Titik Terendah Seorang Harsa Bumantara
Sudah beberapa hari sejak Harsa dan Acasha putus, banyak kabar yang beredar di Twitter mengenai hal tersebut. Sudah beberapa hari pula para sahabat Harsa tidak melihat eksistensi lelaki tinggi nan kurus tersebut.
Sejak putus dengan Acasha, yang dilakukan olehnya hanya mengurung diri di apartemennya, mengabaikan handphonenya yang tidak berhenti mendapat pesan dan panggilan dari teman-temannya.
Raka, sahabatnya sejak duduk di bangku sekolah dasar merasa bahwa ada sesuatu yang terjadi pada sahabatnya. Dia mengenal Harsa lebih baik dari siapapun, bahkan dari diri Harsa sendiri.
Oleh karenanya, dia memutuskan untuk pergi ke apartemen sahabatnya, mewakilkan teman-temannya yang sama khawatirnya dengannya.
Sudah tiga kali tidak ada sahutan dari dalam apartemen begitu dia menekan bel apartemen Harsa. Raka mendengus, dia tahu Harsa di dalam dan mengabaikan panggilannya.
Mungkin Harsa lupa bahwa Raka tahu password pintu apartemen Harsa. Dia pun memutuskan untuk membukanya sendiri dari luar.
“Har? Gue tahu lo di dalem!” seru Raka seraya melepas sepatunya sebelum masuk ke dalam apartemen sahabatnya itu.
Lampu di apartemen Harsa dimatikan, tirai ditutup, tidak mengizinkan cahaya matahari masuk ke dalam, benar-benar seperti tidak ada kehidupan di dalam sana. Raka kembali mendengus kesal dan menggeleng kepalanya pelan. “Kebiasaan banget ni anak satu.”
Ada satu hal yang membuat Raka merasa aneh. Dia menajamkan penciumannya dan benar saja dia mencium bau alkohol yang sangat menyengat. Raka mulai panik. Jangan-jangan Harsa minum lagi.
Raka meraih saklar lampu dan menyalakan lampu di ruang tengah.
“Shit!! Harsa!!”
Raka terkejut begitu menemukan Harsa ternyata sedari tadi duduk di karpet ruang tengah, bersandar pada sofa dengan tubuh yang lesu, beberapa botol alkohol dan bungkus rokok di sekitarnya.
Dengan panik, Raka langsung menghampiri Harsa dan meraih kerah kaos yang dikenakan oleh Harsa. “Brengsek! Lo mabok? Gila lo!”
“Arghh, apaan sih! Pergi aja sana!” teriak Harsa mendorong Raka kasar. Penampilannya benar-benar kacau. Raut wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan, tubuhnya kini bau rokok yang bercampur dengan bau alkohol.
“Mabok nih anak!” Raka menepuk pipi Harsa pelan, mencoba menyadarkan sahabatnya itu. “Woy! Gila ya lo! Gue tahu lo sedih tapi ga gini juga caranya brengsek!”
“Pergi gue bilang!” bentak Harsa. Matanya tampak sayu dan agak memerah. “Ga usah sok peduli sama gue!”
Raka menghela pelan. Dia memegang pundak Harsa, mencoba untuk berbicara baik-baik dengan sahabatnya itu. “Lo kenapa sih Har? Hei, cerita sama gue? Lo ada masalah apa? Cerita sama gue, gue bakal dengerin.”
“Ka..” Harsa menatap Raka dengan tatapan sedih.
“Bunuh gue.”
Raka mengernyit begitu saja, tak mengerti. “Hah?”
Kini giliran Harsa yang menarik kerah baju Raka dan berteriak putus asa. “Bunuh gue, Ka!”
“Gue udah muak hidup kayak gini! Gue udah capek! Bahkan dengan bodohnya gue malah nyakitin cewe yang gue sayang. Gue ga pantes hidup. Bunuh gue!” teriaknya dengan air mata yang mengalir di pipinya, tanpa disadarinya.
Raka mencoba menepis tangan Harsa dan mendorong sahabatnya itu menjauh darinya. “Gila ya lo! Lo mabok, Har!”
“Bunuh gue, bangsat!”
Raka lepas kendali dan tidak sengaja melayangkan tinju ke wajah Harsa, mungkin itu menjadi salah satu cara untuk menyadarkan sahabatnya itu. Lelaki itu tersungkur ke lantai dan meringkuk kesakitan. “Argh..”
“Brengsek,” umpat Raka kesal.
Jujur, dibandingkan kesal, Raka lebih tidak tega. Dia merasa sedih ketika melihat Harsa seperti ini.
Harsa bangkit dengan sisa tenaga yang dimilikinya. Dia belum berhenti memohon pada Raka, seraya meraih kerahnya. “Gue mohon sama lo, bunuh gue. Tolong bunuh gue, Ka!”
“Sadar, brengsek!” Napas Raka kini naik turun. Dia marah tapi juga sedih. “Kalo lo ngerasa udah nyakitin Aca, harusnya lo minta maaf bukannya minta gue bunuh lo, bangsat!” bentaknya.
Harsa menggeleng cepat. “Kita udah putus. Dia ga akan maafin gue. Dia udah benci banget sama gue. Gue pengecut, Ka! Gue takut nyakitin dia, tapi pada akhirnya gue tetep nyakitin dia.”
Air matanya terus saja menetes keluar dari pelupuk matanya. Raka semakin tidak tega melihatnya. Harsa tidak pernah terlihat seputus asa ini.
Tangannya perlahan terlepas dari kerah Raka, diiringi dengan kepalanya yang tertunduk lesu. “Udah ga ada yang bisa gue lakuin lagi. Hidup gue makin hancur semenjak gue kehilangan cewe yang gue sayang. Gue mau mati aja.”
“Jangan gitu, bangsat.” Raka mendekat, mencoba merangkul sahabatnya itu. “Gue yakin Aca mau maafin lo kalo lo jujur sama dia.”
“Gue cowo brengsek, Ka. Gue udah nyakitin dia.” Seketika tangis Harsa yang sudah ditahannya tidak bisa terbendungkan lagi.
Sebagai sahabat Harsa, Raka menarik tubuh sahabatnya itu dan mendekapnya erat, membiarkannya melepaskan semua tangisnya. Tangannya menepuk pelan pundak Harsa yang selalu tampak tegar.
Selama hidupnya, Harsa jarang sekali menangis, bahkan di pemakaman ayahnya sekalipun. Baru kali ini Raka melihat Harsa menangis, menunjukkan sisi terlemahnya.
Tanpa berpikir dua kali, Raka tahu, bahwa Harsa sangat menyayangi Acasha.
Harsa menangis sesenggukan di dekapan Raka. Tangannya beberapa kali memukul dadanya yang terasa sesak. Di tengah tangisnya, Harsa beberapa kali terbatuk.
Raka mengernyit ketika menemukan Harsa mulai terbatuk-batuk. Awalnya dia berpikir bahwa Harsa terlalu banyak menangis, namun semakin kesini, batuknya semakin parah.
“Har? Harsa?” Raka menjauhkan badannya berusaha memeriksa sahabatnya itu.
Batuk Harsa semakin parah hingga secara mengejutkan keluar darah dari mulut Harsa. Selepasnya, tubuh Harsa melemas dan terjatuh ke samping.
“Harsa! Sial.” Raka panik setengah mati. Dengan tangan yang gemetar, dia mengeluarkan handphonenya dan mencoba untuk menelepon teman-temannya yang lain.
“Har, bangun, Har!!”
[]