02.11 – Luka dan Es Krim
Kabar yang mengatakan bahwa putra satu-satu mereka masuk rumah sakit berhasil membuat Diana panik. Saat itu, ia sedang pergi berbelanja dan langsung dikabari Eva bahwa Dikta masuk rumah sakit akibat pendarahan di kepalanya.
Begitu sampai di parkiran Rumah Sakit Cahaya Harapan milik Yasla, Eva membiarkan Diana turun lebih dulu, sedangkan dia memarkirkan mobilnya. Di lobi, kebetulan ia berpapasan dengan suaminya, Jirro.
“Sayang! Anak kita gimana?” Diana dengan kedua mata yang berkaca-kaca nyaris menangis ketakutan dan panik khawatir putranya terluka parah.
Jirro memegang kedua tangan istrinya dan berusaha menenangkannya. “Engga papa. Dia baik-baik aja kok,” jawab Jirro dengan tetap tenang, meskipun sebenarnya dia sama paniknya dengan Diana.
“Ayo. Mereka ada di ruangan 301.” Eva yang tiba-tiba datang menghampiri keduanya setelah memarkirkan mobilnya. Ia pun melangkah lebih dulu, menunjukkan arah untuk pasutri itu.
Dengan langkah tergesa dan panik, keduanya mengekori Eva ke ruang dimana Dikta dirawat setelah diperiksa oleh dokter. Tak butuh waktu lama, mereka pun sampai di ruangan tersebut. Dari luar ruangan, terdengar suara tangis anak kecil yang berhasil membuat Diana semakin panik.
Apakah itu suara tangis Dikta yang kesakitan?
Eva pun membukakan pintu ruang rawat untuk mereka dan menampakkan bagaimana Dikta duduk tenang di ranjang rumah sakit dengan kepala yang diperban.
Hati Diana merasa lega melihat Dikta yang menunjukkan senyumnya, seakan menyakinkan kedua orang tuanya bahwa ia baik-baik saja. Lantas siapa yang menangis keras tadi?
Tiba-tiba seorang anak berlari ke arah mereka.
“Tante Sofia, maafin Jagad. Jagad nggak sengaja dorong Mas Dikta tadi,” ujar Jagad masih menangis sesengukan merasa bersalah atas apa yang terjadi.
Akhirnya, Varro yang sedari tadi mendampingi Dikta pun membuka suara. “Tadi mereka lari-larian di dalem rumah. Terus Jagad nggak sengaja dorong Dikta sampai kepala ketabrak pintu. Jadinya berdarah,” jelasnya.
Jirro berjongkok di hadapan Jagad dan tersenyum seraya mengusap puncak kepalanya. “Iya, nggak papa sayang. Kan Jagad juga nggak sengaja,” ujarnya mencoba menenangkan Jagad yang terus menangis.
“Sayang..” Diana menghampiri putra satu-satunya itu, masih dengan ketakutan yang sama.
Tahu seberapa khawatirnya sang ibunda, ia pun tersenyum dan memeluknya. “Dikta nggak papa Mima.”
Kemudian, Dikta melepaskan pelukannya dan memamerkan pin berbentuk bintang yang terpasang di dadanya. “Lihat, Mima. Om Varro kasih aku pin bintang soalnya Dikta keren soalnya nggak nangis sehabis operasi.”
“Dia sampai di operasi?” Diana terkejut dan kembali panik begitu mendengarnya.
Eva pun mengusap pundaknya dan menenangkannya. “Operasi kecil, mba. Dikta cuma butuh beberapa jahitan aja. Tapi kata dokter nggak ada masalah, mungkin efeknya cuma sering terasa pusing aja.”
“Dikta takut nggak pas di operasi?” tanya Varro.
Dikta dengan senyum lebarnya pun menggeleng. “Engga, om! Dokternya baik. Katanya dia temannya Om Yasla, jadi aku nggak takut.”
“Keren. Ini baru ponakan Om Varro!” seru Varro memuji ponakannya itu.
Sementara itu, Jagad masih saja menangis. Akhirnya, Varro menghampirinya dan langsung mengendongnya. “Tuh lihat Mas Dikta aja nggak nangis. Masa kamu masih nangis aja?”
“Tadi udah minta maaf belum?” tanya Varro padanya.
“Udah,” jawab Jagad lirih.
“Mas Diktanya udah maafin belum?”
“Udah.”
“Nah ya udah. Sekarang kenapa nangis? Nanti yang nangis nggak dapet es krim tahu,” ujar Varro.
Mendengar kata es krim, Jagad langsung berhenti menangis dan menatap Varro dengan wajah penuh semangatnya itu. “Es krim?”
“Iya. Jagad mau es krim nggak? Kalo mau nggak boleh nangis lagi.” Berkat sogokan Varro, Jagad langsung menghapus air matanya. Varro pun membantu mengusap pipi ponakannya itu. “Kita beli es krim buat Jagad sama Mas Dikta ya?”
Di sampingnya, Eva pun berbisik. “Emang kamu punya uang buat beliin mereka es krim?”
Tak langsung menjawab, Varro malah menoleh ke arah Eva dan tersenyum cengegesan. Tanpa mengatakan jawabannya, Eva sudah tahu jawabannya sendiri. Ia pun mengeluarkan dompet miliknya dan diberi pada Varro.
“Ayo kita beli es krim!” seru Varro bersemangat, membawa Jagad ke luar dari ruang rawat, membiarkan Dikta beristirahat dengan kedua orang tuanya.
Jirro tak kuasa menahan senyumnya dan melihat kepergian Varro dan ponakannya itu. Varro berhasil membuatnya kagum berkali-kali dengan keahliannya.
Jika mengadakan pemungutan suara di antara para ponakan di keluarga Kalingga siapa om yang paling disenangi, sudah pasti Varro memenangkannya dengan mendapat suara terbanyak. Selain dapat meluangkan waktu untuk mengasuh mereka, Varro tahu betul bagaimana mengurus anak-anak, meskipun bukan anaknya sendiri.
Jirro ingat betul ketika mereka belum genap berusia 20 tahun, Varro pernah mengatakan bahwa ia tidak ingin menikah dan menjadi ayah. Ia merasa tidak akan menjadi ayah yang baik karena ia tumbuh tanpa peran ayah. Nyatanya, ucapannya tidak benar.
Kini, ia menjadi ayah yang baik untuk kedua putranya, atau bahkan om yang menyenangkan untuk para ponakannya.
Jirro merasa tenang sekarang, karena Varro menjadi orang yang baik, dengan masa lalunya yang gelap itu.
##