Perjalanan Menuju Planet 7812
Pesawat antariksa telah disiapkan. Dalam beberapa menit lagi, pesawat akan segera berangkat. Sebagian astronot yang diutus oleh Mr. Yang telah masuk ke dalam pesawat dengan menggunakan pakaian astronot beserta kelengkapannya. Begitu masuk, mereka mulai memeriksa bagian-bagian dalam pesawat dan memastikan perlengkapan mereka tidak ada kekurangan.
Mr. Yang berdiri di depan putranya, merapikan pakaian astronot yang dikenakan oleh putra satu-satunya itu. “Besok lusa, ibumu ulang tahun. Segera selesaikan tugasmu dan kembalilah dengan selamat. Mengerti, Kapten?”
Danny tersenyum, lalu mengangguk dengan yakin. “Aku pasti akan pulang. Jadi tunggu aja di rumah sama ibu. Bilang ke ibu jangan ngomel-ngomel terus.” Begitu mengatakannya, Danny memberi hormat pada ayahnya itu.
“Kapten Danny, siap melaksanakan tugas!” serunya dengan lantang. Mr. Yang tersenyum menatap putranya. Ia mengangguk dan membiarkan Danny bergegas masuk ke dalam pesawat karena harus segera berangkat.
Danny, sebagai kapten tim Jikjin pun bergabung dengan anak buahnya yang sudah lengkap tersebut. Ia mengumpulkan anak buahnya. “Hari ini kita bakal lakuin misi ini bareng-bareng buat jemput Cio sama Kyle. Gue harap kita bisa bekerja sama dengan baik supaya misi ini bisa diselesaikan dan Cio dan Kyle bisa pulang bareng kita.”
Danny menatap satu persatu anggotanya dengan menaruh kepercayaan dan harapan yang tinggi pada mereka. “Apapun yang terjadi nantinya, gue cuma mau kita balik bareng berdua belas,” ujarnya menegaskan hal itu. Kemudian dia menjulurkan tangannya dan mengajak para anggotanya untuk bersorak sebelum menjalankan misi mereka. “Are you ready, guys?”
Satu persatu anggota Jikjin Team menumpuk sebelah tangan mereka di atas tangan Danny dan siap bersorak. Danny tersenyum lebar dan memimpin jargon mereka yang telah dibuatkan Jazztin sehari sebelum keberangkatan mereka. “Jikjin Team?”
“Twelve or Nothing!!” teriak kesembilan anggota Jikjin Team penuh semangat.
Setelah mereka bersorak, pintu pesawat luar angkasa yang mereka tumpangi pun tertutup. Jun dan John bertugas sebagai pilot yang bertanggung jawab atas pengendalian pesawat Jikjin Team. Mereka sudah duduk di kursi pilot dan kopilot, siap meluncurkan pesawat mereka.
Sedangkan anggota lain, termasuk Danny pun duduk di kursi mereka masing-masing. Danny berjalan-jalan, memastikan para anggotanya telah duduk di kursi mereka dan memakai sabuk pengaman sebelum dirinya duduk di kursinya.
“Haru,” panggil Jazztin yang telah duduk di kursinya, memanggil Haru, saudara kembarnya, yang duduk di sampingnya.
Haru tidak terlalu memedulikan saudaranya itu karena sibuk memasang sabuk pengaman. Dia hanya menjawabnya sebatas berguman. “Hm?”
Jazztin menoleh ke arah Haru seraya menghela napas berat. “Jangan gugup gitu dong. Tenang aja, kita bakal baik-baik aja,” ujar Jazztin tiba-tiba pada Haru. Hal itu tentunya membuat Haru keheranan dengan sikap saudaranya itu.
Haru pun menoleh dan berdecak pelan. “Anjir lah. Siapa juga yang gugup? Lo tuh yang keliatan ketakutan.”
Benar saja, Jazztin tampak ketakutan dan duduk di kursinya dengan gelisah. “Keliatan banget ya?” tanyanya polos pada Haru. Apa yang dikatakan tadi pada Haru sebenarnya dikatakan untuk dirinya sendiri. Dia lah orang yang paling gugup di antara yang lain karena ini adalah misi pertamanya.
Haru hanya berdecak kesal dan membuang wajahnya. “Tolol.”
Tepat saat itu, Danny melewati kursi mereka. Dia berhenti ketika melihat Jazztin yang duduk dengan gelisah di kursinya, padahal sudah memakai sabuk pengaman. “Lo gapapa, Jaz? Keliatan pucet gitu,” tegur Danny mencemaskannya.
Jazztin kembali menghela napas berat dan malah bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Danny. “Kapten, kita bakal berhasil jalanin misi ini, kan? Kita bakal balik lagi ke Bumi, kan?”
Danny tersenyum. Kini dia tahu alasan kenapa Jazztin menjadi gelisah. Dia pun menepuk pundak Jazztin dan memberikan keyakinan padanya. “Pasti. Jadi lo tenang aja. Gue bakal pastiin kita berdua belas bisa balik lagi ke Bumi.”
Setidaknya, ucapan Danny yang menyakinkan itu pun berhasil membuat Jazztin tenang. Dia mengangguk dan membuang napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Setelahnya, Danny pun pergi ke kursinya. Haru menoleh ke arahnya setelah Danny pergi dan memanggil saudaranya itu. “Woy, bocil!”
Panggilan Haru itu membuat Jazztin berdecak kesal karena dia paling benci panggilan itu. Dia menoleh dan melirik tajam ke arah saudaranya itu. “Berhenti manggil gue bocil. Kita lahirnya cuma beda lima menit doang ya, njir!”
Haru hanya tersenyum tipis. Dia tidak membalas kekesalan Jazztin tersebut dan kembali berbicara. “Gue selalu ada di belakang lo, jadi ga usah takut,” ujar Haru dengan raut wajah datar seperti biasanya, namun ucapannya cukup menghangatkan hati.
Hal itu berhasil membuat Jazztin berdecak kesal sekali lagi, namun tak lama dia tersenyum tipis. “Ga usah berlagak jadi abang deh lo. Ngeselin banget, anjir.” Keluhan itu berhasil membuat Haru tertawa mendengarnya.
Begitulah hubungan dua saudara kembar ini. Mereka mungkin banyak bertengkar karena hal kecil, namun keduanya sama-sama tidak membiarkan saudara mereka sendirian dan dalam keadaan bahaya. Mereka akan saling melindungi satu sama lain.
Tepat lima menit sebelum keberangkatan mereka, melalui ruang kendali Alpha Team, Mr. Yang pun mengirimkan pesan pada kesepuluh anggota Jikjin Team. [Ini, saya Mr. Yang. Ingat, misi kalian hanya 24 jam. Lakukan misi penyelamatan dan kembali ke Bumi dengan selamat. Apakah perintah dapat diterima?]
“Siap. Perintah diterima.” Kesepuluh anggota Jikjin Team yang ditugaskan itu menjawabnya dengan kompak.
“Sistem pesawat telah diaktifkan. Satu menit sebelum lepas landas, semua anggota Jikjin Team silakan pakai helm kalian masing-masing,” ujar Jun dari kursi pilot yang cukup sibuk mengurus sistem di hadapannya bersama dengan John dan Arthur serta Jaden sebagai teknisi mesin di belakang mereka.
Meskipun bukan pertama kali mereka pergi ke luar angkasa, para anggota tentu saja merasa gugup dan cemas. Pikiran-pikiran penuh kekhawatiran tentu saja menghantui mereka. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apakah mereka bisa menyelesaikan misi ini?’ atau ‘apakah mereka dapat kembali ke Bumi dengan selamat?’ semacam itu cukup membuat mereka cemas.
“Pesawat siap untuk lepas landas.”
Mesin pesawat antariksa mereka mulai menyala dan bergerak perlahan. Posisi pesawat yang awalnya horizontal perlahan berubah menjadi vertikal dikarenakan dalam beberapa menit pesawat akan lepas landas dan meninggalkan bumi.
Suara sistem di dalam pesawat terdengar. “Hitung mundur dimulai. 10, 9, 8, 7, 6, 5, mesin utama menyala. 4, 3, 2, mesin vernier menyala. 1, lepas landas.”
Guncangan yang diakibatkan karena pergerakan pesawat mulai dirasakan. Jazztin orang yang paling gugup sampai memegangi kursinya dengan kuat dan memejamkan kedua matanya. Mulutnya tak berhenti berkomat-kamit, berdoa meminta keselamatan mereka.
Pesawat lepas landas dan meninggalkan bumi. Guncangan yang dirasakan oleh para anggota di dalam pesawat berangsur-angsur berkurang dikarenakan mereka semakin jauh dari bumi. Hingga kemudian, tubuh mereka terasa enteng dikarenakan mereka berhasil meninggalkan bumi dan memasuki luar angkasa.
Jun dan John melakukan pekerjaan mereka dengan baik hingga perjalanan pesawat stabil sampai detik ini. Tak lupa, Jun melapor kepada ruang kendali dimana dikendalikan oleh Alpha Team. “Jikjin Team berada di dalam orbit sesuai jadwal. Sekarang aku memegang kendali. Alihkan pada sisten navigasi otonom.”
[Dimengerti,] balas salah satu anggota Tim Alpha di ruang kendali.
“Navigasi otonom telah dikonfirmasi. Orbit dan kecepatan penerbangan, optimal.” Suara sistem dalam pesawat kembali terdengar. Para anggota setidaknya dalam bernapas lega karena perjalanan mereka di awal sudah stabil tanpa ada gangguan apapun.
Danny melepas sabuk pengamannya dan berjalan ke kursi pilot untuk memastikan perjalanan mereka pada Jun. “Butuh berapa lama kita sampai di orbit Planet 7812?”
“Sekitar 30 menit lagi,” jawab Jun masih fokus.
Danny menganggukkan kepalanya dan menyerahkan semuanya pada keduanya. Setelah memeriksa keadaan di bawah kendali pilot dan kopilot tim mereka, Danny pun pergi ke ruang penyimpanan perlengkapan. Dia memastikan kembali bahwa segala perlengkapan mereka sudahlah lengkap, mulai dari perlengkapan medis hingga senjata. Barulah setelah dia mengecek perlengkapan mereka, Danny kembali ke kursinya.
Belum sempat Danny duduk di kursinya kembali, tiba-tiba pesawat kembali mengalami guncangan hebat yang nyaris membuat Danny tersungkur jika saja dia tidak langsung berpegangan pada kursinya. Danny dan anggota lainnya dibuat panik.
Danny kembali ke kursi pilot untuk mencari tahu apa yang terjadi. “Kenapa?”
“Ada hujan meteor!” seru John panik. Dia bersama dengan Jun mulai kesulitan mengatur pesawat agar menghindari meteor-meteor yang datang dari depan mereka. Laporan yang diberikan John itu berhasil membuat anggota lain semakin panik, terlebih pesawat yang mulai terombang-ambing tidak teratur kesana-kemari.
“Sial! Sistem pengendalinya susah buat dikendaliin.” Jun berteriak frustasi karena pesawat sulit dikendalikan dan membuat kemungkina mereka tertabrak meteor semakin tinggi.
“Udah coba hubungi ruang kendali?” tanya Danny menoleh pada Arthur yang duduk di belakang Jun.
Arthur menggeleng panik. “Gabisa, Kapten. Ruang kendali susah buat dihubungi gara-gara hujan meteor ini,” jawabnya sedari tadi mengotak-atik sistem komunikasi mereka, namun tidak ada hasilnya.
“Terus coba hubungi ruang kendali dan kirim sinyal marabahaya,” perintah Danny pada Arthur.
Arthur mengangguk mengerti. “Siap, Kapten.”
“Butuh berapa lama lagi kita sampai ke orbit landasan?” tanya Danny kepada pilot mereka.
“Sepuluh menit.”
Danny mencoba memutar otaknya dengan cepat, mencari jalan keluar. Hingga akhirnya dia menemukan cara agar mereka dapat selamat melewati hujan meteor ini. “Lakukan pendaratan lebih awal,” perintahnya pada Jun dan John.
Tentu saja itu mengejutkan keduanya karena perintah Danny sama-sama beresiko tinggi. Jun menoleh ke arah Danny sekilas. “Tapi kalo gitu titik pendaratannya bakal beda.”
“Kita bisa aja ketabrak meteor kalo ga mendarat sekarang.” Danny menajamkan kedua matanya dan menegaskan keputusannya. “Gimanapun juga kita harus mendarat,” tegasnya kemudian kembali ke kursinya.
Akhirnya, Jun dan John mau tak mau harus mengikuti perintah kapten mereka. Keduanya saling bertatapan sejenak dan Jun memberikan anggukan tipis pada John. Karena bagaimanapun juga, mereka harus mempercayakan segala keputusan kapten mereka. Mereka yakin, Danny pasti mementingkan keselamatan mereka.
“Tarik kontrol daya dorong,” perintah Jun pada John di sampingnya. John berusaha menarik kontrol daya dorong sehingga pesawat dapat melakukan pendaratan lebih awal, sesuai dengan perintah kapten mereka.
“Semua anggota pastikan menggunakan pengaman. Bersiap untuk adanya benturan!” seru Jun di kursinya. Sembari melawan rasa takut dan cemas mereka, para anggota mengikuti arahan dari Jun dan menggunakan pengaman di kursi mereka, termasuk Danny.
Guncangan yang dirasakan semakin parah akibat Jun dan John berusaha menghindari meteor dan mendaratkan pesawat mereka di Planet 7812. Teriakan dari Jun dan John yang kesulitan mengendalikan pesawat terdengar membuat semua anggota semakin panik. Terlebih badan pesawat yang terombang-ambing kesana kemari membuat mereka ketakutan akan apa yang terjadi setelahnya.
Berkat kerja keras Jun dan John, pesawat semakin turun dan siap mendarat namun masih kesulitan di kendalikan karena adanya dorongan dari meteor yang beberapa kali menyenggol sayap pesawat mereka. “Lurusin pesawatnya!” teriak Jun kesulitan dan meminta bantuan John.
“Sialan! Gue harap ini berhasil!” teriak John semakin frustasi karena pesawat semakin sulit untuk dikendalikan.
Setelah keributan yang terjadi, akhirnya pesawat mereka berhasil mendarat di Planet 7812 meskipun titik pendaratan melesat jauh dari titik pendaratan yang seharusnya. Setidaknya, pesawat mendarat dengan baik sehingga tidak ada kerusakan baik sistem maupun mesinnya.
“Kapten, pesawat berhasil mendarat.”
[]