keniyagi

Kabar yang mengatakan bahwa putra satu-satu mereka masuk rumah sakit berhasil membuat Diana panik. Saat itu, ia sedang pergi berbelanja dan langsung dikabari Eva bahwa Dikta masuk rumah sakit akibat pendarahan di kepalanya.

Begitu sampai di parkiran Rumah Sakit Cahaya Harapan milik Yasla, Eva membiarkan Diana turun lebih dulu, sedangkan dia memarkirkan mobilnya. Di lobi, kebetulan ia berpapasan dengan suaminya, Jirro.

“Sayang! Anak kita gimana?” Diana dengan kedua mata yang berkaca-kaca nyaris menangis ketakutan dan panik khawatir putranya terluka parah.

Jirro memegang kedua tangan istrinya dan berusaha menenangkannya. “Engga papa. Dia baik-baik aja kok,” jawab Jirro dengan tetap tenang, meskipun sebenarnya dia sama paniknya dengan Diana.

“Ayo. Mereka ada di ruangan 301.” Eva yang tiba-tiba datang menghampiri keduanya setelah memarkirkan mobilnya. Ia pun melangkah lebih dulu, menunjukkan arah untuk pasutri itu.

Dengan langkah tergesa dan panik, keduanya mengekori Eva ke ruang dimana Dikta dirawat setelah diperiksa oleh dokter. Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai di ruangan tersebut. Dari luar ruangan, terdengar suara tangis anak kecil yang berhasil membuat Diana semakin panik.

Apakah itu suara tangis Dikta yang kesakitan?

Eva pun membukakan pintu ruang rawat untuk mereka dan menampakkan bagaimana Dikta duduk tenang di ranjang rumah sakit dengan kepala yang diperban.

Hati Diana merasa lega melihat Dikta yang menunjukkan senyumnya, seakan menyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia baik-baik saja. Lantas siapa yang menangis keras tadi?

Tiba-tiba seorang anak berlari ke arah mereka.

“Tante Sofia, maafin Jagad. Jagad nggak sengaja dorong Mas Dikta tadi,” ujar Jagad masih menangis sesengukan merasa bersalah atas apa yang terjadi.

Akhirnya, Varro yang sedari tadi mendampingi Dikta pun membuka suara. “Tadi mereka lari-larian di dalem rumah. Terus Jagad nggak sengaja dorong Dikta sampai kepala ketabrak pintu. Jadinya berdarah,” jelasnya.

Jirro berjongkok di hadapan Jagad dan tersenyum seraya mengusap puncak kepalanya. “Iya, nggak papa sayang. Kan Jagad juga nggak sengaja,” ujarnya mencoba menenangkan Jagad yang terus menangis.

“Sayang..” Diana menghampiri putra satu-satunya itu, masih dengan ketakutan yang sama.

Tahu seberapa khawatirnya sang ibunda, ia pun tersenyum dan memeluknya. “Dikta nggak papa Mima.”

Kemudian, Dikta melepaskan pelukannya dan memamerkan pin berbentuk bintang yang terpasang di dadanya. “Lihat, Mima. Om Varro kasih aku pin bintang soalnya Dikta keren soalnya nggak nangis sehabis operasi.”

“Dia sampai di operasi?” Diana terkejut dan kembali panik begitu mendengarnya.

Eva pun mengusap pundaknya dan menenangkannya. “Operasi kecil, mba. Dikta cuma butuh beberapa jahitan aja. Tapi kata dokter nggak ada masalah, mungkin efeknya cuma sering terasa pusing aja.”

“Dikta takut nggak pas di operasi?” tanya Varro.

Dikta dengan senyum lebarnya pun menggeleng. “Engga, om! Dokternya baik. Katanya dia temannya Om Yasla, jadi aku nggak takut.”

“Keren. Ini baru ponakan Om Varro!” seru Varro memuji ponakannya itu.

Sementara itu, Jagad masih saja menangis. Akhirnya, Varro menghampirinya dan langsung mengendongnya. “Tuh lihat Mas Dikta aja nggak nangis. Masa kamu masih nangis aja?”

“Tadi udah minta maaf belum?” tanya Varro padanya.

“Udah,” jawab Jagad lirih.

“Mas Diktanya udah maafin belum?”

“Udah.”

“Nah ya udah. Sekarang kenapa nangis? Nanti yang nangis nggak dapet es krim tahu,” ujar Varro.

Mendengar kata es krim, Jagad langsung berhenti menangis dan menatap Varro dengan wajah penuh semangatnya itu. “Es krim?”

“Iya. Jagad mau es krim nggak? Kalo mau nggak boleh nangis lagi.” Berkat sogokan Varro, Jagad langsung menghapus air matanya. Varro pun membantu mengusap pipi ponakannya itu. “Kita beli es krim buat Jagad sama Mas Dikta ya?”

Di sampingnya, Eva pun berbisik. “Emang kamu punya uang buat beliin mereka es krim?”

Tak langsung menjawab, Varro malah menoleh ke arah Eva dan tersenyum cengegesan. Tanpa mengatakan jawabannya, Eva sudah tahu jawabannya sendiri. Ia pun mengeluarkan dompet miliknya dan diberi pada Varro.

“Ayo kita beli es krim!” seru Varro bersemangat, membawa Jagad ke luar dari ruang rawat, membiarkan Dikta beristirahat dengan kedua orang tuanya.

Jirro tak kuasa menahan senyumnya dan melihat kepergian Varro dan ponakannya itu. Varro berhasil membuatnya kagum berkali-kali dengan keahliannya.

Jika mengadakan pemungutan suara di antara para ponakan di keluarga Kalingga siapa om yang paling disenangi, sudah pasti Varro memenangkannya dengan mendapat suara terbanyak. Selain dapat meluangkan waktu untuk mengasuh mereka, Varro tahu betul bagaimana mengurus anak-anak, meskipun bukan anaknya sendiri.

Jirro ingat betul ketika mereka belum genap berusia 20 tahun, Varro pernah mengatakan bahwa ia tidak ingin menikah dan menjadi ayah. Ia merasa tidak akan menjadi ayah yang baik karena ia tumbuh tanpa peran ayah. Nyatanya, ucapannya tidak benar.

Kini, ia menjadi ayah yang baik untuk kedua putranya, atau bahkan om yang menyenangkan untuk para ponakannya.

Jirro merasa tenang sekarang, karena Varro menjadi orang yang baik, dengan masa lalunya yang gelap itu.

##

Hatinya benar-benar tidak siap menghadapi ayahnya malam ini. Tapi tekadnya sudah terlanjur bulat. Apapun yang terjadi, ia hanya ingin menyelesaikan masalah ini dengan cepat.

Toh juga, dirinya sudah mendapatkan banyak dukungan dari orang-orang terdekatnya. Dan benar kata Jagad, bahwa ia tidak perlu takut untuk mengambil pilihan dalam hidupnya.

Kini Malik sudah duduk di ruang tamu, sedangkan Jagad dan Shelvira masih berdiri di depannya, seakan enggan untuk duduk dan membicarakan masalah ini baik-baik.

“Kalian nggak mau duduk?” tanya Malik melihat keduanya bergantian.

Jagad menoleh ke arah Shelvira lebih dulu, memastikan bahwa gadis itu tidak masalah jika harus duduk di hadapan ayahnya. Setelah mendapat anggukan kepala dari Shelvira, keduanya pun duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa yang diduduki Malik.

“Kamu masih mau disini?” tanya Malik menatap lurus ke arah Jagad yang masih saja duduk di samping putrinya.

“Begini, om..”

Sebelum Jagad mengutarakan lisan, Malik lebih dulu memotongnya. “Om tahu kamu khawatir sama Shelvira. Tapi ini masalah kami, biarkan kami selesaikan masalah tanpa campur tangan orang lain. Jadi om minta tolong sama kamu, bisa?”

Kedua kalinya, Jagad menoleh ke arah Shelvira. Terlihat gadis itu mulai cemas dan langsung memegangi lengan Jagad erat, namun Jagad menepuk tangannya pelan dan menyakinkannya. “Nggak papa. Gue nggak kemana-mana. Gue tunggu di depan ya.”

Akhirnya setelah diyakinkan, Shelvira pun mengangguk dan melepaskan lengan Jagad. Lelaki itu beranjak pergi, keluar dari rumah, meninggalkan ayah dan anak perempuannya itu.

“Jadi gimana keputusannya, Shelvi? Kamu masih mau kuliah?” tanya Malik membuka pembicaraan mereka. Kedua matanya menatap lurus ke arah Shelvira.

“Iya, ayah.” Shelvira menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya sebelum kembali membuka mulutnya.

“Maaf kalau pada akhirnya Shelvi bikin ayah kecewa lagi atau nggak bisa bikin ayah bangga. Tapi ini yang Shelvi mau. Shelvi mau kuliah dan belajar apa yang disukai sama ibu. Shelvi nggak akan maksa ayah buat izinin Shelvi, kalau akhirnya ayah tetap nggak suka sama pilihan Shelvi, aku bakal terima semua konsekuensinya,” ujarnya mengutarakan isi hatinya.

Malik terdiam cukup lama. Hal itu berhasil membuat tingkat kecemasan Shelvira makin meningkat. Kedua tangan di pangkuannya tak berhenti meremas satu sama lain saking cemasnya.

Setelah terdiam lebih dari lima menit, akhirnya Malik menghela napas panjang dan menjawabnya. “Ya sudah. Ayah izinkan kamu kuliah.”

Jawaban ayahnya itu cukup mengejutkan, sampai-sampai Shelvira melotot dibuatnya. Ia sampai membenahi posisi duduknya saking tak percayanya. “Ayah serius?”

“Dengan satu syarat.”

“Nilai kamu harus bagus. Buktikan ke ayah kalau kamu bisa berjuang di dunia perkuliahan seperti yang kamu bilang itu. Kalau sampai nilai kamu jelek, siap-siap aja masuk militer,” ujar Malik memberi persyaratan atas izinnya.

Kedua mata Shelvira kembali berkaca-kaca. “Ayah, makasih..”

Malik beranjak berpindah posisi. Ia mengambil tempat kosong di samping putrinya itu dan merangkulnya penuh kasih sayang. “Maafkan ayah, ya Shel.”

“Jangan pernah sekali aja kamu berpikir kalau kamu anak pembawa sial. Ayah nggak pernah berpikir seperti itu selama hidup ayah. Ayah sadar Tuhan bisa ambil orang yang kita sayang kapanpun dan ayah takut kehilangan kamu seperti ayah kehilangan ibu dan abang. Mungkin cara ayah menjaga kamu salah, tapi ayah cuma mau jaga kamu, Shelvi,” ujar Malik ikut berkaca-kaca.

Setelah pertengkaran dengan putrinya, Malik sampai tidak bisa tidur dikarenakan ucapan Shelvira malam itu. Ia merasa gagal menjadi ayah karena Shelvira berpikir demikian tentang kematian ibu dan putranya. Hatinya terasa sakit begitu mendengarnya langsung dari mulut Shelvira.

“Ayah selalu larang kamu keluyuran nggak jelas karena ayah takut kamu kenapa-napa. Ayah mau kamu masuk militer supaya ayah bisa lebih mudah jaga kamu dan kamu selalu berada di bawah pengawasan ayah di militer nantinya.”

“Tapi setelah mengobrol sama Jagad, ayah sadar kalau cara ayah memang salah. Ayah terlalu nuntut kamu sampai kamu nggak bisa tumbuh dan hidup sesuai apa yang kamu mau. Maafkan ayah, ya,” ucap Malik mengusap pundak putrinya lembut.

Pernyataan Malik membuat Shelvira tak kuasa menahan air matanya. Air matanya pun lolos begitu saja membanjiri pipinya. “Maafin Shelvi juga, yah. Maaf kalau Shelvi selama ini nggak bisa jadi anak membanggakan buat ayah.”

Malik menggeleng cepat. “Enggak. Ayah selalu bangga sama kamu. Apapun pencapaian ayah, ayah selalu bangga,” sergahnya mengusap kepala Shelvira. “Maaf kalau ayah nggak pintar nunjukin perasaan ayah. Maaf kalau ayah nggak pernah ngasih kamu hadiah atau rayain ulang tahun kamu.”

“Ayah nggak tahu apa yang disukai perempuan. Ayah merasa gagal karena ayah nggak bisa bahagiain anak perempuannya,” aku Malik dengan jujur.

Shelvira tahu betul bagaimana ayahnya dibesarkan tanpa peran ibu semenjak ia lahir. Malik tidak pernah berinteraksi dengan perempuan lantaran ia selalu bersekolah di sekolah pria. Bahkan setelah bertemu dengan istrinya, ia bukanlah lelaki yang romantis, yang sering memberi hadiah ataupun bunga. Jovan yang menceritakan hal itu padanya dulu.

“Ayah nggak pernah gagal jadi seorang ayah. Lagipula ini pertama kalinya ayah jadi ayah. Jadi nggak papa,” jawab Shelvira.

“Dan satu lagi,” Malik mengusap air matanya sendiri. Malu karena tangisnya dilihat oleh putrinya sendiri. “Alasan kenapa ayah terlihat lebih sayang Jagad bukan karena ayah nggak sayang kamu. Tapi terkadang ayah kasihan sama dia karena orang tuanya selalu sibuk. Ayah berusaha buat bagi perhatian buat kalian berdua tapi sepertinya ayah salah. Jadi maaf ya.”

Terkadang Shelvira tidak bisa sepenuhnya membenci Jagad karena selalu merebut perhatian ayahnya karena ia tahu bagaimana Jagad hidup dengan kedua orang tua yang sangat sibuk.

Kerap kali Shelvira menemukan Jagad bertarung sendirian di kompetisi taekwondo tanpa ditemani oleh orang tuanya. Makanya ia sering datang, sekadar menyemangatinya.

Shelvira menyadari bahwa ia terlalu membenci suatu hal sampai ia tidak melihat kenyataan lain. Ia pun memeluk ayahnya. “Maafin aku juga ya, ayah.”

“Janji sama ayah, setelah ini kalau ada apa-apa langsung cerita sama ayah, ya,” pinta Malik membalas pelukan putrinya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Ia menggerutu pelan. “Ayah sedih masa Jagad lebih ngertiin kamu daripada ayah. Padahal ayah kan ayah kamu. Harusnya ayah yang lebih sayang sama kamu.”

Keluhan ayahnya itu berhasil membuat Shelvira tersenyum. “Iya, ayah.”

Keduanya pun membalas pelukan satu sama lain dengan penuh sayang. Shelvira memejamkan kedua matanya. Rasanya hangat, masih sama persis seperti pelukan ayahnya ketika ia berusia 5 tahun. Ia rindu pelukan itu, namun terkadang malu untuk bermanjaan dengan ayahnya di usianya sekarang.

Meskipun begitu, Shelvira sangat bersyukur bahwa ia bisa merasakan pelukan itu kembali. Dengan rasa yang tidak berubah sedikitpun.

“Shelvi sayang ayah,” bisik Shelvira di pelukannya.

“Ayah lebih sayang Shelvi.”

Rasanya pelukan tersebut menghangat. Shelvira makin tenggelam di dalamnya. Mungkin, abang dan ibunya ikut berpelukan bersama mereka.

Merayakan kembalinya kehangatan di rumah ini, yang sudah lama hilang beberapa tahun sejak kematian abang dan karena kesalahpahaman antara seorang ayah dan anak perempuannya.

##

Waktu hampir menunjuk pukul tengah malam. Juna masih sibuk dengan tumpukan tugas akhirnya, perlahan mulai mengantuk. Padahal ia sudah menghabiskan dua cangkir kopi, sayangnya tak berdampak apapun padanya.

Juna berhenti sejenak, merenggang-kan sendi-sendi tubuhnya, yang terasa jompo. Setelah mengerjakan tugasnya hampir dua jam, ia baru teringat sesuatu. “Anjir, pantesan ga bersemangat gini. Taunya belum dengerin lagu.”

Tangan Juna pun merogoh laci mejanya dimana biasanya ia menyimpan earphone wirelessnya. Dia memakainya sepasang, di telinga kanan dan kiri. Setelah terpasang dengan benar dan terkoneksi pada ponselnya, Juna pun memilih lagu kesukaannya untuk diputar.

Lagu kesukaan Juna sekelas band-band jaman dulu, seperti Dewa 19, Sheila On 7, Mahadewa, dan lainnya. Ia sengaja memilih lagu yang berisik dan keras untuk membangkitkan semangat dan menghilangkan kantuk.

Ketika merasakan semangatnya telah kembali, Juna pun melanjutkan tugasnya, sembari sesekali ikut berguman mengalunkan lagu yang didengarnya itu. Waktu terus berjalan, hingga akhirnya jam menunjuk pukul 12 malam.

Kening Juna mengernyit pelan. Tangannya yang sedari sibuk mengetik di atas keyboard laptopnya perlahan berhenti. Dia mendengar sesuatu yang aneh sehingga perlahan menoleh kesana kemari. Tidak ada siapapun di sekitarnya namun ia yakin bahwa dia mendengar suara tangisan di tengah lagu rock yang didengarnya.

Akhirnya, Juna mematikan lagunya sejenak dan melepas earphonenya. Juna semakin kebingungan ketika tak lagi mendengar suara tangisan itu, namun begitu Juna memasang kembali earphonenya dan mendengarkan lagu lagi, suara tangisan itu kembali muncul.

Anjir.. Apaan sih..” guman Juna merasakan bulu kuduknya mulai merinding.

Juna berusaha mengacuhkannya. Ia mencoba mengabaikan hal itu dan kembali fokus mengerjakan tugasnya, mengingat deadline semakin mepet namun Juna belum menyelesaikannya. Hingga akhirnya, Juna tak mendengar suara tangisan itu lagi.

Tak lama setelah suara tangisan itu menghilang, tiba-tiba saja lagunya berhenti dengan sendirinya di tengah jalan. Juna berdecak pelan dan memutarnya kembali. Belum ada hitungan detik, lagunya kembali mati dan itu terjadi beberapa kali sehingga Juna merasa kesal.

“Anjing! Ini Spotify gue kenapa sih? Perasaan kagak beli yang ilegal,” decak Juna kesal.

Hingga secara mengejutkan, suara teriakan dan tangisan yang mengerikan terdengar dari dalam earphonenya. Hal itu membuat Juna terkejut dan langsung terjungkal ke belakang, terjatuh dari kursinya.

Ia segera melepas earphone tersebut dari kedua telinganya dan membuangnya asal, menjauh darinya. Teriakan serta tangisan itu pernah didengarnya. Benar, Juna ingat betul itu. Itu sama persis dengan yang didengar di dalam mimpinya semalam.

Juna menemukan wadah earphone yang ikut terjatuh dan ia baru menyadari ada sesuatu di sana. Dengan tangan yang gemetar dan merinding ketakutan, Juna mengambil wadah earphone untuk melihatnya lebih jelas.

“ANJING!!!” Juna berteriak dan berlari terbirit-birit keluar kamar indekosnya setelah melempar wadah earphonenya. Ia berlari keluar begitu saja dengan mengenakan pakaian seadannya dan sandal rumahnya, hanya membawa ponselnya.

Rupanya, Juna baru menemukan bercak darah di wadah earphonenya dan menyadari bahwa earphone tersebut bukanlah miliknya. Lalu milik siapa?

[]

Kesepuluh astronot bersiap-siap. Mereka memakai perlengkapan mereka dengan lengkap dan mengisi imunisi senjata mereka, serta memastikan mereka memiliki banyak peluru untuk melawan para monster ungu. John dan Sam membantu Kevin dan Alcio memakai peralatan mereka.

Tak lupa Danny meninggalkan pesan pada Alpha Team dan melaporkan bahwa mereka akan segera kembali ke bumi.

Anggota tim lainnya sudah berjalan menuju pintu pangkalan, meninggalkan Danny di ruang kendali, mematikan sistem di sana dan menekan tombol darurat yang hanya diketahui olehnya. Begitu tombol darurat diaktifkan, lampu-lampu di dalam pangkalan mulai berkedip-kedip. Barulah Danny berlari menyusul teman-temannya.

Sistem darurat diaktifkan. Tinggalkan pangkalan dalam 10 menit. Persiapan ledakan dalam 10 menit dimulai. 600, 599, 598…

“Maksudnya ledakan apa, Kapten?” David tidak mengerti dengan rencana yang diambil oleh kaptennya itu.

“Kita harus hancurin planet ini. Apa yang ada disini terlalu bahaya,” jawab Danny mengenakan helmnya dan bersiap dengan senjata seperti anggota tim lainnya. “Bersiap di posisi masing-masing!”

Pintu dibuka.

Pintu pun terbuka. Dengan formasi yang telah diatur oleh Danny, Jikjin Team pun bergegas keluar dari pangkalan, mengingat waktu mereka hanya sepuluh menit sebelum ledakan dari dalam pangkalan terjadi.

Baru berjalan ratusan meter keluar dari pangkalan. Rombongan monster terlihat menyerbu ke arah mereka. “Mereka datang!” teriak David di barisan depan.

“Tembak!” Danny memberi perintah dan pertempuran di mulai. Dengan senjata yang mereka miliki, mereka pun menembaki monster yang berdatangan ke arah mereka, sembari terus berjalan ke arah pesawat mereka.

“Sialan. Kenapa jumlah mereka banyak banget?!” umpat Jun nyaris kewalahan menembaki monster di hadapannya yang tak ada habisnya itu.

Tiba-tiba ledakan pun terjadi.

Planet 7812 bergetar hebat. Ledakan dari pangkalan berhasil menyebabkan gempa. Tak hanya itu perlahan daratan planet 7812 mulai terbelah. Danny kembali berteriak memimpin mereka. “Lari!!”

Mereka pun mempercepat langkah mereka berlari sembari menembaki monster-monster yang mendekat, saling melindungi satu sama lain dengan senjata mereka.

“Argh!” Teriakan Jazztin tiba-tiba terdengar. Apesnya, kaki Jazztin ditarik oleh salah satu tentakel monster ungu itu dan membuatnya terjatuh.

“Jazztin!” Haru dengan sigap berlari ke arahnya. Sayangnya, hal itu malah membuatnya terkena serangan si monster ungu. Tentakel monster menusuk dada Haru dari belakang dan membuat Haru mengeluarkan darah dari mulutnya. “Argh..”

“Haru!!” Jazztin panik melihat Haru terkena serangan monster.

“L-lari, Jaz.. Lari!” Dengan kekuatannya yang tersisa, Haru mendorong Jazztin menjauh darinya. Sayangnya, melihat kembarannya sekarat di hadapannya membuat Jazztin membeku kehilangan fokusnya dan menangis.

“Haru..” Jazztin terus menangis di balik helmnya. Ia memegang erat kedua lengan kembarannya itu tak ingin kehilangan Haru.

Danny datang dan menarik paksa Jazztin untuk tetap berlari bersama rombongan tim lainnya. “Jazztin! Ayo!” teriaknya terus menarik Jazztin yang agak sulit meninggalkan Haru begitu saja. Pada akhirnya, Jazztin pun bangkit dan berlari bersama Danny.

Tubuh Haru tergeletak begitu saja kehilangan nyawanya setelah terkena serangan monster itu. Jazztin masih menangis, tak kuasa menahan kesedihannya tapi dia harus terus berlari bersama yang lain.

Beberapa kali beberapa anggota terjatuh karena guncangan hebat dataran planet karena ledakan tersebut. Sebagian planet telah hancur dan ikut mengejar mereka, selain monster-monster ungu itu.

Danny bersama 10 anggota tersisa terus berlari menuju pesawat mereka. Kyle yang berada di barisan belakang sengaja memperlambat larinya. Dia mengerahkan segala kekuatannya untuk membunuh monster-monster yang mendekat. “Sialan. Banyak banget lagi!”

“Kyle! Ayo!!” teriak Danny mundur dan menarik Kyle.

Sayangnya, Kyle malah menepis tangannya dan masih fokus menembaki monster-monster yang mengarah di depannya. “Lo pergi aja sama yang lain!”

“Lo gila! Ga mungkin gue ninggalin lo!”

“Pergi, Kapten!” teriak Kyle menoleh ke arah Danny.

“Kyle..”

Kedua mata Kyle sudah berair. Sekuat mungkin dia menahan air matanya, masih berusaha menembaki monster-monster itu. “Sorry. Ini semua salah gue. Seharusnya gue ga ngirim sinyal ke kalian. Kalian semua dalam bahaya karena gue. Haru tewas juga karena gue. Sorry,” ujar Kyle penuh penyesalan.

Danny menggeleng, menyanggahnya. “Engga. Ini bukan salah lo. Ayo!” teriak Danny terus memaksa Kyle pergi dengannya.

“Lo harus bawa yang lain pulang, Kapten,” pinta Kyle menatap Danny dengan tatapan putus asa.

Mau tak mau akhirnya, Danny meninggalkan Kyle, menyusul yang lain lebih dulu. “Lo harus nyusul kita! Oke?” teriak Danny seraya berlari dan menembaki monster-monster yang datang mendekat dari arah lain.

Melihat Danny yang sudah berlari dengan rombongan tim lainnya, Kyle pun memfokuskan diri untuk membunuh semua monster-monster ini, melindungi anggota timnya. “Mati semua lo, bajingan!!” teriak Kyle meluapkan emosinya, menembaki semua monster dengan satu-satunya senjata yang ia miliki.

Meskipun begitu, keberuntungan tidak berpihak padanya. Tiba-tiba saja, pelurunya habis di tengah jalan. Kyle mengumpat sembari mengisi peluru dengan cepat. Sayangnya, serangan para monster tersebut lebih cepat dibanding pergerakannya.

Dua tentakel langsung menusuk dada Kyle sampai menembus ke belakang. Tubuh Kyle pun ambruk begitu mulutnya mengeluarkan darah dan dadanya terluka parah karena tepat sasaran mengenai jantungnya.

Kyle pun gugur, menyusul Haru, bukan menyusul teman-temannya yang lain.

Akhirnya anggota tim lainnya telah sampai di pesawat. Jaden membantu John membawa Kevin masuk ke dalam pesawat, disusul anggota lainnya. Danny menghentikan langkahnya, ia menoleh ke belakang, menunggu kedatangan Kyle. “Kyle?”

Sayangnya, sosok Kyle sudah tak terlihat lagi di belakang. Danny tidak ingin menerima kenyataan bahwa sudah ada dua anggota timnya yang gugur. Dia berharap Kyle bertahan dan menyusulnya, namun Kyle tak kunjung terlihat padahal guncangan di planet ini semakin besar.

“Kapten! Ayo!!” teriak Jun membuyarkan lamunannya. Semua astronot yang tersisa sudah masuk ke dalam pesawat, hanya dia lah yang tertinggal.

Dengan berat hati, Danny menyusul masuk ke dalam pesawat. Dengan bantuan, Jun dan David, mereka menutup pintu pesawat. “Sial! Pintunya ga bisa ditutup!” teriak David panik, terlebih mesin sudah menyala. Jika pintu tidak tertutup, akan berbahaya bagi para penumpang.

Secara mengejutkan, Jun membuka pintu dan melompat turun. “Jun!” teriak Danny terkejut setengah mati.

Jun menutup pintu dari dalam dan menguncinya dengan aman. Anggota lain yang melihat aksinya itu tak kuasa membiarkan Jun berada di luar pesawat, terlebih Danny. “Lo ngapain?! Buka pintunya!”

“Harus ada orang yang nutup pintunya dari luar.” Jun yang sudah tahu bahwa pintu tersebut rusak karena pendaratan darurat awal datang ke planet ini tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Ia rela mengorbankan dirinya sendiri.

Jun menatap Danny dari jendela di pintu pesawat dengan senyum sedihnya. “Sorry, gue ga bisa pulang bareng kalian.”

“Jun! Jun, jangan gila gue mohon!!” Danny berteriak di belakang pintu, berusaha mencoba membuka pintu, sayangnya Jun sudah lebih dulu menguncinya dari luar. Ia malah berbalik dan kembali menembaki monster-monster yang datang ke arahnya.

Pesawat siap lepas landas.

Hingga akhirnya, pesawat pun lepas landas, meninggalkan Jun yang masih bertarung dengan monster-monster itu sendirian di luar sana. Danny memukul pintu berkali-kali menyalahkan dirinya atas ketiga anggota yang telah gugur, mengutuk dirinya sendiri sebagai kapten yang buruk.

Suasana di dalam pesawat menghening. Jazztin masih menangis setelah kehilangan kembarannya. David dan Sam yang juga tak bisa menahan air matanya begitu kehilangan tiga rekan timnya itu.

“Kevin, maafin gue.” Jaden berjongkok di sisi Kevin yang terlihat pucat pasi itu. Ia meraih tangan kanan Kevin dan terasa amat dingin.

Kevin menatap Jaden perlahan, dengan kedua matanya yang layu. “Lo bener.. Gue berterima kasih ke lo karena sampai di akhir hayat gue, gue masih jadi manusia. Bukan berubah jadi monster mengerikan.”

“Bang..” Sam mendekat. Ia memeriksa kondisi tubuh Kevin melalui monitor di lengan pakaian Kevin dan menemukan kondisinya sangat menurun drastis. Dia benar-benar sekarat karena kehilangan banyak darah.

Kevin kesulitan bernapas. Ia menatap satu persatu teman-temannya yang tersisa. “Gue.. minta maaf.. Gue ga bermaksud khianatin kalian..”

Danny menghapus air matanya dan bergegas menghampiri Kevin. Diraihnya tangan kanan Kevin dan ia genggam kuat, tak mau ada anggota yang gugur lagi. “Kevin, liat gue. Gue mau lo bertahan sedikit lagi. Oke?”

Bukannya menjawab, Kevin malah menatap Danny dengan tatapan bersalah. “Kapten.. Maafin gue.. karena udah nuduh lo.. yang engga-engga..”

Kepala Danny mengangguk dengan cepat. “Iya, gue tahu. Tapi gue mau lo tetep sama kita. Oke? Gue mohon, Vin.” Sebisa mungkin ia menahan air mata di pelupuknya, tetap saja usahanya gagal. Air matanya terus membanjiri pipinya.

“Maafin gue..”

Detik berikutnya, Kevin memejamkan matanya dengan damai, tanpa merasa kesakitan lagi. Sam menemukan detak jantung Kevin berhenti dari layar monitor. Ia menundukkan kepalanya, tak kuasa melepaskan kepergian temannya lagi.

Bersamaan dengan kepergiaan Kevin, suara ledakan keras berasal dari Planet 7812 yang mereka tinggali. Planet itu hancur berantakan menjadi potongan-potongan kecil. Hal itu menyebabkan pesawat sedikit mengalami guncangan.

Empat anggota telah gugur, menyisakan delapan anggota yang tidak bisa melakukan apapun selain menangisi empat anggota tersebut. Danny tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri atas hal ini.

“Kapten..” John yang memegang penuh kendali pesawat memanggil Danny di tengah suasana berduka itu. Danny menghapus air matanya dan mendekati John di kursi pilot.

John menunjukkan monitor yang memantau kondisi sekitar dan menemukan meteor yang ditemukan di Planet 7812 dilepaskan. “Meteor buatannya berhasil dilepasin dan itu mengarah ke bumi. Kita harus gimana?”

Danny kembali memutar otaknya. Ia membalikkan tubuhnya, menatap satu persatu anggota timnya yang masih dalam keadaan berduka itu. Danny menundukkan kepalanya, merasa bersalah. “Guys, maafin gue.”

Tiba-tiba saja Danny memutar stir pesawat dan ke arah meteor itu melaju, senjaga menabrakkan pesawat pada meteor tersebut. Sebuah tabrakan besar antara pesawat luar angkasa Jikjin Team dan meteor buatan tersebut tak bisa dihindari.

BAAAAAMMMMM!!

[]

Rumor bahwa Planet 7812 memiliki lautan berlian benar adanya. Kevin terpaku sejenak melihat lautan berlian tersebut ada di depan matanya. Berkat arahan dari Mr. Yang akhirnya dia menemukan lautan berlian yang letaknya tak jauh dari pangkalan.

Benar, dia meninggalkan pangkalan diam-diam, tanpa sepengetahuan rekan timnya dan mematikan sistem komunikasi yang terhubung dengan timnya. Tanpa sepengetahuan timnya, Kevin memiliki misi tersendiri dan bersifat rahasia, yaitu membawakan satu berlian ke bumi.

Mr. Yang sudah memperingatinya bahwa berlian itu cukup berbahaya dan harus berhati-hati ketika memegangnya. Oleh karenanya, Kevin mengambilnya dengan hati-hati. Tangannya terlindungi sarung tangan sebagai pelengkap pakaian astronotnya.

“Gue bisa kaya kalo gini caranya,” guman Kevin memandangi berlian tersebut. Berlian tersebut tidak seperti berlian pada umumnya, ukurannya lebih besar yang lebih besar dari kepalan tangan orang dewasa. Pantas saja harga jualannya sangatlah tinggi. Ia pun membungkus berlian berharga tersebut menggunakan kain sutra dan menyimpannya dengan baik bersamanya.

Sebelum teman-temannya curiga akan ketidakhadirannya, Kevin pun memutuskan untuk bergegas kembali ke pangkalan. Ia bangkit dari posisinya dan berjalan kembali ke dalam pangkalan sembari menyembunyikan berlian yang telah ia ambil.

Tiba-tiba saja, Kevin merasakan sesuatu mendatanginya dari ujung lautan sana. Dia menoleh dan kedua matanya terbelak begitu melihatnya.

“Sialan.”

Di pangkalan, tim yang berjaga di ruang kendali masih berusaha mengirim sinyal dan menghubungi pusat, meskipun hasilnya masih sama. John menghela pelan, dia rasa dia hampir menyerah. Meskipun begitu, ia tetap berusaha, sembari melihat keadaan sekeliling planet menggunakan kamera pendeteksi yang terpasang di menara atas pangkalan.

“Kyle,” Jun menoleh ke Kyle yang duduk di sampingnya, yang sibuk mengotak-atik monitor di hadapannya itu.

“Hm?”

Sedari tadi, Jun kepikiran dengan perkataan Kyle di pesawat. Oleh karenanya, ia pun bertanya. “Lo tadi di pesawat bilang ada penghuni planet ini, kan? Terus maksud lo yang monster itu apaan?”

Pertanyaan Jun membuat Kyle terdiam. Ia menghela pelan, sebelum akhirnya menjawabnya. “Ini ulah Professor Choi.”

Begitu nama Professor Choi disebut, Danny yang sedari tadi sibuk dengan pekerjaannya pun menoleh. Alhasil, ia jadi ikut menyimak cerita Kyle karena dia pun masih penasaran dengan sosok Professor Choi.

“Ada lautan berlian ga jauh dari pangkalan. Professor Choi adalah orang pertama yang nemuin itu. Setelahnya ada banyak astronot yang berbondong-bondong dateng ke planet ini cuma buat ambil berlian itu. Karena kalo dijual di bumi, harganya bisa beli satu negara. Professor Choi marah karena dia merasa lautan itu punya dia dan akhirnya dia buat eksperimen dimana melapisi lautan berlian itu dengan cairan berbahaya.”

Kening Jun mengernyit, tak mengerti. “Cairan berbahaya?”

“Gue ga tahu cairan apa pastinya. Tapi cairan itu bisa bikin orang yang nyentuh berlian jadi monster,” jawab Kyle dengan wajahnya yang serius itu.

“Lo pernah liat wujud monsternya?” tanya Jun masih penasaran. Kyle mengangguk. Tentu saja dia pernah melihat wujudnya, karena Kyle dan Alcio hampir mati karena diserang mereka.

“Posturnya sama kaya manusia. Bentuk tubuhnya milik alien dan kulitnya berwarna ungu. Tangannya mirip tentakel yang bisa memanjang dan tajam banget. Mereka bisa bernapas di planet ini tanpa oksigen,” jelasnya.

Kyle mengangkat pandangannya, menatap Jun serius. “Dan penghuni-penghuni di planet ini adalah orang-orang serakah yang ingin kaya dari berlian itu. Termasuk, Professor Choi.”

Bukan hanya Jun yang terkejut, namun Danny yang mendengarnya pun ikut terkejut. “Jadi maksud lo, Professor Choi berubah jadi monster juga?” tanya Danny setengah tak percaya.

Kyle menganggukkan kepalanya. “Karena dia cuma mau melindungi berlian-berliannya aja. Dia ga akan biarin orang-orang dari bumi dateng buat ambil berlian itu.”

Mendengar cerita Kyle, suasana berubah menjadi serius dan tegang. Fakta bahwa ada makhluk berbahaya di planet ini membuat mereka cemas, terlebih Danny. Ia yakin anggota tim lainnya pasti akan panik jika tahu hal ini.

Kyle berdeham pelan, berusaha mengembalikan situasi kembali. “Tapi gue yakin kok guys, selama kita ga sentuh berlian itu, mereka pasti ga bakal nyerang kita.”

“Kapten! Liat ini!” teriak John tiba-tiba, mengejutkan Danny, Jun dan Kyle. Sedari tadi, John tidak fokus ke pembicaraan ketiganya karena sibuk memeriksa sisi planet dan menemukan sesuatu yang mengejutkan.

“Hah? Apaan tuh?” Jun mengernyit menemukan benda besar di sisi planet.

“Kayak meteor ga sih?” tanya Kyle memastikan.

Kening Danny mengernyit. “Meteor buatan?”

Jun berdecak pelan. “Tapi siapa anjir yang buat meteor buatan di planet ini?”

Dengan serempak, Danny, Jun dan Kyle saling bertatapan satu sama lain dan menyebut satu nama bersamaan. “Professor Choi!”

Meskipun begitu, Jun masih saja tidak mengerti. “Tapi kenapa dia buat meteor juga di sini?”

Tiba-tiba, sebuah sinyal bahaya masuk ke dalam monitor sistem komunikasi di pakaian mereka. Sinyal tersebut dikirimkan oleh Kevin. Hal itu mengundang rekan-rekan tim lainnya langsung berlari dan berkumpul di ruang kendali.

“Kevin dalam bahaya!” teriak David begitu masuk ke dalam ruang kendala.

Arthur ikut berbicara. “Dia ada di luar pangkalan sekarang, Kapten.”

Danny mencoba melacak posisi Kevin melalui monitor di lengan pakaiannya. “Dia menuju kesini. Kita keluar sekarang!” teriaknya memberi perintah. Satu perintah dari Danny seketika membuat rekan timnya bergerak dengan senjata mereka.

Sebelum berlari bersama yang lain, Danny pun mengutus dua orang untuk berjaga. “John dan Sam tetap disini! Sam tetap jaga Cio!”

“Siap, Kapten!” jawab John dan Sam bersamaan.

Delapan astronot sudah siap dengan senjata mereka. Tak lupa mereka harus memakai helm mereka kembali karena pintu pangkalan akan dibuka untuk menyelamatkan Kevin yang dalam bahaya di luar sana. Mereka berdiri di belakang pintu, menunggu perintah lanjutan dari kapten mereka.

“Kayaknya Kevin dikejar sesuatu,” guman Jaden ketika memeriksa posisi Kevin. Ada makhluk lain yang terdeteksi di monitor dan mengejar Kevin.

“Jangan-jangan bener ada monster di planet ini,” celetuk Jazztin berubah cemas. Jun, Kyle dan Danny yang mendengarnya hanya terdiam. Situasi seperti ini tidak cocok untuk menceritakan perihal monster-monster itu.

“Kevin ada di jarak 100 meter!” seru Haru melaporkan posisi Kevin.

“Bersiap di posisi masing-masing, guys!” Danny memberi perintah. Jun, Arthur, Jazztin dan Kyle seketika berlutut di barisan depan, siap dengan senjata mereka. Sedangkan Danny, Haru, David dan Jaden berdiri di barisan belakang, juga bersiap dengan senjata.

Danny memberikan anggukan kecil pada David, memberi perintah berbentuk isyarat untuk membuka pintu pangkalan. David pun menemukan tombol yang kemudian membuat pintu terbuka pelahan.

Pintu dibuka.

Selain Kyle yang belum pernah melihat wujud monster alien itu terkejut begitu menemukan betapa mengerikannya wujud mereka. Haru mengumpat perlahan. “What the hell, makhluk apaan mereka?”

Wujud mereka persis seperti yang Kyle ceritakan. Mereka berlari dengan cepat layaknya manusia berlari di bumi, sedangkan Kevin kesulitan melarikan diri karena tidak adanya gravitasi. Belum lagi tentakel monster tersebut yang memanjang beberapa kali, siap menyerang Kevin dari belakang.

“Tembak!” seru Danny memberi perintah. Dengan senjata mereka, kedelapan astronot mulai menembaki monster-monster yang mengejar Kevin. Senapan mereka bukanlah senapan biasa, namun senapan yang sudah didesain khusus untuk keselamatan luar angkasa.

Suara tembakan terus terdengar. Mereka terus menembaki monster-monster, di posisi masing-masing. Tiba-tiba, Jazztin kehabisan pelurunya dan mengumpat kesal. “Aish, sialan!”

Dengan cepat, Haru menggantikan posisi Jazztin di depan dan mengambil alih menembaki monster-monster tersebut dengan cepat.

Di tengah pertempuran mereka, ada David yang menembak di posisi terdekat dengan tombol pintu. Arthur menghentikan tembakannya. Dia bergerak maju, menjulurkan tangan siap menarik Kevin masuk ke dalam. “Kevin!”

Kevin mengerahkan segala kekuatannya untuk berlari lebih cepat dan meraih tangan Arthur. Detik berikutnya, Arthur segera menarik Kevin masuk ke dalam, keduanya jatuh bersamaan ke lantai. David pun langsung menutup kembali pintu pangkalan.

Pintu ditutup.

Begitu pintu tertutup, monster-monster yang tersisa itu berhenti di depan pangkalan dan pergi begitu saja. “Mereka langsung pergi,” lapor Jaden melihat monitornya.

Setelah situasi aman, mereka pun kembali membuka helm mereka. Napas mereka terengah-engah. Pertempuran barusan benar-benar mengerikan. Terlebih monster-monster tersebut yang berjumlah lebih banyak dari timnya, membuat situasi semakin mengerikan.

“Lo gapapa, Vin?” tanya Arthur bangkit dan menjulurkan tangannya untuk membantu sahabatnya itu berdiri.

Barang yang dibawa Kevin ikut jatuh bersamanya dan Jun lah yang menemukan itu. Melihat bentuk benda itu, Jun langsung tahu dari mana saja Kevin tadi. Tiba-tiba, dia memojokkan Kevin ke tembok dan mencengkram kerah pakaiannya. “Anjing! Lo pergi ke lautan berlian?!”

Sontak, seluruh perhatian tertuju pada Kevin. Danny menatap Kevin tak percaya. “Lo ngapain kesana? Dan kenapa lo ambil berlian itu?”

Kevin melepaskan cengkraman Jun dengan kasar. “Gue diperintahin sama Mr. Yang. Dia bilang bakal naikin gaji gue tiga kali lipat kalo gue berhasil ambil berlian itu. Gue cuma mau kaya, anjir!” teriaknya dengan jujur meskipun dengan emosi.

“Berlian itu bahaya, Bang!” teriak Kyle panik.

Danny benar-benar tak percaya Kevin melakukan itu. Dia menatap Kevin dengan tatapan terkhianati. “Lo lakuin itu karena gaji?”

Kevin menoleh ke arah Danny. Kemudian ia tersenyum sinis. “Bukan cuma gue doang, kan? Lo juga, Kapten.”

Perkataan Kevin membuat semua orang menoleh ke arah kapten mereka. Sedangkan yang dituduh tampak kebingungan.

“Dari awal lo tahu kalo ada monster aneh itu disini, kan? Tapi lo tetep jalanin misi ini dan bawa kita semua. Lo mau kita semua mati disini!!” teriak Kevin penuh emosi. Hal itu tentu saja membuat teman-teman lain terkejut.

“Lo ngomong apa, anjing!” Danny terpancing emosi dan langsung menarik kerah Kevin dengan kasar. “Gue cuma mau Kyle sama Cio pulang sama kita!”

Lagi-lagi, Kevin tersenyum sinis. “Yakin? Bukan karena lo mau dipromosiin jadi Kapten Tim Khusus? Gue udah denger, lo bakal ninggalin Jikjin Team dan dipromosiin ke jabatan yang lebih tinggi. Iya, kan?”

Anggota tim lain mulai menatap Danny dengan tatapan kecewa setelah mendengar ucapan Kevin. Kapten yang selama ini mereka percaya nyatanya pada akhirnya akan meninggalkan mereka dan membawa mereka ke misi berbahaya ini.

Danny melepas cengkraman kerah Kevin dan menatap anggota lain. “Gue ga pernah mikirin jabatan gue. Gue cuma mau tim kita balik berduabelas lagi,” ujarnya berharap mereka mempercayai ucapannya.

“Udah! Kita harus balikin berlian itu sekarang!” Kyle mengambil berlian tersebut dengan hati-hati dan memakai sarung tangannya.

“Apaan anjing! Ini punya gue!” Kevin tidak terima berliannya diambil dan langsung merebutnya menggunakan satu tangan yang memakai sarung tangan itu.

Tak hanya Kevin, Kyle pun tetap ngotot merebutnya, mencoba memperbaiki situasi yang mulai kacau ini. “Bang! Kita semua dalam bahaya kalo ambil berlian itu!” teriaknya merebutnya dari tangan Kevin.

“Tapi ini punya gue!” Kevin benar-benar tak mau melepaskan berliannya.

Hingga di tengah perebutan berlian itu, Kevin tidak sengaja mengambil berlian tersebut dengan tangan kosong tanpa sarung tangan. “Argh!” teriaknya seketika merasakan sakit di pergelangan tangannya dan menjatuhkan berlian di tangan.

“Kevin!” Yang lain berteriak panik begitu Kevin berteriak kesakitan. Mereka sama-sama melihat bagaimana tangan kiri Kevin berubah warna menjadi ungu mulai dari jari-jari tangannya.

Tiba-tiba saja, Jaden mengeluarkan pedang berukuran sebagai senjata cadangan mereka dan memotong pergelangan tangan Kevin begitu saja. Tentunya hal itu mengejutkan semua orang, terlebih ketika darah segar mengucur deras dari tangan Kevin.

“ARGHH!!” Kevin semakin berteriak kesakitan setelah kehilangan tangan kirinya.

Fuck, Jaden!” Jun mendorong Jaden kasar. “Anjing! Lo ngapain?!”

Tatapan Jaden tampak kalut namun dia masih dapat menjawab dengan jelas. “Kita ga bisa biarin dia berubah jadi monster kaya mereka!”

“Gue udah denger ceritanya. Kalo monster-monster itu aslinya manusia yang berubah karena keserakahan mereka, kan? Terus gimana bisa kita biarin Kevin berubah kayak mereka, Jun?!” teriaknya terpancing emosi.

“Gila lo!” balas Jun ikut berteriak.

Dengan panik, Arthur dan Haru langsung membantu Kevin berdiri dan membawanya ke ruang kesehatan. Arthur memanggil Sam dengan panik melihat sahabatnya terluka parah seperti itu. “Sam!”

“Bang Kevin!” Sam yang tak tahu apa yang terjadi pun terkejut melihat keadaan Kevin.

“Argh.. Tangan gue..” Kevin terus mengerang kesakitan dan menangis begitu dibantu Arthur dibaringkan ke kasur sebelah Alcio berbaring. Dengan cepat, Sam langsung melakukan pertolongan pertama dan sebisa mungkin menghentikan pendarahan.

Yang lain berdiri di luar ruang kesehatan. Jun menarik rambutnya frustasi. Situasinya benar-benar kacau. “Kita harus gimana, sekarang?”

Belum selesai dengan situasi seperti ini, tiba-tiba saja John berteriak dari ruang kendali. “Kapten!”

Danny bersama yang lain langsung berlari ke ruang kendali dan menghampiri John di depan monitor. John menunjukkan pada mereka bahwa ada makhluk yang bergerak menyerbu pangkalan. Tidak lain tidak bukan adalah monster-monster tadi.

“Sial,” umpat Danny semakin frustasi.

Selain Danny, tentunya ada anggota lain yang sama-sama frustasi, panik dan cemas di satu waktu. Jun menghela pelan. “Mereka dateng nyerang pangkalan dan jumlahnya makin banyak. Kita bakalan tetep disini?” tanyanya pada Danny.

Sam berlari ke arah mereka dan melapor pada Danny dengan wajah paniknya. “Kapten, kita harus bawa Bang Kelvin pulang ke bumi. Kalo engga, dia bakal kehabisan darah disini.”

Mengambil keputusan bukanlah sebuah hal yang mudah. Danny sebagai kapten harus mengambil keputusan tanpa membahayakan rekan timnya. Ia memutar otaknya, mempertimbangkan Kevin yang bisa saja mati karena kehabisan darah dan Alcio yang juga terluka parah.

“Kita pulang sekarang.”

David terkejut mendengar keputusan kaptennya itu. “Terus gimana sama hujan meteornya?”

“Kita bisa coba hindarin hujan meteornya. Yang terpenting sekarang adalah pergi dari sini. Kita harus pulang,” ujar Danny tegas. Sisi kepemimpinannya terlihat sangat jelas di situasi-situasi seperti ini.

Seperti biasa, Danny pun membagi tugas timnya. “Kita bagi tim. John dan Sam bantu bawa Kevin sama Cio. Gue sama David pimpin barisan di depan. Haru sama Jazztin di sayap kanan. Jaden sama Arthur di sayap kiri. Jun sama Kyle di barisan belakang. Kita harus balik ke pesawat dan pulang.”

Tidak ada balasan dari teman-teman satu timnya, hanya Sam dan John yang mengangguk paham. Danny menjulurkan tangannya, mengajak mereka berteriak slogan sebelum melakukan misi terbilang berbahaya ini.

Sayangnya, teman-temannya malah diam di tempat. John dan Sam yang tak mengerti apa yang terjadi disini sampai kebingungan. Danny menghela pelan, dia tahu teman-temannya pasti kecewa padanya karena tuduhan Kevin tadi.

Guys, gue beneran ga ada pikiran buat ninggalin tim ini cuma karena jabatan. Gue cuma mau kita tetep jadi satu tim, berduabelas dan pulang ke bumi. Ada keluarga yang nungguin kita pulang, yakan?” tanya Danny menatap satu persatu anggota timnya dengan tulus.

Bagi Danny, hanya Jikjin Team lah yang membuatnya merasa berada di sebuah keluarga. Jikjin Team bukan hanya tim dimana tempatnya bekerja, tetapi mereka menjadi keluarga keduanya.

Akhirnya, satu persatu dari mereka pun menumpuk tangan mereka di atas tangan Danny. Hal itu membuat Danny bersyukur karena masih diberi kepercayaan sebagai kapten. Bersama dengan sepuluh anggota tersisa, Danny pun memimpin slogan. “Jikjin Team!”

Twelve or nothing!”

[]

Pendaratan yang baik menandakan bahwa misi penyelamatan mereka pun dimulai. Danny menyuruh para anggotanya untuk membawa senjata masing-masing dan mempersiapkan diri mereka karena sebentar lagi mereka akan keluar dari pesawat.

“Tapi kenapa kita harus bawa senjata segala?” tanya Jazztin kebingungan. Meskipun begitu, Jazztin tetap mengambil beberapa senjata dan mempersiapkannya sesuai perintah Danny.

Danny menoleh ke arahnya. “Karena kita ga tahu apa aja yang ada di planet ini,” jawabnya dengan tenang. Setelah mengatakannya, Danny pun bergerak mengecek teman-temannya yang lain.

“Kok ngeri sih,” komentar Jazztin setengah berguman. Tubuhnya sampai bergidik ngeri, membayangkan makhluk-makhluk aneh mungkin hidup di planet ini dan tentu saja mereka sudah pasti bukanlah orang seperti para astronot.

Ketakutannya berhasil membuat tubuhnya mematung. Tiba-tiba, secara mengejutkan, Haru mengambil helm Jazztin dan memakaikannya di kepala kembarannya itu. Jazztin mengangkat kepalanya, menatap kembarannya itu dengan cemas. “Lo ga bakal ninggalin gue, kan?”

Di balik helmnya, terlihat Haru tersenyum. “Ga bakal. Udah gue bilang, gue bakal ada di belakang lo. Jadi ga usah khawatir.” Dia memukul helm Jazztin pelan setelah kembarannya itu selesai memakai perlengkapannya.

Setelah mempersiapkan segalanya, Danny kembali mengumpulkan para anggotanya sebelum melaksanakan tugas mereka. “Oke, guys. Jadi misi penyelamatan ini akan dimulai. Kita harus inget bahwa misi penyelamatan harus diselesaikan dalam waktu 24 jam. Fokus utama misi kita adalah mencari keberadaan Alcio dan Kyle lalu membawa mereka pulang. Sebelum 24 jam kita harus udah balik ke pesawat ini lagi? Bisa dimengerti?”

“Siap, kapten!” jawab para anggota lain dengan kompak.

“Untuk cari Cio sama Kyle, gue bakal bagi jadi tiga tim.” Danny pun mulai membagi tim sesuai peranan masing-masing anggota. “Jun, David, John sama Sam bergabung jadi Tim Satu. Arthur, Kevin sama Jazztin di Tim Dua. Terakhir, gue, Jaden sama Haru di Tim Tiga.”

Jazztin yang mengetahui bahwa dia dipisah dengan saudara kembaranya itu pun langsung protes. “Kok gue sama Haru dipisah?”

Semua orang langsung menoleh ke arah Jazztin. Haru menjadi tidak enak, terlebih lagi tatapan Danny yang perlahan menegas. Dia memukul lengan Jazztin dan mengomelinya. “Biar kita bisa nemuin Bang Cio sama Bang Kyle lebih gampang. Bisa ga sih lo dengerin kata kapten aja?”

Sayangnya, Jazztin terus saja protes. “Ga bisa. Katanya lo bakal ada di belakang gue terus.” Dia menoleh ke arah Danny, berharap Danny mengubah pembagian tim namun yang ada dia malah menemukan tatapan tajam kaptennya itu. Hingga mau tak mau, Jazztin menerimanya. “Ya udah, iya.”

Setelah tidak ada yang protes, Danny pun kembali berbicara dan memberikan arahan dengan jelas pada anggotanya. “Tim Satu bergerak duluan ke sebelah selatan. Tim Dua ke sebelah barat. Gue sama Tim Tiga ke sebelah timur.”

“Dan inget, selalu perhatiin level oksigen kalian di status pakaian. Jangan sampai kalian kehabisan oksigen. Kalo oksigen kalian udah mau habis, segera pergi ke Pangkalan Riset TASA, letaknya ga jauh dari sini. Dan jangan pernah matiin sistem komunikasi kalian,” perintah Danny pada kesembilan anggota lainnya.

“Siap, Kapten.”

Begitu arahan dari kapten mereka dapat diterima, mereka pun berkumpul di belakang pintu pesawat dan bersiap keluar. Haru menepuk pundak Jazztin yang terlihat lesu dan cemas. “Ga bakal kenapa-napa, nyet. Ada Bang Arthur sama Bang Kevin, jadi lo ga bakal kenapa-napa. Kalo mereka udah ketemu, kita pasti bakal bareng lagi,” ujarnya berusaha menyakinkan kembarannya itu.

Jazztin menghela pelan. Dia menatap Haru dan mengangguk, mencoba mengiyakannya meskipun dengan berat hati. Dia ingat bahwa bagaimanapun dia tidak boleh egois karena misi ini juga untuk kepentingan bersama bukan hanya untuk dirinya dan kembarannya.

Dikarenakan pendaratan darurat yang mereka lalui sebelumnya, hal itu berimbas pada sistem pintu pesawat yang kesulitan dibuka. Jaden melapor pada Danny. “Pintunya ga bisa dibuka. Kayaknya harus didobrak.”

“Tapi kalo sampai rusak terus ga bisa ditutup lagi gimana?” tanya Sam khawatir.

“Kita coba dulu dobrak pintunya,” titah Danny. Jun dan John yang dinilai memiliki kekuatan tubuh yang paling besar diantara teman-temannya pun mencoba mendobrak pintu bersamaan, menggabungkan kekuatan mereka.

Pintu pesawat pun terbuka. Sebelum keluar, Danny yang memimpin Jikjin team menghubungi ruang kendali dan memberikan laporan pada mereka yang ada di bumi. “Jikjin Team siap melaksanakan misi penyelamatan.”

Begitu mengijakkan kaki mereka ke luar, tubuh mereka terasa lebih ringan dibandingkan berada di bumi karena tidak ada gravitasi disana. Jun keluar terakhir dan menutup pintu pesawat dari dalam. Dia merasa ada yang aneh dengan pintunya. “Ah.. Gue harap nih pintu ga kenapa-napa.”

Bergabungnya Jun dengan anggota tim lainnya, mereka pun mulai bergerak. Sesuai arahan Danny sebelumnya, mereka pun langsung berpisah menjadi tiga tim dan pergi ke arah yang sesuai dengan pembagian.

Di Tim Satu, Jun lah yang memimpin karena dia juga biasa menjadi ketua kedua setelah Danny. Mereka mencari keberadaan Alcio dan Kyle dengan menggunakan bantuan jejak sinyal yang ditinggalkan oleh keduanya.

Tiba-tiba, John yang sudah berjalan di depan menghentikan langkahnya. “Bang..”

Para anggota lainnya ikut memelankan langkah mereka dan saling bertatapan dengan kebingungan. Jun bergegas menyusul John untuk mencari tahu apa yang membuat John cukup terkejut seperti itu. “Kenapa?”

Jun, David dan Sam ikut menoleh ke arah yang dilihat oleh John dan sama terkejut sepertinya begitu menemukan pesawat Ace Team yang terlihat mengalami kerusakan parah. Sebelah sayapnya hancur dan bagian belakangnya terlihat seperti bekas terbakar. Bahkan mereka masih dapat melihat percikan-percikan listrik yang ditimbulkan oleh kabel sistem yang keluar dari badan pesawat.

Lantas bagaimana nasib Alcio dan Kyle?

Sebelum memeriksa masuk ke dalam, Jun memberikan laporan pada Danny melalui alat komunikasi di pakaian mereka. “Lapor, Kapten. Kita nemuin pesawat Cio dan Kyle, menunggu perintah.”

[Periksa ke dalam. Kita nyusul kesana,] balas Danny di seberang sana.

“Siap, Kapten.” Setelah menerima perintah dari kapten mereka, Jun memberi isyarat pada ketiga anggota tim lainnya untuk bergerak maju. Jun membagi Sam dan John berjaga dari arah depan, sedangkan dirinya dan David berjaga dari arah belakang.

Dengan mengangkat senjata mereka, sebagai upaya penjagaan, mereka pun memeriksa ke dalam pesawat tersebut. Kondisi di dalam pesawat cukup gelap dan tercium bau listrik yang terbakar. Mereka hanya menggunakan senter di senjata mereka sebagai pencahayaan.

Tiba-tiba, dari kegelapan, seseorang menyerang David. Anggota tim lainnya dikejutkan dengan David yang berteriak dari belakang. “Argh!”

“David!”

Serangan tersebut tidak sengaja membuat sistem komunikasi mereka terputus dan menghilangkan sinyal mereka. Danny bersama dengan tim lainnya pun keheranan. Ia berusaha menghubungi Jun.

“Jun? Tim Satu? Tim Satu! Jawab gue!” teriak Danny, namun sayangnya tidak ada sahutan dari mereka. Hal itu pun membuat Danny khawatir, tentu saja.

“Sinyal mereka hilang,” celetuk Jaden yang berdiri di sebelah Danny.

“Ayo bergegas ke sana,” ajak Danny bergerak mendahului dua rekannya itu. Jaden dan Haru pun mengikuti Danny di belakang, masih dengan berjaga-jaga dengan senjata mereka. Mereka tidak boleh lengah sedikitpun.

Tim dua dan tim tiga akhirnya berkumpul di titik lokasi tim dua ditinggalkan sebelum akhirnya sinyal menghilang. Tim tiga menghampiri tim dua yang sampai di titik lokasi lebih dulu. Mereka mencari kesana kemari namun tak menemukan adanya jejak yang ditinggalkan oleh tim satu.

“Tim satu dimana?” tanya Danny langsung bertanya pada tim dua begitu mereka berkumpul. Sayangnya, tiga orang dari tim dua sama-sama menggelengkan kepala mereka.

“Kayaknya mereka udah masuk ke dalem pesawat deh,” jawab Kevin membuat rekan-rekan tim yang lain menoleh ke arah pesawat Ace Team.

Sama seperti tim dua sebelumnya, mereka pun dapat menemukan kerusakan parah di badan pesawat dengan mudah. Hal itu membuat Jaden berceletuk pelan.“Tapi pesawatnya udah rusak parah.”

“Coba kita periksa ke dalem,” perintah Danny bersiap dengan senjata di tangannya. Hal itu membuat rekan tim lainnya ikut bersiaga dengan senjata mereka masing-masing. Danny memimpin timnya bergerak perlahan dan penuh waspada ke dalam pesawat.

Di belakang, Jazztin dan Haru saling menghampiri satu sama lain. Haru tampak cemas dan bertanya pada kembarannya itu. “Lo gapapa, kan?” Jazztin mengangguk, mengiyakannya.

Di bawah pimpinan Danny, keenam astronot yang tersisa masuk ke dalam pesawat. Mereka saling menjaga satu sama lain. Arthur dan Kevin bersiaga di belakang sedangkan si kembar, Jazztin dan Haru bersiaga di sayap kanan kiri, lalu ada Jaden dan Danny yang berjalan di depan.

Keadaan di dalam pesawat terlihat gelap dan tidak ada satupun orang di dalam sana. Kerusakan yang tampak di badan pesawat rupanya memberikan kerusakan yang sama parahnya di dalam badan pesawat. Hal itu membuat Danny dan anak buahnya melangkah dengan hati-hati.

Tiba-tiba saja…

Seseorang menyerang Jazztin dari samping. Dengan hitungan detik, orang tersebut berhasil menjatuhkan senjata Jazztin, mengunci leher Jazztin dengan lengannya dan mencekiknya sembari menodongkan pistol di kepalanya.

“Jazztin!!” teriak Haru panik begitu menemukan kembarannya dalam bahaya.

Danny dan rekan tim lainnya langsung menodongkan senjata mereka ke orang yang menyerang Jazztin dan menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan. Danny mencoba tetap tenang, ia menatap Jazztin yang tampak ketakutan setengah mati. “Tenang. Gapapa,” bisik Danny hanya menggerakkan mulutnya tanpa bersuara.

Perlahan, Danny menurunkan senjatanya perlahan. Dia pun berusaha untuk bernegosiasi dengan orang tersebut, meskipun dirinya sendiri tidak tahu siapa dan dari mana dia berasal. “Saya tidak tahu anda siapa. Tapi kami datang dengan niat baik. Kami hanya ingin mencari teman-teman kami yang hilang,” ujarnya.

“Danny?”

Semua orang tentu saja terkejut begitu mendengar orang itu menyebutkan nama Danny. Danny mengernyitkan keningnya tak paham. Hingga akhirnya, orang yang menyerang Jazztin itu keluar dari kegelapan. Barulah mereka dapat mengetahui identitas orang tersebut.

“Kyle!!”

Ketujuh astronot pun berpelukan. Sudah sebulan mereka berpisah dengan Kyle dan akhirnya mereka dapat bertemu lagi. Kabar baiknya, Kyle ditemukan dengan keadaan baik-baik saja. Hal itu membuat rekan-rekannya yang lain lega.

Tentu saja Kyle melepaskan Jazztin. Tak hanya itu, dia juga mengembilkan senjata Jazztin yang ia jatuhkan tadi sebagai permintaan maaf. “Sorry, Jaz. Gue ga kenalin lo tadi. Gue juga ga bisa liat muka kalian dengan jelas.” Jazztin mengangguk, tidak mempermasalahkannya. Meskipun dia masih ketakutan karena ia mengira mungkin ini menjadi hari terakhirnya.

“Lo gapapa, kan?” tanya Danny memastikannya. Yang bisa ia lihat, Kyle tampak baik-baik saja. Pakaian astronot masih terpakai sempurna di tubuhnya lengkap dengan senjata miliknya, meskipun di wajah Kyle terlihat beberapa luka gores.

Kyle menatap satu persatu teman-temannya penuh haru. “Gue baik-baik aja. Terus Cio ada sama yang lain,” jawabnya seraya menunjukkan jalan menuju ruangan dimana teman-teman yang lain berada.

Kevin mengernyit tak mengerti ucapan Kyle. “Yang lain?”

Pertanyaan Kevin membuat Kyle yang telah berjalan beberapa langkah di depan mereka pun terhenti. Ia kembali menoleh ke belakang. “Jun, David, Sam sama John udah disini. Sam lagi ngobatin Cio.”

Tentu saja hal itu membuat teman-temannya terkejut mendengar perkataan Kyle. Jaden seketika langsung panik. “Dia sakit?”

Kyle pun membawa keenam teman lainnya ke dalam ruangan dimana Cio dan yang lain berada. Begitu masuk, mereka dapat melihat Cio yang tengah diobati Sam di ruangan tersendiri. Cio mengalami luka bakar yang parah di lengan kanan dan kaki kirinya. Wajahnya tampak pucat.

Di samping kabar buruk dimana Cio terluka parah, kabar baiknya adalah akhirnya mereka berduabelas dapat berkumpul kembali. Mereka benar-benar terharu karena usaha mereka kemari akhirnya membuat mereka kembali bersama.

“Setelah melakukan tugas dari Mr. Yang, kita diserang sama penghuni planet sampai buat pesawat kita rusak dan ga bisa balik. Cio terluka makanya gue berusaha kirim sinyal bantuan ke Alpha Team karena gue ga bisa ngobatin dia dan gue takut dia ga bisa bertahan,” jelas Kyle menceritakan apa yang terjadi pada mereka.

David mengernyitkan keningnya begitu mendengar penjelasan Kyle. “Bentar, bentar. Ada penghuni lain di planet ini?”

Kyle mengangguk. Wajahnya seketika berubah serius. “Iya. Mereka berbahaya. Mereka bukan manusia tapi juga bukan alien, ” Ia terhenti sejenak. Kedua matanya menatap satu persatu teman-temannya seakan mengirimkan tanda peringatan.

“Mereka monster.”

Tiba-tiba Sam berteriak panik. “Guys! Oksigennya Bang Cio udah mau habis.”

Danny bergerak menghampiri Alcio dan benar saja terlihat dari status di monitor pakaian Alcio bahwa oksigennya menipis. Kyle mengacak rambutnya frustasi. “Ah, sial. Udah ga ada persediaan oksigen lagi di pesawat ini.”

Danny memeriksa tingkat oksigen miliknya dan sepertinya tidak akan bertahan lama jika mereka tidak segera bergerak. Alhasil. Danny pun segera membuat keputusan. “Kita ke pangkalan TASA sekarang.”

Jun menoleh cepat. “Lo yakin kita bisa masuk? Bukannya itu udah lama ditutup ya?”

“Pasti bisa,” jawab Danny yakin.

“Kenapa ga langsung bawa pulang aja sih?” Jazztin menggerutu protes seperti anak kecil. Padahal dia bukan yang termuda disini. John yang merupakan anggota termuda saja diam saja, menurut pada perintah kaptennya.

Danny menghela pelan. “Masih hujan meteor, Jazz. Lo ga liat gimana kita tadi hampir gagal buat mendarat. Lagipula kita belum dapet sinyal dari Alpha Team. Kalo kita udah dapet sinyal dan dapat dipastiin perjalanan kita aman, kita langsung balik. Oke?”

Mau tak mau, Jazztin pun menerimanya. Ia menghela berat. Haru sebagai kembarannya yang tahu betul akan sifat Jazztin pun merangkulnya dan menepuk pundak Jazztin pelan. “Gapapa. Tenang aja.”

Melihat pertengkaran teman-temannya, Alcio pun merasa bersalah. “Sorry, guys. Gue bikin kalian dalam bahaya,” ujarnya dengan suaranya yang lemah. Terlihat dia benar-benar kesakitan karena luka yang didapatkannya.

Jaden tersenyum menenangkan Alcio. “Engga, Cio. Kita bakal pulang abis ini, kok. Tenang aja.”

“Ayo, guys!” Danny pun bergegas. Ia berjalan lebih dahulu memimpin pasukan, disusul Jun yang memimpin di depan.

Dengan bantuan John dan Sam, tubuh Alcio dibopong dan dibawa bersama mereka menuju Pangkalan TASA yang letaknya tak jauh dari tempat pesawat ini mendarat. “Bertahan sebentar ya, bang,” ujar Sam pada Alcio. Alcio pun mengangguk.

David, Kelvin dan Arthur berada di baris paling belakang, berjaga dengan senjata mereka dari arah belakang. Sedangkan Jaden, Kyle, Haru dan Jazztin berjaga di sayap kanan dan kiri. Mereka saling melindungi satu sama lain.

Setelah berjalan sekitar tiga puluh menit, mereka pun sampai di Pangkalan TASA, sebuah bangunan yang dibangun di tengah planet asing ini dengan ukuran yang cukup besar. Ada sesuatu yang sedang diteliti oleh TASA dari planet ini sehingga menjadi alasan kenapa pangkalan ini dibuat.

Danny yang berada di baris depan mencoba masuk ke dalam pangkalan dengan memasukkan kata sandi di pintu masuk Dengan mudah, pintu pun terbuka, dikarenakan Danny pernah masuk kemari bersama dengan tim lain, untuk misi yang berbeda pula.

Begitu masuk ke dalam tempat itu, Danny segera menyalakan sistem oksigen di tempat ini. Barulah sistem tersebut dinyalakan, tempat ini dipenuhi oleh oksigen sehingga dapat melepas helm mereka. Para astronot pun dapat bernapas dengan lega, terutama Alcio yang sudah bertahan sekuat mungkin sedari tadi dengan oksigen yang minim.

“Kita akan bagi tim buat meriksa tempat ini.” Danny menoleh ke arah si kembar dan menemukan Jazztin lebih dulu memeluk lengan Haru kuat, tak ingin dipisah lagi dengan kembarannya itu. Baik Danny maupun Haru sampai menggeleng melihat kelakuan Jazztin tersebut.

“Jaden, David, Jun dan Kyle periksa sisi kanan. Haru, Jazztin, Arthur, dan Kelvin periksa sisi kiri. Sisanya cari ruang kesehatan buat Cio.” Begitu perintah diterima, mereka pun bergegas bergerak sesuai dengan perintah Danny.

Tak lama setelah berkeliling pangkalan, akhirnya mereka menemukan ruang kesehatan. Alcio dibantu Sam dan John dibaringkan ke kasur. Sam bergegas mengambil alat-alat medis untuk mengobati luka Alcio.

“John, ikut gue. Kita cari ruangan pusat kendali. Kita harus segera hubungin Alpha Team,” ajak Danny menepuk pundak John.

“Siap, Kapten.”

Sebelum pergi, Danny menoleh ke arah Sam yang tampak sibuk mengurus Alcio dan lukanya. “Sam, gue tinggal gapapa, kan? Kalo ada masalah langsung kabarin gue atau yang lain, ya.”

“Siap, Kapten,” jawab Sam di tengah kesibukannya. Dia sampai tidak menoleh ke arah Danny dan John.

Danny dan John pun pergi ke ruang pusat kendali yang letaknya tak jauh dari ruang kesehatan. Begitu sampai di ruang tersebut, Danny segera memeriksa kondisi pangkalan melalui komputer-komputer di ruang kendali, memastikan tidak ada kebocoran apapun.

Di samping itu, John mengamati sekeliling dengan berdecak pelan. “Pangkalannya keliatan masih bersih dan baru. Tapi kemana ga ada orang, ya bang?”

“Udah lama ga ada tim yang ditugasin kesini. Terakhir, Cio sama Kyle,” jawab Danny mengotak-atik komputer di depannya. Dia berusaha menghubungi Alpha Team dan mengirim sinyal pada mereka.

“Tadi Bang Kyle bilang kalo ada penghuni planet yang nyerang mereka. Apa mungkin planet ini berbahaya makanya tugas di planet ini diberhentiin?” tanya John dengan sifat keingintahuannya yang tinggi itu.

Danny tampak berpikir sejenak. “Gue juga ga tahu, John.”

John menoleh ke arah Danny, menatap kaptennya itu. “Kapten bukannya pernah kesini? Lo dulu ditugasin buat misi apa, bang?”

“Misi pencarian. Professor Choi hilang. Para atasan bilang dia lagi bikin eksperimen bahaya di planet ini, makanya kita cari. Tapi ga ada hasil. Professor Choi hilang gitu aja tanpa jejak,” jelas Danny. John pun hanya memanggut-manggut.

Setelah mencoba beberapa kali, Danny pun menyerah. “Kayaknya situasi luar masih bahaya buat balik ke Bumi. Kita juga masih belum bisa hubungin Alpha Team. Tapi kita masih punya waktu, kita tunggu sebentar lagi.”

“Kalau tetep ga bisa?”

Danny menoleh ke arah John dan berusaha memberikan kepercayaan pada anggota tim termudanya itu. Ia menepuk pundak John. “Kita coba cara lain.”

“Jaga disini, ya. Terus coba buat hubungin Alpha Team,” perintah Danny.

“Siap, Kapten.”

Setelah memberikan tugas pada John, Danny pun keluar dari ruang kendali. Di lorong, ia berpapasan dengan dua tim yang dibaginya untuk memeriksa pangkalan. “Udah diperiksa semua? Gimana hasilnya.”

“Aman,” lapor Jun, perwakilan dari tim yang memeriksa bagian kiri pangkalan.

Disusul Arthur, perwakilan dari tim yang memeriksa bagian kanan. “Aman juga, Kapten.” Danny mengangguk beberapa kali, menerima laporan mereka.

Tugas mereka belum berakhir begitu saja. Lagi-lagi, Danny membagi mereka tugas. “Jun sama Kyle temenin John disini. Gimana pun caranya kita harus coba buat hubungin Alpha Team. Haru sama Jazztin bantu jagain Alcio di ruang kesehatan. Sisanya, tetep keliling jaga pangkalan.”

Selesai membagi tugas, ia baru menyadari seseorang menghilang. “Kevin kemana?”

[]

Pesawat antariksa telah disiapkan. Dalam beberapa menit lagi, pesawat akan segera berangkat. Sebagian astronot yang diutus oleh Mr. Yang telah masuk ke dalam pesawat dengan menggunakan pakaian astronot beserta kelengkapannya. Begitu masuk, mereka mulai memeriksa bagian-bagian dalam pesawat dan memastikan perlengkapan mereka tidak ada kekurangan.

Mr. Yang berdiri di depan putranya, merapikan pakaian astronot yang dikenakan oleh putra satu-satunya itu. “Besok lusa, ibumu ulang tahun. Segera selesaikan tugasmu dan kembalilah dengan selamat. Mengerti, Kapten?”

Danny tersenyum, lalu mengangguk dengan yakin. “Aku pasti akan pulang. Jadi tunggu aja di rumah sama ibu. Bilang ke ibu jangan ngomel-ngomel terus.” Begitu mengatakannya, Danny memberi hormat pada ayahnya itu.

“Kapten Danny, siap melaksanakan tugas!” serunya dengan lantang. Mr. Yang tersenyum menatap putranya. Ia mengangguk dan membiarkan Danny bergegas masuk ke dalam pesawat karena harus segera berangkat.

Danny, sebagai kapten tim Jikjin pun bergabung dengan anak buahnya yang sudah lengkap tersebut. Ia mengumpulkan anak buahnya. “Hari ini kita bakal lakuin misi ini bareng-bareng buat jemput Cio sama Kyle. Gue harap kita bisa bekerja sama dengan baik supaya misi ini bisa diselesaikan dan Cio dan Kyle bisa pulang bareng kita.”

Danny menatap satu persatu anggotanya dengan menaruh kepercayaan dan harapan yang tinggi pada mereka. “Apapun yang terjadi nantinya, gue cuma mau kita balik bareng berdua belas,” ujarnya menegaskan hal itu. Kemudian dia menjulurkan tangannya dan mengajak para anggotanya untuk bersorak sebelum menjalankan misi mereka. “Are you ready, guys?”

Satu persatu anggota Jikjin Team menumpuk sebelah tangan mereka di atas tangan Danny dan siap bersorak. Danny tersenyum lebar dan memimpin jargon mereka yang telah dibuatkan Jazztin sehari sebelum keberangkatan mereka. “Jikjin Team?”

Twelve or Nothing!!” teriak kesembilan anggota Jikjin Team penuh semangat.

Setelah mereka bersorak, pintu pesawat luar angkasa yang mereka tumpangi pun tertutup. Jun dan John bertugas sebagai pilot yang bertanggung jawab atas pengendalian pesawat Jikjin Team. Mereka sudah duduk di kursi pilot dan kopilot, siap meluncurkan pesawat mereka.

Sedangkan anggota lain, termasuk Danny pun duduk di kursi mereka masing-masing. Danny berjalan-jalan, memastikan para anggotanya telah duduk di kursi mereka dan memakai sabuk pengaman sebelum dirinya duduk di kursinya.

“Haru,” panggil Jazztin yang telah duduk di kursinya, memanggil Haru, saudara kembarnya, yang duduk di sampingnya.

Haru tidak terlalu memedulikan saudaranya itu karena sibuk memasang sabuk pengaman. Dia hanya menjawabnya sebatas berguman. “Hm?”

Jazztin menoleh ke arah Haru seraya menghela napas berat. “Jangan gugup gitu dong. Tenang aja, kita bakal baik-baik aja,” ujar Jazztin tiba-tiba pada Haru. Hal itu tentunya membuat Haru keheranan dengan sikap saudaranya itu.

Haru pun menoleh dan berdecak pelan. “Anjir lah. Siapa juga yang gugup? Lo tuh yang keliatan ketakutan.”

Benar saja, Jazztin tampak ketakutan dan duduk di kursinya dengan gelisah. “Keliatan banget ya?” tanyanya polos pada Haru. Apa yang dikatakan tadi pada Haru sebenarnya dikatakan untuk dirinya sendiri. Dia lah orang yang paling gugup di antara yang lain karena ini adalah misi pertamanya.

Haru hanya berdecak kesal dan membuang wajahnya. “Tolol.”

Tepat saat itu, Danny melewati kursi mereka. Dia berhenti ketika melihat Jazztin yang duduk dengan gelisah di kursinya, padahal sudah memakai sabuk pengaman. “Lo gapapa, Jaz? Keliatan pucet gitu,” tegur Danny mencemaskannya.

Jazztin kembali menghela napas berat dan malah bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Danny. “Kapten, kita bakal berhasil jalanin misi ini, kan? Kita bakal balik lagi ke Bumi, kan?”

Danny tersenyum. Kini dia tahu alasan kenapa Jazztin menjadi gelisah. Dia pun menepuk pundak Jazztin dan memberikan keyakinan padanya. “Pasti. Jadi lo tenang aja. Gue bakal pastiin kita berdua belas bisa balik lagi ke Bumi.”

Setidaknya, ucapan Danny yang menyakinkan itu pun berhasil membuat Jazztin tenang. Dia mengangguk dan membuang napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Setelahnya, Danny pun pergi ke kursinya. Haru menoleh ke arahnya setelah Danny pergi dan memanggil saudaranya itu. “Woy, bocil!”

Panggilan Haru itu membuat Jazztin berdecak kesal karena dia paling benci panggilan itu. Dia menoleh dan melirik tajam ke arah saudaranya itu. “Berhenti manggil gue bocil. Kita lahirnya cuma beda lima menit doang ya, njir!”

Haru hanya tersenyum tipis. Dia tidak membalas kekesalan Jazztin tersebut dan kembali berbicara. “Gue selalu ada di belakang lo, jadi ga usah takut,” ujar Haru dengan raut wajah datar seperti biasanya, namun ucapannya cukup menghangatkan hati.

Hal itu berhasil membuat Jazztin berdecak kesal sekali lagi, namun tak lama dia tersenyum tipis. “Ga usah berlagak jadi abang deh lo. Ngeselin banget, anjir.” Keluhan itu berhasil membuat Haru tertawa mendengarnya.

Begitulah hubungan dua saudara kembar ini. Mereka mungkin banyak bertengkar karena hal kecil, namun keduanya sama-sama tidak membiarkan saudara mereka sendirian dan dalam keadaan bahaya. Mereka akan saling melindungi satu sama lain.

Tepat lima menit sebelum keberangkatan mereka, melalui ruang kendali Alpha Team, Mr. Yang pun mengirimkan pesan pada kesepuluh anggota Jikjin Team. [Ini, saya Mr. Yang. Ingat, misi kalian hanya 24 jam. Lakukan misi penyelamatan dan kembali ke Bumi dengan selamat. Apakah perintah dapat diterima?]

“Siap. Perintah diterima.” Kesepuluh anggota Jikjin Team yang ditugaskan itu menjawabnya dengan kompak.

“Sistem pesawat telah diaktifkan. Satu menit sebelum lepas landas, semua anggota Jikjin Team silakan pakai helm kalian masing-masing,” ujar Jun dari kursi pilot yang cukup sibuk mengurus sistem di hadapannya bersama dengan John dan Arthur serta Jaden sebagai teknisi mesin di belakang mereka.

Meskipun bukan pertama kali mereka pergi ke luar angkasa, para anggota tentu saja merasa gugup dan cemas. Pikiran-pikiran penuh kekhawatiran tentu saja menghantui mereka. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apakah mereka bisa menyelesaikan misi ini?’ atau ‘apakah mereka dapat kembali ke Bumi dengan selamat?’ semacam itu cukup membuat mereka cemas.

Pesawat siap untuk lepas landas.

Mesin pesawat antariksa mereka mulai menyala dan bergerak perlahan. Posisi pesawat yang awalnya horizontal perlahan berubah menjadi vertikal dikarenakan dalam beberapa menit pesawat akan lepas landas dan meninggalkan bumi.

Suara sistem di dalam pesawat terdengar. “Hitung mundur dimulai. 10, 9, 8, 7, 6, 5, mesin utama menyala. 4, 3, 2, mesin vernier menyala. 1, lepas landas.”

Guncangan yang diakibatkan karena pergerakan pesawat mulai dirasakan. Jazztin orang yang paling gugup sampai memegangi kursinya dengan kuat dan memejamkan kedua matanya. Mulutnya tak berhenti berkomat-kamit, berdoa meminta keselamatan mereka.

Pesawat lepas landas dan meninggalkan bumi. Guncangan yang dirasakan oleh para anggota di dalam pesawat berangsur-angsur berkurang dikarenakan mereka semakin jauh dari bumi. Hingga kemudian, tubuh mereka terasa enteng dikarenakan mereka berhasil meninggalkan bumi dan memasuki luar angkasa.

Jun dan John melakukan pekerjaan mereka dengan baik hingga perjalanan pesawat stabil sampai detik ini. Tak lupa, Jun melapor kepada ruang kendali dimana dikendalikan oleh Alpha Team. “Jikjin Team berada di dalam orbit sesuai jadwal. Sekarang aku memegang kendali. Alihkan pada sisten navigasi otonom.”

[Dimengerti,] balas salah satu anggota Tim Alpha di ruang kendali.

“Navigasi otonom telah dikonfirmasi. Orbit dan kecepatan penerbangan, optimal.” Suara sistem dalam pesawat kembali terdengar. Para anggota setidaknya dalam bernapas lega karena perjalanan mereka di awal sudah stabil tanpa ada gangguan apapun.

Danny melepas sabuk pengamannya dan berjalan ke kursi pilot untuk memastikan perjalanan mereka pada Jun. “Butuh berapa lama kita sampai di orbit Planet 7812?”

“Sekitar 30 menit lagi,” jawab Jun masih fokus.

Danny menganggukkan kepalanya dan menyerahkan semuanya pada keduanya. Setelah memeriksa keadaan di bawah kendali pilot dan kopilot tim mereka, Danny pun pergi ke ruang penyimpanan perlengkapan. Dia memastikan kembali bahwa segala perlengkapan mereka sudahlah lengkap, mulai dari perlengkapan medis hingga senjata. Barulah setelah dia mengecek perlengkapan mereka, Danny kembali ke kursinya.

Belum sempat Danny duduk di kursinya kembali, tiba-tiba pesawat kembali mengalami guncangan hebat yang nyaris membuat Danny tersungkur jika saja dia tidak langsung berpegangan pada kursinya. Danny dan anggota lainnya dibuat panik.

Danny kembali ke kursi pilot untuk mencari tahu apa yang terjadi. “Kenapa?”

“Ada hujan meteor!” seru John panik. Dia bersama dengan Jun mulai kesulitan mengatur pesawat agar menghindari meteor-meteor yang datang dari depan mereka. Laporan yang diberikan John itu berhasil membuat anggota lain semakin panik, terlebih pesawat yang mulai terombang-ambing tidak teratur kesana-kemari.

“Sial! Sistem pengendalinya susah buat dikendaliin.” Jun berteriak frustasi karena pesawat sulit dikendalikan dan membuat kemungkina mereka tertabrak meteor semakin tinggi.

“Udah coba hubungi ruang kendali?” tanya Danny menoleh pada Arthur yang duduk di belakang Jun.

Arthur menggeleng panik. “Gabisa, Kapten. Ruang kendali susah buat dihubungi gara-gara hujan meteor ini,” jawabnya sedari tadi mengotak-atik sistem komunikasi mereka, namun tidak ada hasilnya.

“Terus coba hubungi ruang kendali dan kirim sinyal marabahaya,” perintah Danny pada Arthur.

Arthur mengangguk mengerti. “Siap, Kapten.”

“Butuh berapa lama lagi kita sampai ke orbit landasan?” tanya Danny kepada pilot mereka.

“Sepuluh menit.”

Danny mencoba memutar otaknya dengan cepat, mencari jalan keluar. Hingga akhirnya dia menemukan cara agar mereka dapat selamat melewati hujan meteor ini. “Lakukan pendaratan lebih awal,” perintahnya pada Jun dan John.

Tentu saja itu mengejutkan keduanya karena perintah Danny sama-sama beresiko tinggi. Jun menoleh ke arah Danny sekilas. “Tapi kalo gitu titik pendaratannya bakal beda.”

“Kita bisa aja ketabrak meteor kalo ga mendarat sekarang.” Danny menajamkan kedua matanya dan menegaskan keputusannya. “Gimanapun juga kita harus mendarat,” tegasnya kemudian kembali ke kursinya.

Akhirnya, Jun dan John mau tak mau harus mengikuti perintah kapten mereka. Keduanya saling bertatapan sejenak dan Jun memberikan anggukan tipis pada John. Karena bagaimanapun juga, mereka harus mempercayakan segala keputusan kapten mereka. Mereka yakin, Danny pasti mementingkan keselamatan mereka.

“Tarik kontrol daya dorong,” perintah Jun pada John di sampingnya. John berusaha menarik kontrol daya dorong sehingga pesawat dapat melakukan pendaratan lebih awal, sesuai dengan perintah kapten mereka.

“Semua anggota pastikan menggunakan pengaman. Bersiap untuk adanya benturan!” seru Jun di kursinya. Sembari melawan rasa takut dan cemas mereka, para anggota mengikuti arahan dari Jun dan menggunakan pengaman di kursi mereka, termasuk Danny.

Guncangan yang dirasakan semakin parah akibat Jun dan John berusaha menghindari meteor dan mendaratkan pesawat mereka di Planet 7812. Teriakan dari Jun dan John yang kesulitan mengendalikan pesawat terdengar membuat semua anggota semakin panik. Terlebih badan pesawat yang terombang-ambing kesana kemari membuat mereka ketakutan akan apa yang terjadi setelahnya.

Berkat kerja keras Jun dan John, pesawat semakin turun dan siap mendarat namun masih kesulitan di kendalikan karena adanya dorongan dari meteor yang beberapa kali menyenggol sayap pesawat mereka. “Lurusin pesawatnya!” teriak Jun kesulitan dan meminta bantuan John.

“Sialan! Gue harap ini berhasil!” teriak John semakin frustasi karena pesawat semakin sulit untuk dikendalikan.

Setelah keributan yang terjadi, akhirnya pesawat mereka berhasil mendarat di Planet 7812 meskipun titik pendaratan melesat jauh dari titik pendaratan yang seharusnya. Setidaknya, pesawat mendarat dengan baik sehingga tidak ada kerusakan baik sistem maupun mesinnya.

“Kapten, pesawat berhasil mendarat.”

[]

tw // violence ; cw // kissing

Area balap milik Kelvin dipenuhi dengan banyak orang. Banyak dari mereka datang untuk menonton balapan yang akan diselenggerakan malam ini. Sekitar lima pembalap sudah beraksi dengan motor mereka di sirkuit termasuk Harel.

Sejujurnya, Harel sudah dilarang mengikuti balapan malam ini oleh Joel dikarenakan permasalahannya dengan Kazzaya. Bahkan sejak datang, mood Harel sudah hancur. Ia sedang berada di mode senggol bacok, kata Joel.

Joel hanya khawatir Harel terlalu emosi dalam mengendarai motornya dan berakhir terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan. Namun Joel berusaha mempercayai sahabatnya itu, ia berharap Harel akan baik-baik saja.

Di tengah balapan, Kazzaya datang. Kelvin yang mengenal Kazzaya langsung menyuruh Kazzaya untuk menunggu Harel di ruang VIP, sayangnya gadis itu malah mengotot ingin melihat Harel balapan di pinggir sirkuit.

Seperti yang dikatakan Dean, area balap benar-benar dipenuhi oleh para lelaki dengan pakaian dan penampilan yang menyeramkan, bagi Kazzaya. Tak sedikit dari mereka penuh tato di tubuh mereka, belum lagi merokok dan minum alkohol.

Kelvin tak mau Harel menghajarnya jika meninggalkan Kazzaya sendirian di tengah tempat asing bagi gadis itu, jadi dia menemaninya. “Lo lagi ada masalah ya sama Harel?” tanya Kelvin membuka pembicaraan dengan Kazzaya.

“Ya gitu deh. Harel keliatan marah banget ya?” tanya Kazzaya dengan raut wajah khawatir.

Kelvin mengangguk tipis. “Bener-bener kayak mau makan orang dia. Joel aja sampe ga berani sama dia. Mau dilarang balapan takut dia kebawa emosi, tapi anaknya tetep ngotot ikut, ya udah deh,” cerita Kelvin semakin membuat Kazzaya merasa bersalah.

Tak lama setelah kedatangan Kazzaya, balapan pun berakhir. Tentu saja Harel kembali menduduki posisi satu mengalahkan empat pembalap lainnya. Kemampuan Harel dalam bidang ini memang tidak perlu diragukan lagi.

Setelah menyerahkan motornya pada montir yang bekerja di bawah Kelvin, Joel memanggilnya untuk menemui kekasihnya itu yang sudah menunggu bersama Kelvin.

“Lo ngapain sih kesini?” tanya Harel begitu melihat Kazzaya berada di tempat yang tak seharusnya. Terlebih lagi, gerombolan laki-laki di samping mereka tak berhenti menatap Kazzaya dengan penuh nafsu.

“Aku mau ngomong sama kamu.” Kazzaya benar-benar merasa bersalah setelah apa yang terjadi dan bagaimana dia menyikapinya, ia merasa sikapnya hanya membuat Harel terluka.

“Ya udah. Jangan disini, di ruang atas aja.” Harel langsung meraih tangan Kazzaya dan menarik kekasihnya itu pergi.

“Harel?” Salah seorang dari gerombolan di samping mereka memanggil nama Harel. Ketika menoleh, Harel menyadari bahwa gerombolan tersebut dari pembalap yang malam ini ikut balapan dengannya. David namanya, si pembalap yang meraih posisi dua.

David melirik ke arah Kazzaya. “Cewe lo cakep juga ya? Sabi lah besok buat taruhan. Kita mau nyoba juga lah, Rel.”

“Bajingan!” Mood Harel sedang tak baik, malah mendengar perkataan tak mengenakan dari lawannya itu. Hal itu membuat emosinya langsung terpancing dan melayangkan pukulan ke wajah David.

Semua orang terkejut, terutama Kazzaya. Kelvin dan Joel sebisa mungkin menghentikan pukulan Harel. Sayangnya, David ikut emosi dan balas memukul Harel. Alhasil, pertengkaran keduanya tak bisa dihindari. Harel sampai mendorong David hingga tersungkur ke tanah. Sudah jatuh pun mereka tak kunjung berhenti saling memukul.

“Harel udah! Please!” Kazzaya berteriak dengan kedua mata yang berkaca-kaca mencoba menghentikan Harel. Dia menarik paksa lengan Harel sekuat tenaga dan menariknya menjauh dari David.

Melihat bagaimana air mata menetes dari pelupuk mata Kazzaya membuat Harel berhenti dan tak tega melihatnya. Wajahnya sudah penuh luka, namun dia malah mengkhawatirkan kekasihnya itu. “Maafin gue. Jangan nangis, Ay..” Tangannya yang kotor, bercampur tanah dan darah itu mengusap pipi Kazzaya.

Air mata Kazzaya semakin deras ketika melihat penampilan Harel yang berantakan. Wajah tampannya dipenuhi luka yang mengerikan. Ia menyentuh pipi Harel perlahan dan semakin terisak. “Maafin aku.. Maaf..” Kazzaya terus menyalahkan dirinya. Semua salahnya. Harel menjadi sangat emosi pasti karenanya.

Setelah keributan yang terjadi, Harel dan Kazzaya sudah berada di ruang VIP. Kelvin dan Joel meninggalkan mereka, membiarkan Kazzaya mengobati luka Harel sembari membicarakan masalah yang terjadi di rumah tangga mereka.

“Maafin aku.” Kalimat itu kembali terucap oleh Kazzaya bahkan setelah ia selesai mengobati luka Harel.

Mendengar Kazzaya yang terus-terusan meminta maaf membuat Harel menghela pelan. “Udah kenapa sih, Ay. Lo kenapa minta maaf mulu sih. Itu bukan salah lo.” Ia mengusap pipi Kazzaya dengan lembut.

Sayangnya, Kazzaya masih saja menyalahkan dirinya sendiri. “Engga. Semuanya salah aku. Kamu dapet hate comment dari penggemar aku juga karena aku. Kamu berantem sama orang tadi sampe luka begini juga karena aku.”

“Maaf..” Kazzaya menundukkan kepalanya, merasa bersalah pada kekasihnya itu.

Harel menghela napas pelan. Ia tak langsung menjawabnya, hanya menatap kekasihnya itu sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Kalo lo emang bener-bener ngerasa bersalah, jangan tinggalin gue.”

“Dengan lo ninggalin gue setelah bikin gue dihujat habis-habisan itu bukan tindakan yang bener, Ay. Yang ada lo malah bikin gue makin sakit hati.”

Kazzaya mengangkat kepalanya pelan, membalas tatapan Harel dan mengangguk pelan. “Iya. Maaf, aku terlalu egois. Aku janji ga gitu lagi.” Setelah mengatakannya, Kazzaya langsung disambut pelukan hangat oleh Harel. Keduanya berpelukan erat, setelah menemukan jalan keluar permasalahan mereka.

Pelukan mereka pun terlepas, begitu merasa keadaannya membaik. Kazzaya teringat sesuatu dan memuji kekasihnya itu. “Kamu tadi keren banget pas balapan.”

Mendapat pujian dati Kazzaya membuat sudut bibir Harel terangkat dan langsung merasa bangga dengan dirinya sendiri. “Iya dong. Pacar siapa dulu.”

“Besok-besok aku boleh nonton lagi ga? Atau ga boleh karena banyak orang-orang kayak tadi?” tanya Kazzaya sekalian meminta izin kepada Harel, takut sesuatu yang tak diinginkan seperti tadi terulang kembali.

“Gapapa. Lagipula gue bisa hajar siapapun yang gangguin lo,” jawab Harel dengan santai.

Kazzaya dapat merasakan bahwa Harel benar-benar ingin melindunginya. Ia pun mendekat dan mengecup pipi kanan Harel jika saja lelaki itu tidak menoleh di saat yang sama. Alhasil, kedua bibir mereka lah yang dipertemuan di kecupan singkat mereka.

Keduanya sama-sama terkejut. Harel sampai mematung begitu merasa bibirnya bertemu dengan bibir kekasihnya itu. Kazzaya pun menjadi salah tingkah. “Eh.. Maaf, aku tadi..”

“Tadi ga kerasa, Ay. Lagi dong.” Tiba-tiba Harel mendekat dan menagih ciuman untuk kedua kalinya.

“Harel!”

[]

Area balap milik Kelvin dipenuhi dengan banyak orang. Banyak dari mereka datang untuk menonton balapan yang akan diselenggerakan malam ini. Sekitar lima pembalap sudah beraksi dengan motor mereka di sirkuit termasuk Harel.

Sejujurnya, Harel sudah dilarang mengikuti balapan malam ini oleh Joel dikarenakan permasalahannya dengan Kazzaya. Bahkan sejak datang, mood Harel sudah hancur. Ia sedang berada di mode senggol bacok, kata Joel.

Joel hanya khawatir Harel terlalu emosi dalam mengendarai motornya dan berakhir terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan. Namun Joel berusaha mempercayai sahabatnya itu, ia berharap Harel akan baik-baik saja.

Di tengah balapan, Kazzaya datang. Kelvin yang mengenal Kazzaya langsung menyuruh Kazzaya untuk menunggu Harel di ruang VIP, sayangnya gadis itu malah mengotot ingin melihat Harel balapan di pinggir sirkuit.

Seperti yang dikatakan Dean, area balap benar-benar dipenuhi oleh para lelaki dengan pakaian dan penampilan yang menyeramkan, bagi Kazzaya. Tak sedikit dari mereka penuh tato di tubuh mereka, belum lagi merokok dan minum alkohol.

Kelvin tak mau Harel menghajarnya jika meninggalkan Kazzaya sendirian di tengah tempat asing bagi gadis itu, jadi dia menemaninya. “Lo lagi ada masalah ya sama Harel?” tanya Kelvin membuka pembicaraan dengan Kazzaya.

“Ya gitu deh. Harel keliatan marah banget ya?” tanya Kazzaya dengan raut wajah khawatir.

Kelvin mengangguk tipis. “Bener-bener kayak mau makan orang dia. Joel aja sampe ga berani sama dia. Mau dilarang balapan takut dia kebawa emosi, tapi anaknya tetep ngotot ikut, ya udah deh,” cerita Kelvin semakin membuat Kazzaya merasa bersalah.

Tak lama setelah kedatangan Kazzaya, balapan pun berakhir. Tentu saja Harel kembali menduduki posisi satu mengalahkan empat pembalap lainnya. Kemampuan Harel dalam bidang ini memang tidak perlu diragukan lagi.

Setelah menyerahkan motornya pada montir yang bekerja di bawah Kelvin, Joel memanggilnya untuk menemui kekasihnya itu yang sudah menunggu bersama Kelvin.

“Lo ngapain sih kesini?” tanya Harel begitu melihat Kazzaya berada di tempat yang tak seharusnya. Terlebih lagi, gerombolan laki-laki di samping mereka tak berhenti menatap Kazzaya dengan penuh nafsu.

“Aku mau ngomong sama kamu.” Kazzaya benar-benar merasa bersalah setelah apa yang terjadi dan bagaimana dia menyikapinya, ia merasa sikapnya hanya membuat Harel terluka.

“Ya udah. Jangan disini, di ruang atas aja.” Harel langsung meraih tangan Kazzaya dan menarik kekasihnya itu pergi.

“Harel?” Salah seorang dari gerombolan di samping mereka memanggil nama Harel. Ketika menoleh, Harel menyadari bahwa gerombolan tersebut dari pembalap yang malam ini ikut balapan dengannya. David namanya, si pembalap yang meraih posisi dua.

David melirik ke arah Kazzaya. “Cewe lo cakep juga ya? Sabi lah besok buat taruhan. Kita mau nyoba juga lah, Rel.”

“Bajingan!” Mood Harel sedang tak baik, malah mendengar perkataan tak mengenakan dari lawannya itu. Hal itu membuat emosinya langsung terpancing dan melayangkan pukulan ke wajah David.

Semua orang terkejut, terutama Kazzaya. Kelvin dan Joel sebisa mungkin menghentikan pukulan Harel. Sayangnya, David ikut emosi dan balas memukul Harel. Alhasil, pertengkaran keduanya tak bisa dihindari. Harel sampai mendorong David hingga tersungkur ke tanah. Sudah jatuh pun mereka tak kunjung berhenti saling memukul.

“Harel udah! Please!” Kazzaya berteriak dengan kedua mata yang berkaca-kaca mencoba menghentikan Harel. Dia menarik paksa lengan Harel sekuat tenaga dan menariknya menjauh dari David.

Melihat bagaimana air mata menetes dari pelupuk mata Kazzaya membuat Harel berhenti dan tak tega melihatnya. Wajahnya sudah penuh luka, namun dia malah mengkhawatirkan kekasihnya itu. “Maafin gue. Jangan nangis, Ay..” Tangannya yang kotor, bercampur tanah dan darah itu mengusap pipi Kazzaya.

Air mata Kazzaya semakin deras ketika melihat penampilan Harel yang berantakan. Wajah tampannya dipenuhi luka yang mengerikan. Ia menyentuh pipi Harel perlahan dan semakin terisak. “Maafin aku.. Maaf..” Kazzaya terus menyalahkan dirinya. Semua salahnya. Harel menjadi sangat emosi pasti karenanya.

Setelah keributan yang terjadi, Harel dan Kazzaya sudah berada di ruang VIP. Kelvin dan Joel meninggalkan mereka, membiarkan Kazzaya mengobati luka Harel sembari membicarakan masalah yang terjadi di rumah tangga mereka.

“Maafin aku.” Kalimat itu kembali terucap oleh Kazzaya bahkan setelah ia selesai mengobati luka Harel.

Mendengar Kazzaya yang terus-terusan meminta maaf membuat Harel menghela pelan. “Udah kenapa sih, Ay. Lo kenapa minta maaf mulu sih. Itu bukan salah lo.” Ia mengusap pipi Kazzaya dengan lembut.

Sayangnya, Kazzaya masih saja menyalahkan dirinya sendiri. “Engga. Semuanya salah aku. Kamu dapet hate comment dari penggemar aku juga karena aku. Kamu berantem sama orang tadi sampe luka begini juga karena aku.”

“Maaf..” Kazzaya menundukkan kepalanya, merasa bersalah pada kekasihnya itu.

Harel menghela napas pelan. Ia tak langsung menjawabnya, hanya menatap kekasihnya itu sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Kalo lo emang bener-bener ngerasa bersalah, jangan tinggalin gue.”

“Dengan lo ninggalin gue setelah bikin gue dihujat habis-habisan itu bukan tindakan yang bener, Ay. Yang ada lo malah bikin gue makin sakit hati.”

Kazzaya mengangkat kepalanya pelan, membalas tatapan Harel dan mengangguk pelan. “Iya. Maaf, aku terlalu egois. Aku janji ga gitu lagi.” Setelah mengatakannya, Kazzaya langsung disambut pelukan hangat oleh Harel. Keduanya berpelukan erat, setelah menemukan jalan keluar permasalahan mereka.

Pelukan mereka pun terlepas, begitu merasa keadaannya membaik. Kazzaya teringat sesuatu dan memuji kekasihnya itu. “Kamu tadi keren banget pas balapan.”

Mendapat pujian dati Kazzaya membuat sudut bibir Harel terangkat dan langsung merasa bangga dengan dirinya sendiri. “Iya dong. Pacar siapa dulu.”

“Besok-besok aku boleh nonton lagi ga? Atau ga boleh karena banyak orang-orang kayak tadi?” tanya Kazzaya sekalian meminta izin kepada Harel, takut sesuatu yang tak diinginkan seperti tadi terulang kembali.

“Gapapa. Lagipula gue bisa hajar siapapun yang gangguin lo,” jawab Harel dengan santai.

Kazzaya dapat merasakan bahwa Harel benar-benar ingin melindunginya. Ia pun mendekat dan mengecup pipi kanan Harel jika saja lelaki itu tidak menoleh di saat yang sama. Alhasil, kedua bibir mereka lah yang dipertemuan di kecupan singkat mereka.

Keduanya sama-sama terkejut. Harel sampai mematung begitu merasa bibirnya bertemu dengan bibir kekasihnya itu. Kazzaya pun menjadi salah tingkah. “Eh.. Maaf, aku tadi..”

“Tadi ga kerasa, Ay. Lagi dong.” Tiba-tiba Harel mendekat dan menagih ciuman untuk kedua kalinya.

“Harel!”

[]

Ketika teman-teman yang lain belum memulai hari mereka, Karanina dan Ghazi sudah keluar tenda dan berjalan-jalan di sekitar tempat dimana mereka mengadakan camp selama seminggu. Sedihnya, hari ini adalah hari terakhir mereka.

Karanina bercerita banyak hal, sedangkan Ghazi hanya mendengarkannya sembari tak berhenti menatap gadis itu dengan penuh senyum.

Tiba-tiba cerita Karanina berhenti ketika ia menyadari Ghazi tak berhenti menatapnya. Pembicaraan mereka di chat semalam membuat Karanina menghapus senyum di wajahnya. Dia masih saja merasa bersalah dengan lelaki di hadapannya itu. “Kak…”

Ghazi ikut menghentikan langkahnya ketika Karanina berhenti. “Hm?”

“Soal yang kemarin…” Karanina menundukkan kepalanya, bahkan dia tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia tidak tahu akan ada berapa hati yang terluka nantinya, tetapi jika tidak dikatakan, dia akan terus-terusan kepikiran. Bahkan dia sampai tidak bisa tidur semalam.

Seakan dapat membaca pikiran Karanina, Ghazi pun mengetahui bahwa gadis itu cukup sulit mengungkapkannya. Ia pun lebih dulu membuka suara. “Gue ga akan maksa lo. Apapun keputusan lo, gue selalu dukung, Nin. Bahkan kalo gue harus berjuang lebih buat dapetin lo, maka gue bakal lakuin itu.”

Hal itu membuat Karanina mengangkat kepalanya. Dia menatap Ghazi dengan tatapan terharu. Lelaki itu selalu memiliki caranya sendiri untuk membuatnya tersentuh dan meluluhkan hatinya. Seakan Karanina sudah dapat mengetahui dimana hatinya akan berlabuh.

“Lo ga perlu mikirin Jeggar. Lo cuma perlu dengerin kata hati lo aja. Gue yakin, Jeggar pun ga akan maksa lo buat nerima perasaan dia.” Ghazi merapikan anak-anak rambut Karanina yang tertiup angin dan menyelipkannya ke belakang telinga. Perlakuan manis Ghazi benar-benar membuat Karanina susah payah menahan salting.

Seakan menguji Karanina, Ghazi malah tersenyum manis dan mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut. “Kalo pada akhirnya Jeggar bener-bener kesel lo jadian sama gue, biar dia benci sama gue. Gue pastiin dia ga akan benci sama lo. “

Karanina menyingkirkan tangan Ghazi dari kepalanya dan berjalan lebih dulu untuk menyembunyikan wajahnya yang kemerahan akibat salah tingkah, lalu berdecak pelan. “Kenapa juga dia benci sama lo? Emang kita udah pasti jadian?” tanyanya dengan raut setengah meledek dan berjalan mendahului Ghazi.

Mendengarnya, membuat Ghazi tersenyum kecut. Memang kenyataan cukup menamparnya, namun tidak ada salahnya menjadi orang yang optimis bukan?

Tiba-tiba, Karanina menghentikan langkahnya, beberapa kaki di depan Ghazi lalu berbalik ke arah lelaki itu seraya berteriak dengan penuh antusias. “Kak! Ayo pacaran!”

Ghazi tidak langsung menjawabnya. Dia mengambil langkah mendekat, namun kepalanya menggeleng dan memberikan penolakan. “Ogah.” Karanina pun dibuat mengerutkan keningnya begitu mendapatkan penolakan tersebut.

Hingga Ghazi berdiri tepat di depannya, ia tersenyum manis. “Biar gue aja yang ngajak lo pacaran.” Ia mengeluarkan sesuatu untuk gadis itu di balik jaketnya.

“Nin, ayo pacaran sama gue”

Melihat apa yang Ghazi berikan padanya, Karanina terlihat kegirangan dan mengangguk mengiyakannya tanpa berpikir panjang. Bahkan dia tidak sabaran meminta Ghazi untuk memakannya mahkota bunga itu di kepalanya. Ghazi tersenyum gemas melihat kelakuan gadis itu. “Ini bukan hadiah mahal tapi kenapa lo seneng banget sih?”

“Ini lucu banget, kak!! Kok lo bisa buatnya sih?” tanya Karanina masih saja kegirangan memegangi mahkota bunga yang sudah dipasangkan di atas kepalanya oleh Ghazi.

Ghazi menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. Jujur, pujian itu membuat Ghazi malu. “Kemarin gue diajarin sama anak-anak sini.”

Karanina masih saja mengagumi mahkota tersebut dengan girang. “Cantik banget.”

“Lebih cantik lo sih,” balas Ghazi menatap gadis di hadapannya itu dengan senyum tulusnya.

Detik berikutnya, Karanina menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Ghazi dan memeluknya erat. Sama halnya dengan Ghazi, dia mendekap tubuh mungil Karanina dan memeluknya lebih erat. Mahkota bunga buatannya telah menjadi bukti bahwa Ghazi serius dengan perasaannya. Dia membuatkan sebuah mahkota cantik untuk pujaan hatinya.

Ghazi merasa bersyukur karena pada akhirnya dia merasakan bagaimana perasaannya terbalaskan. Dia berjanji pada dunia dan semesta, bahwa dia tidak akan membuat gadis itu sedih ataupun menangis. Ghazi berjanji akan selalu membuatnya bahagia.

[]