Semua Berubah Kacau

Acasha memasuki rumah sakit dengan khawatir setengah mati. Kepalanya merasa kacau ketika mendengar Jibran mengalami kecelakaan. Harsa datang bersamanya, dia ikut cemas karena kabar tersebut.

Di lobby, Harsa memelankan langkahnya begitu mendapatkan telepon dari dokternya, Dokter Ida. Dia pun menghentikan langkahnnya. “Kamu duluan aja, aku angkat telepon dulu,” ujarnya pada Acasha.

Acasha mengangguk singkat dan bergegas pergi ke UGD dimana Jibran dilarikan. Dia berpisah dengan Harsa yang pergi ke sisi yang berlawanan dengannya.

Butuh beberapa menit hingga akhirnya Acasha menemukan teman-temannya yang tengah menunggu di lorong UGD. Dengan berlari kecil, Acasha menghampiri ketiga temannya itu. “Jibran gimana? Dia gapapa, kan?”

“Masih ditangani sama dokter,” jawab Yoga dengan lemas. Dua temannya yang lain sama lemasnya karena kabar tersebut.

Mereka duduk, menunggu dokter ke luar dari ruang UGD, berharap masih ada kabar baik.

Perlahan Ajun bangkit dari duduknya dan menatap Acasha. “Lo ngapain ke sini?”

Acasha mengernyit tak mengerti. “Apaan sih lo? Pertanyaan lo aneh banget tau ga?”

“Lo ngapain kesini gue tanya?” tanya Ajun dengan suara yang perlahan meningkat.

“Ajun..” Yoga berusaha menahan emosi sahabatnya itu.

Sayangnya Ajun sendiri sudah lepas kontrol akan emosinya. Dia menghampiri Acasha dan berdiri di hadapannya. “Bukannya lo udah ga peduli lagi sama kita? Lo kan cuma peduli sama pacar lo itu. Terus ngapain lo kesini? Pacaran aja sana!!” serunya penuh emosi.

“Lo kenapa si, Jun? Aneh tau ga anjing!” balas Acasha membentak sahabatnya itu.

“Bener kan? Sejak balikan sama Harsa lo udah ga peduli sama kita,” ujar Ajun dengan sinis.

Acasha menarik napas, mencoba untuk tetap tenang meskipun di situasi seperti ini membuatnya mudah terpancing emosi. Dia menatap Ajun dengan kedua mata yang berkaca-kaca.

“Kapan gue ga peduli sama kalian? Lo masih marah karena gue ga dateng ke sidang orang tua lo, hah?”

“Gue ga peduli masalah itu. Kan gue udah bilang mau lo dateng atau engga ortu gue tetep cerai. Masalahnya adalah Jibran kecelakaan karena lo!” teriak Ajun emosi.

Dani ikut bangkit dan menghentikan sahabatnya itu. “Ajun udah.”

“Maksud lo apa anjir?” teriak Acasha mulai terpancing emosi.

Ajun menyeringai. “Sekarang gue tanya, lo tahu ga Jibran berantem hebat sama bokapnya hari ini. Dia nelpon lo tapi lo malah pacaran sama pacar lo itu. Liat apa yang terjadi sekarang, Jibran kecelakaan karena lo anjing!”

“Ajun udah!” lerai Dani yang kelepasan ikut berteriak.

“Lo nyalahin gue?” Acasha mendorong bahu Ajun karena tidak terima disalahkan. “Asal lo tahu, gue selalu peduli sama kalian, tapi Harsa lebih butuh gue karena dia lagi sakit. Ini cuma soal prioritas ya anjir.”

“Terus kita harus mati dulu biar lo prioritasin kita gitu?!” Ajun terus saja berteriak emosi.

“Ngomong apa sih lo!”

Napas Ajun berderu, dadanya naik turun, melepaskan unek-uneknya yang sudah tertahan lama. Dia menunjuk Acasha dan menatapnya tajam.

“Dari awal gue diem aja ya, Ca. Tapi semakin didiemin lo tuh makin lupa sama orang-orang yang selalu ada buat lo. Kita selalu ada buat lo, selalu prioritasin lo di atas semuanya. Lo lupa siapa yang ngerawat lo pas sakit kemarin? Pacar lo bukan? Bahkan pacar lo itu ga tau lo sakit!”

“Setelah apa yang kita kasih buat lo? Ini balesan lo? Bahkan ngangkat telfon dari Jibran aja susah buat lo Ca? Sekarang kalo Jibran kenapa-napa lo mau tanggung jawab, hah?” tanya Ajun emosi.

“Ajun, udah. Udah, gue bilang.” Dani mendorong Ajun agar menjauh dari Acasha.

Acasha menghela berat, menyisir rambutnya frustasi setelah kekacauan ini terjadi. Ketika dia tidak sengaja membuang wajahnya, dia menemukan Harsa berdiri tak jauh dari mereka, menatap ke arah mereka.

Bukan hanya Acasha, teman-teman Acasha yang lain ikut menyadari bahwa Harsa disini, mendengar suara perdebatan mereka.

Di saat yang sama, dokter keluar dari ruang UGD, Ajun orang pertama yang berlari ke arah dokter, diikuti oleh Yoga dan Dani. “Gimana dok? Temen kita ga kenapa-napa kan, dok?”

Berbeda dengan Acasha yang memilih pergi begitu saja. Dia melalui Harsa, seperti lelaki itu tidak ada di hadapannya. Air matanya yang tak dapat terbendungkan lagi itu pun jatuh membasahi pipinya.

Harsa menyusul kepergian Acasha, dia mengejar gadis itu sampai keluar parkiran. Dengan sigap, dia menahan tangan Acasha. “Sha, ada yang harus kita omongin.”

“Gue capek, mau pulang aja,” tolaknya berusaha melepaskan tangannya, namun Harsa masih saja menahan tangannya.

Harsa menarik Acasha, membuatnya menghadap kepadanya. Dia memegang kedua lengan Acasha. “Kenapa gue ga tahu lo abis sakit? Kenapa lo ga bilang ke gue? Lo boongin gue?” tanya Harsa tak percaya.

Dengan air mata yang terus turun, Acasha mengangkat kepalanya dan menatap Harsa. “Iya, gue boongin lo.”

Harsa menghela panjang, mencoba untuk tidak terbawa emosi meskipun kepalanya sudah ingin meledak. “Kenapa sih harus boong? Kenapa ga bilang ke gue kalo lo sakit?”

Acasha tidak langsung menjawabnya. Dia mengangkat kepalanya ke langit, mencoba menarik napas sedalam-dalam mungkin, menguatkan dirinya untuk tetap kuat sampai akhir.

Barulah dia menatap Harsa kembali, namun tidak menjawab pertanyaan yang diajukan padanya tadi. Dia mengalihkan pembicaraan. “Sekarang biar gue tanya, kenapa lo ga bilang ke gue kalo penyakit lo makin parah?”

Harsa terkejut. “Sha..”

“Kenapa lo boongin gue, Harsa? Kenapa lo boongin gue dengan bilang kalo semuanya baik-baik aja?!” teriak Acasha dengan air mata yang semakin membanjiri pipinya.

“Karena gue ga mau lo makin khawatir, apalagi kalo yang dikatain Ajun itu bener,” jawab Harsa mencoba berbicara baik-baik. “Gue ga pernah minta lo buat prioritasin gue sampe mengabaikan orang lain bahkan orang-orang terdekat lo.”

“Gue cuma berusaha buat lo sembuh.” Suara Acasha gemetar dikarenakan emosi yang sudah terlanjur menguap. “Gue berusaha keras, Har. Gue selalu mentingin lo, gue terpaksa menyampingkan kepentingan orang lain bahkan diri gue sendiri karena gue cuma mau lo itu sembuh.”

Harsa menarik rambutnya frustasi. Dia tidak menyangka bahwa ini akan terjadi di antara mereka.

Tatapan Harsa berubah marah. “Lo pikir gue bakal ngerasa seneng? Lo pikir gue bakal ngerasa bahagia kalo lo mentingin gue di atas segala? Engga, Sha. Gue ga terima kalo gini caranya.”

“Terus sekarang lo mau apa?!” teriak Acasha frustasi. “Gue cuma mau lo sembuh, itu salah di mata lo?”

“Tapi ga gini caranya.”

Harsa menggeleng pelan, menolaknya dengan keras. “Kalo kayak gini, mending lo ga usah balik sama gue dari awal.”

Baru setelah mengatakannya, Harsa pergi begitu saja meninggalkan Acasha.

Acasha hanya bisa memandangi punggung Harsa yang terus menjauh darinya. Air matanya tak berhenti keluar dari pelupuk matanya dan pada akhirnya Acasha berjongkok karena kedua kakinya tidak lagi kuat menahan beban setelah kekacauan ini.

Acasha melepaskan tangisnya, dia menangis di parkiran rumah sakit, tidak mempedulikan orang-orang yang memandanginya. Dia hanya ingin menangis melepaskan rasa sesak di dadanya.

Semuanya kacau. Dan Acasha yang mengacaukannya sendiri.

[]