaha melepaskan tangannya, namun Harsa masih saja menahan tangannya.

Harsa menarik Acasha, membuatnya menghadap kepadanya. Dia memegang kedua lengan Acasha. “Kenapa gue ga tahu lo abis sakit? Kenapa lo ga bilang ke gue? Lo boongin gue?” tanya Harsa tak percaya.

Dengan air mata yang terus turun, Acasha mengangkat kepalanya dan menatap Harsa. “Iya, gue boongin lo.”

Harsa menghela panjang, mencoba untuk tidak terbawa emosi meskipun kepalanya sudah ingin meledak. “Kenapa sih harus boong? Kenapa ga bilang ke gue kalo lo sakit?”

Acasha tidak langsung menjawabnya. Dia mengangkat kepalanya ke langit, mencoba menarik napas sedalam-dalam mungkin, menguatkan dirinya untuk tetap kuat sampai akhir.

Barulah dia menatap Harsa kembali, namun tidak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya tadi. Dia mengalihkan pembicaraan. “Sekarang biar gue tanya, kenapa lo ga bilang ke gue kalo penyakit lo makin parah?”

Harsa terkejut. “Sha..”

“Kenapa lo boongin gue, Harsa? Kenapa lo boongin gue dengan bilang kalo semuanya baik-baik aja?!” teriak Acasha dengan air mata yang semakin membanjiri pipinya.

“Karena gue ga mau lo makin khawatir, apalagi kalo yang dikatain Ajun itu bener,” jawab Harsa mencoba berbicara baik-baik. “Gue ga pernah minta lo buat prioritasin gue sampe mengabaikan orang lain bahkan orang-orang terdekat lo.”

“Gue cuma berusaha buat lo sembuh.” Suara Acasha gemetar dikarenakan emosi yang sudah terlanjur menguap. “Gue berusaha keras, Har. Gue selalu mentingin lo, gue terpaksa menyampingkan kepentingan orang lain bahkan diri gue sendiri karena gue cuma mau lo itu sembuh.”

Harsa menarik rambutnya frustasi. Dia tidak menyangka bahwa ini akan terjadi di antara mereka.

Tatapan Harsa berubah marah. “Lo pikir gue bakal ngerasa seneng? Lo pikir gue bakal ngerasa bahagia kalo lo mentingin gue di atas segala? Engga, Sha. Gue ga terima kalo gini caranya.”

“Terus sekarang lo mau apa?!” teriak Acasha frustasi. “Gue cuma mau lo sembuh, itu salah di mata lo?”

“Tapi ga gini caranya.”

Harsa menggeleng pelan, menolaknya dengan keras. “Kalo kayak gini, mending lo ga usah balik sama gue dari awal.”

Baru setelah mengatakannya, Harsa pergi begitu saja meninggalkan Acasha.

Acasha hanya bisa memandangi punggung Harsa yang terus menjauh darinya. Air matanya tak berhenti keluar dari pelupuk matanya dan pada akhirnya Acasha berjongkok karena kedua kakinya tidak lagi kuat menahan beban setelah kekacauan ini.

Acasha melepaskan tangisnya, dia menangis di parkiran rumah sakit, tidak mempedulikan orang-orang yang memandanginya. Dia hanya ingin menangis melepaskan rasa sesak di dadanya.

Semuanya kacau. Dan Acasha yang mengacaukannya sendiri.

[]