95. Kembali Pulang

Hatinya benar-benar tidak siap menghadapi ayahnya malam ini. Tapi tekadnya sudah terlanjur bulat. Apapun yang terjadi, ia hanya ingin menyelesaikan masalah ini dengan cepat.

Toh juga, dirinya sudah mendapatkan banyak dukungan dari orang-orang terdekatnya. Dan benar kata Jagad, bahwa ia tidak perlu takut untuk mengambil pilihan dalam hidupnya.

Kini Malik sudah duduk di ruang tamu, sedangkan Jagad dan Shelvira masih berdiri di depannya, seakan enggan untuk duduk dan membicarakan masalah ini baik-baik.

“Kalian nggak mau duduk?” tanya Malik melihat keduanya bergantian.

Jagad menoleh ke arah Shelvira lebih dulu, memastikan bahwa gadis itu tidak masalah jika harus duduk di hadapan ayahnya. Setelah mendapat anggukan kepala dari Shelvira, keduanya pun duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa yang diduduki Malik.

“Kamu masih mau disini?” tanya Malik menatap lurus ke arah Jagad yang masih saja duduk di samping putrinya.

“Begini, om..”

Sebelum Jagad mengutarakan lisan, Malik lebih dulu memotongnya. “Om tahu kamu khawatir sama Shelvira. Tapi ini masalah kami, biarkan kami selesaikan masalah tanpa campur tangan orang lain. Jadi om minta tolong sama kamu, bisa?”

Kedua kalinya, Jagad menoleh ke arah Shelvira. Terlihat gadis itu mulai cemas dan langsung memegangi lengan Jagad erat, namun Jagad menepuk tangannya pelan dan menyakinkannya. “Nggak papa. Gue nggak kemana-mana. Gue tunggu di depan ya.”

Akhirnya setelah diyakinkan, Shelvira pun mengangguk dan melepaskan lengan Jagad. Lelaki itu beranjak pergi, keluar dari rumah, meninggalkan ayah dan anak perempuannya itu.

“Jadi gimana keputusannya, Shelvi? Kamu masih mau kuliah?” tanya Malik membuka pembicaraan mereka. Kedua matanya menatap lurus ke arah Shelvira.

“Iya, ayah.” Shelvira menarik napas panjang, mempersiapkan dirinya sebelum kembali membuka mulutnya.

“Maaf kalau pada akhirnya Shelvi bikin ayah kecewa lagi atau nggak bisa bikin ayah bangga. Tapi ini yang Shelvi mau. Shelvi mau kuliah dan belajar apa yang disukai sama ibu. Shelvi nggak akan maksa ayah buat izinin Shelvi, kalau akhirnya ayah tetap nggak suka sama pilihan Shelvi, aku bakal terima semua konsekuensinya,” ujarnya mengutarakan isi hatinya.

Malik terdiam cukup lama. Hal itu berhasil membuat tingkat kecemasan Shelvira makin meningkat. Kedua tangan di pangkuannya tak berhenti meremas satu sama lain saking cemasnya.

Setelah terdiam lebih dari lima menit, akhirnya Malik menghela napas panjang dan menjawabnya. “Ya sudah. Ayah izinkan kamu kuliah.”

Jawaban ayahnya itu cukup mengejutkan, sampai-sampai Shelvira melotot dibuatnya. Ia sampai membenahi posisi duduknya saking tak percayanya. “Ayah serius?”

“Dengan satu syarat.”

“Nilai kamu harus bagus. Buktikan ke ayah kalau kamu bisa berjuang di dunia perkuliahan seperti yang kamu bilang itu. Kalau sampai nilai kamu jelek, siap-siap aja masuk militer,” ujar Malik memberi persyaratan atas izinnya.

Kedua mata Shelvira kembali berkaca-kaca. “Ayah, makasih..”

Malik beranjak berpindah posisi. Ia mengambil tempat kosong di samping putrinya itu dan merangkulnya penuh kasih sayang. “Maafkan ayah, ya Shel.”

“Jangan pernah sekali aja kamu berpikir kalau kamu anak pembawa sial. Ayah nggak pernah berpikir seperti itu selama hidup ayah. Ayah sadar Tuhan bisa ambil orang yang kita sayang kapanpun dan ayah takut kehilangan kamu seperti ayah kehilangan ibu dan abang. Mungkin cara ayah menjaga kamu salah, tapi ayah cuma mau jaga kamu, Shelvi,” ujar Malik ikut berkaca-kaca.

Setelah pertengkaran dengan putrinya, Malik sampai tidak bisa tidur dikarenakan ucapan Shelvira malam itu. Ia merasa gagal menjadi ayah karena Shelvira berpikir demikian tentang kematian ibu dan putranya. Hatinya terasa sakit begitu mendengarnya langsung dari mulut Shelvira.

“Ayah selalu larang kamu keluyuran nggak jelas karena ayah takut kamu kenapa-napa. Ayah mau kamu masuk militer supaya ayah bisa lebih mudah jaga kamu dan kamu selalu berada di bawah pengawasan ayah di militer nantinya.”

“Tapi setelah mengobrol sama Jagad, ayah sadar kalau cara ayah memang salah. Ayah terlalu nuntut kamu sampai kamu nggak bisa tumbuh dan hidup sesuai apa yang kamu mau. Maafkan ayah, ya,” ucap Malik mengusap pundak putrinya lembut.

Pernyataan Malik membuat Shelvira tak kuasa menahan air matanya. Air matanya pun lolos begitu saja membanjiri pipinya. “Maafin Shelvi juga, yah. Maaf kalau Shelvi selama ini nggak bisa jadi anak membanggakan buat ayah.”

Malik menggeleng cepat. “Enggak. Ayah selalu bangga sama kamu. Apapun pencapaian ayah, ayah selalu bangga,” sergahnya mengusap kepala Shelvira. “Maaf kalau ayah nggak pintar nunjukin perasaan ayah. Maaf kalau ayah nggak pernah ngasih kamu hadiah atau rayain ulang tahun kamu.”

“Ayah nggak tahu apa yang disukai perempuan. Ayah merasa gagal karena ayah nggak bisa bahagiain anak perempuannya,” aku Malik dengan jujur.

Shelvira tahu betul bagaimana ayahnya dibesarkan tanpa peran ibu semenjak ia lahir. Malik tidak pernah berinteraksi dengan perempuan lantaran ia selalu bersekolah di sekolah pria. Bahkan setelah bertemu dengan istrinya, ia bukanlah lelaki yang romantis, yang sering memberi hadiah ataupun bunga. Jovan yang menceritakan hal itu padanya dulu.

“Ayah nggak pernah gagal jadi seorang ayah. Lagipula ini pertama kalinya ayah jadi ayah. Jadi nggak papa,” jawab Shelvira.

“Dan satu lagi,” Malik mengusap air matanya sendiri. Malu karena tangisnya dilihat oleh putrinya sendiri. “Alasan kenapa ayah terlihat lebih sayang Jagad bukan karena ayah nggak sayang kamu. Tapi terkadang ayah kasihan sama dia karena orang tuanya selalu sibuk. Ayah berusaha buat bagi perhatian buat kalian berdua tapi sepertinya ayah salah. Jadi maaf ya.”

Terkadang Shelvira tidak bisa sepenuhnya membenci Jagad karena selalu merebut perhatian ayahnya karena ia tahu bagaimana Jagad hidup dengan kedua orang tua yang sangat sibuk.

Kerap kali Shelvira menemukan Jagad bertarung sendirian di kompetisi taekwondo tanpa ditemani oleh orang tuanya. Makanya ia sering datang, sekadar menyemangatinya.

Shelvira menyadari bahwa ia terlalu membenci suatu hal sampai ia tidak melihat kenyataan lain. Ia pun memeluk ayahnya. “Maafin aku juga ya, ayah.”

“Janji sama ayah, setelah ini kalau ada apa-apa langsung cerita sama ayah, ya,” pinta Malik membalas pelukan putrinya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Ia menggerutu pelan. “Ayah sedih masa Jagad lebih ngertiin kamu daripada ayah. Padahal ayah kan ayah kamu. Harusnya ayah yang lebih sayang sama kamu.”

Keluhan ayahnya itu berhasil membuat Shelvira tersenyum. “Iya, ayah.”

Keduanya pun membalas pelukan satu sama lain dengan penuh sayang. Shelvira memejamkan kedua matanya. Rasanya hangat, masih sama persis seperti pelukan ayahnya ketika ia berusia 5 tahun. Ia rindu pelukan itu, namun terkadang malu untuk bermanjaan dengan ayahnya di usianya sekarang.

Meskipun begitu, Shelvira sangat bersyukur bahwa ia bisa merasakan pelukan itu kembali. Dengan rasa yang tidak berubah sedikitpun.

“Shelvi sayang ayah,” bisik Shelvira di pelukannya.

“Ayah lebih sayang Shelvi.”

Rasanya pelukan tersebut menghangat. Shelvira makin tenggelam di dalamnya. Mungkin, abang dan ibunya ikut berpelukan bersama mereka.

Merayakan kembalinya kehangatan di rumah ini, yang sudah lama hilang beberapa tahun sejak kematian abang dan karena kesalahpahaman antara seorang ayah dan anak perempuannya.

##