Mahkota untuk Anin

Ketika teman-teman yang lain belum memulai hari mereka, Karanina dan Ghazi sudah keluar tenda dan berjalan-jalan di sekitar tempat dimana mereka mengadakan camp selama seminggu. Sedihnya, hari ini adalah hari terakhir mereka.

Karanina bercerita banyak hal, sedangkan Ghazi hanya mendengarkannya sembari tak berhenti menatap gadis itu dengan penuh senyum.

Tiba-tiba cerita Karanina berhenti ketika ia menyadari Ghazi tak berhenti menatapnya. Pembicaraan mereka di chat semalam membuat Karanina menghapus senyum di wajahnya. Dia masih saja merasa bersalah dengan lelaki di hadapannya itu. “Kak…”

Ghazi ikut menghentikan langkahnya ketika Karanina berhenti. “Hm?”

“Soal yang kemarin…” Karanina menundukkan kepalanya, bahkan dia tidak kuasa melanjutkan ucapannya. Ia tidak tahu akan ada berapa hati yang terluka nantinya, tetapi jika tidak dikatakan, dia akan terus-terusan kepikiran. Bahkan dia sampai tidak bisa tidur semalam.

Seakan dapat membaca pikiran Karanina, Ghazi pun mengetahui bahwa gadis itu cukup sulit mengungkapkannya. Ia pun lebih dulu membuka suara. “Gue ga akan maksa lo. Apapun keputusan lo, gue selalu dukung, Nin. Bahkan kalo gue harus berjuang lebih buat dapetin lo, maka gue bakal lakuin itu.”

Hal itu membuat Karanina mengangkat kepalanya. Dia menatap Ghazi dengan tatapan terharu. Lelaki itu selalu memiliki caranya sendiri untuk membuatnya tersentuh dan meluluhkan hatinya. Seakan Karanina sudah dapat mengetahui dimana hatinya akan berlabuh.

“Lo ga perlu mikirin Jeggar. Lo cuma perlu dengerin kata hati lo aja. Gue yakin, Jeggar pun ga akan maksa lo buat nerima perasaan dia.” Ghazi merapikan anak-anak rambut Karanina yang tertiup angin dan menyelipkannya ke belakang telinga. Perlakuan manis Ghazi benar-benar membuat Karanina susah payah menahan salting.

Seakan menguji Karanina, Ghazi malah tersenyum manis dan mengusap puncak kepala gadis itu dengan lembut. “Kalo pada akhirnya Jeggar bener-bener kesel lo jadian sama gue, biar dia benci sama gue. Gue pastiin dia ga akan benci sama lo. “

Karanina menyingkirkan tangan Ghazi dari kepalanya dan berjalan lebih dulu untuk menyembunyikan wajahnya yang kemerahan akibat salah tingkah, lalu berdecak pelan. “Kenapa juga dia benci sama lo? Emang kita udah pasti jadian?” tanyanya dengan raut setengah meledek dan berjalan mendahului Ghazi.

Mendengarnya, membuat Ghazi tersenyum kecut. Memang kenyataan cukup menamparnya, namun tidak ada salahnya menjadi orang yang optimis bukan?

Tiba-tiba, Karanina menghentikan langkahnya, beberapa kaki di depan Ghazi lalu berbalik ke arah lelaki itu seraya berteriak dengan penuh antusias. “Kak! Ayo pacaran!”

Ghazi tidak langsung menjawabnya. Dia mengambil langkah mendekat, namun kepalanya menggeleng dan memberikan penolakan. “Ogah.” Karanina pun dibuat mengerutkan keningnya begitu mendapatkan penolakan tersebut.

Hingga Ghazi berdiri tepat di depannya, ia tersenyum manis. “Biar gue aja yang ngajak lo pacaran.” Ia mengeluarkan sesuatu untuk gadis itu di balik jaketnya.

“Nin, ayo pacaran sama gue”

Melihat apa yang Ghazi berikan padanya, Karanina terlihat kegirangan dan mengangguk mengiyakannya tanpa berpikir panjang. Bahkan dia tidak sabaran meminta Ghazi untuk memakannya mahkota bunga itu di kepalanya. Ghazi tersenyum gemas melihat kelakuan gadis itu. “Ini bukan hadiah mahal tapi kenapa lo seneng banget sih?”

“Ini lucu banget, kak!! Kok lo bisa buatnya sih?” tanya Karanina masih saja kegirangan memegangi mahkota bunga yang sudah dipasangkan di atas kepalanya oleh Ghazi.

Ghazi menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. Jujur, pujian itu membuat Ghazi malu. “Kemarin gue diajarin sama anak-anak sini.”

Karanina masih saja mengagumi mahkota tersebut dengan girang. “Cantik banget.”

“Lebih cantik lo sih,” balas Ghazi menatap gadis di hadapannya itu dengan senyum tulusnya.

Detik berikutnya, Karanina menjatuhkan dirinya ke dalam dekapan Ghazi dan memeluknya erat. Sama halnya dengan Ghazi, dia mendekap tubuh mungil Karanina dan memeluknya lebih erat. Mahkota bunga buatannya telah menjadi bukti bahwa Ghazi serius dengan perasaannya. Dia membuatkan sebuah mahkota cantik untuk pujaan hatinya.

Ghazi merasa bersyukur karena pada akhirnya dia merasakan bagaimana perasaannya terbalaskan. Dia berjanji pada dunia dan semesta, bahwa dia tidak akan membuat gadis itu sedih ataupun menangis. Ghazi berjanji akan selalu membuatnya bahagia.

[]